-Terjebak Menjadi Simpanan-
Kirana mengirimkan pesan untuk Mahesa ketika ia sudah sampai tempat di depan gedung Danaswara Grup. Ia tidak berani masuk, mengingat Mahesa sendiri tidak pernah menyuruhnya masuk.
Alhasil ia berteduh di salah satu tempat di halaman gedung. Meletakkan payungnya di sudut.
Sesekali melirik pintu utama, menunggu siapapun yang diperintahkan oleh Mahesa untuk mengambil barang bawaannya.
"Apa sekretaris Roy yang akan mengambilnya?" pikirnya.
Secara tidak mungkin seorang Mahesa turun ke lantai paling bawah hanya untuk mengambil bawaannya.
Kirana sesekali melirik dompet laki-laki itu. Sedari tadi ia penasaran dengan apa isinya.
'Apa cek?'
'Kartu yang tidak ada batas limitnya?'
Bukk..
"Astaga."
Dompetnya terjatuh. Kirana berdehem pelan. Ia mengambil dompet Mahesa yang terbuka.
Kirana mengerutkan alisnya. Ia tidak sengaja melihat isinya. Tidak ada yang khusus, hanya beberapa lembar uang kertas dan kartu. Namun pandangannya tiba-tiba terhenti pada sebuah foto kecil yang terselip di dalamnya.
Kirana mengambilnya dengan rasa penasaraan. Foto itu menampilkan sosok wanita asing yang sangat cantik, rambutnya pirang dan mata indah. Bibirnya tersenyum manis sambil memegang buket bunga.
"Foto siapa ini?"
Seingatnya seorang Mahesa Danaswara adalah anak tunggal. Jadi mustahil sosok yang ada di dalam foto ini merupakan saudaranya. Sosok itu juga bukan Monica Atmaja, istrinya Mahesa.
'Lalu siapa?'
"Apa yang kau lakukan!"
Degh ...
Kirana berbalik. Wanita itu terkejut dengan kedatangan Mahesa yang tiba-tiba. Terlebih lagi laki-laki itu merebut secara paksa foto di tangannya.
"Siapa yang memberimu izin membuka barangku!"
"Tu-tuan, saya ha-"
"Kau melanggar perjanjian Kirana Daniara! Bukankah sudah kukatakan malam itu untuk tidak ikut campur dalam urusan masing-masing!"
Mahesa membentak kasar. Raut wajahnya terlihat jauh lebih mengerikan dari biasanya. Laki-laki itu seolah memandang Kirana dengan pandangan penuh kehinaan ketika mereka pertama kali bertemu di kamar hotel.
"Sa-saya tidak berniat membukanya tuan."
"Lalu apa yang kau lakukan? Kau pikir aku buta!"
Kirana menggelengkan kepalanya secepat mungkin, lidahnya terlalu kaku untuk menjelaskan segalanya.
"I-itu tidak seperti yang anda pikirkan saya hanya mengambilnya, tadi sempat terjatuh."
"Lalu kenapa kau mengambil isinya!"
"Sa-saya hanya penasaran. Err... ada foto wanita di dalamnya."
Kirana mendongak, manik hitamnya menatap penuh waspada. "A-apa dia teman anda tuan?"
Mahesa mendecih pelan. Laki-laki arogan itu biasanya bisa mengendalikan emosinya tapi kali ini terlihat jelas jika ia sangat marah.
Wajahnya memerah, dengan tatapan tidak kalah tajam.
"Jangan melonjak! Kau itu tidak lebih dari seorang wanita simpanan. Jadi jangan pernah sekalipun bermimpi untuk mengurusi kehidupanku atau pun mengambil barang-barangku tanpa izin. Apalagi ingin mengetahui tentang kehidupanku."
Kirana tersendak. Wanita itu terdiam beberapa saat.
Ia memang wanita yang buruk, karena mau saja menjadi simpanan laki-laki yang sudah beristri hanya untuk balas dendam.
Tapi bukan berarti ia tidak merasa sakit ketika orang lain menghinanya.
Kirana menautkan kedua tangannya. Memilin pelan ujung kaosnya sambil menunduk. Bibirnya di gigit pelan beberapa saat sebelum ia mendongak.
"Apa anda pikir saya tertarik untuk mengetahui kehidupan anda?"
"Itu yang kau inginkan."
"Anda tidak bisa menilai saya begitu saja, hanya karena saya menyetujui untuk menjadi wanita simpanan anda."
Mahesa mengerutkan dahinya. Laki-laki itu menggeram marah.
"Dengan kau menjadi wanita simpananku saja sudah membuktikan betapa rendahnya dirimu."
Degh...
"Lain kali lihatlah cermin. Kau hanya wanita beruntung yang ku pungut dari jalanan.Jangan lupakan itu."
Kirana melotot kesal. Penghinaan yang Mahesa tunjukkan bahkan jauh lebih terasa sakit dibandingkan penghinaan tersirat Nyonya Claudya kala itu.
"Apa anda menyesal memungut saya." Kirana bertahan dengan suaranya yang nyaris bergetar.
"Yah, aku pikir kau bisa berguna nanti. Tapi nayaranta kau hanya wanita jalang yang sama seperti di luar sana. Seharusnya aku sadar ketika kau menyerahkan tubuhmu malam itu. Sekali jalang akan tetap menjadi jalang selamanya."
"Tuan! Anda tidak bisa menghina saya."
"Aku tidak peduli, jadi menjauh dariku. Kita batalkan semua kontak kita sebelumnya. Aku tidak lagi sudi menampung wanita rendahan sepertimu!"
Setelah mengatakan itu Mahesa langsung masuk ke dalam. Meninggalkan Kirana yang sedari tadi menahan amarahnya.
Penghinaan Mahesa terasa menusuk jauh ke dalam hatinya.
Kirana terdiam, kepalan tangannya belum mengendur walau kini punggung Mahesa sudah menghilang di balik pintu gedung utama.
"Keterlaluan, manusia sombong! Kau pikir aku mau begitu saja merendahkan diri jika kau tidak memiliki koneksi di dunia ini!!" Kirana berteriak kesal.
Beberapa penjaga yang standby di depan menoleh ke arahnya. Menatap bingung.
Kirana yang tersadar langsung beranjak. Melangkah cepat membelah hujan yang sedikit lebat.
****
Mahesa mengusap foto kecil yang sudah nyaris tak berbentuk. Ia menghela nafas panjang untuk yang kesekian kalinya.
'Untuk apa aku merebutnya mati-matian. Toh ini hanya sebuah foto,' gumamnya.
Mahesa memejamkan matanya beberapa saat. Ketika lift terbuka ia langsung masuk ke dalam. Pikirannya kacau.
Ia sendiri bahkan tidak tau kenapa emosinya tidak bisa terkontrol ketika mengingat tentang foto masa lalu yang seharusnya sudah ia lupakan.
[ Flashback... ]
November, sepuluh tahun yang lalu...
Quebec, Canada.
Mahesa berlari melewati halaman College Saint-Sacrament, sekolah menengah swasta yang terletak di Old Terrebonne. Sesekali memperbaiki topi rajutnya mengingat angin di sini sangatlah kencang.
Laki-laki itu mengerutkan dahinya beberapa kali. Mengalihkan pandangannya ke kiri dan ke kanan.
"Cih, kemana dia? Jangan bilang dia meninggalkanku."
Mahesa bergumam pelan, sesekali melirik ponselnya. Tidak ada satu notifikasi pun dari Rian. Padahal sahabatnya itu berjanji akan menunggunya di sini.
Mahesa menghela napas berat. Ia berjalan jauh, mengelilingi halaman luas yang dipenuhi pohon dengan nuansa musim gugur yang pekat. Daun kuning kemerahan yang berjatuhan. Persis seperti permadani emas di atas tanah.
Mahesa mengumpat kasar di dalam hatinya. Bahkan setelah lima belas menit ia belum juga menemukan batang hidungnya Rian. Sahabatnya itu seolah hilang ditelan bumi, dan lebih mengesalkannya lagi ponselnya juga mati.
"Ck!"
Mahesa melepas topi rajutnya. Mengusap rambutnya sedikit lebih kasar.
Ia tersesat. Ah, tidak. Ini memalukan bagi seorang Mahesa Danaswara tersesat di sebuah kota kecil yang indah.
Tapi inilah kenyataannya...
Laki-laki itu mencari tempat duduk tidak jauh dari area taman. Bersandar sambil memejamkan matanya beberapa saat.
Menenangkan pikiran...
Bersama angin kencang yang sesekali menerpa wajahnya. Bahkan tak jarang beberapa daun maple ikut jatuh ke kepalanya.
Setelah beberapa saat, tetesan air turun tiba-tiba. Mahesa membuka matanya, terkejut. Laki-laki itu mengedipkan matanya beberapa kali. Ia yang sedari tadi bingung kini bertambah bingung saat melihat banyak orang yang berlarian mencari tempat berteduh.
"Ah, hujan. Sial!" Mahesa bangkit, namun belum sempat ia beranjak. Sebuah payung tiba-tiba menaunginya.
Mahesa mengerutkan dahinya. Ia mendongak, seorang wanita berambut pirang dengan mata abu-abu yang berkilau, tangah tersenyum ke arahnya.
"Ada yang bisa saya bantu?"
[Flashback end.. ]
To be continued....