-Terjebak Menjadi Simpanan-
Kehidupan bersama Mahesa Danaswara tidak seperti yang ia pikirkan. Pagi hari yang dimulai dengan peraturan absurd kini berangsur-angsur semakin parah.
Tidak ada yang bisa Kirana lakukan. Ia hanya duduk-duduk sambil memperhatikan Mahesa yang berkutat dengan pekerjaannya.
"Daripada hanya memandangku lebih baik lakukan pekerjaan lain." Mahesa berseru.
Pandangannya masih tidak teralih dari tab di tangannya.
Kirana menghela pelan. Ia bangkit dari sofa tempat duduknya tadi. Melangkah ke dapur sambil menggerutu di dalam hati.
'Siapa juga yang membuatnya menjadi seorang pengangguran dalam dua hari ini.'
Jika saja ia bekerja mungkin ia tidak akan merasa serba salah di rumah ini.
Kirana membuka lemari es. Ia terdiam beberapa saat ketika hanya menemukan minuman kaleng, dan air mineral yang tersusun rapi.
Kirana beranjak mendekati Mahesa. Berdiri tepat di sampingnya.
"Ada apa lagi."
"Apa anda tidak memiliki bahan makanan? Maksud saya di dalam lemari es hanya ada minuman."
Mahesa mendongak. Manik hitamnya bertatapan dengan Kirana beberapa saat sebelum ia mengangkat sebelah alisnya.
"Memangnya kenapa?"
"Saya lapar."
'Apa ia harus minta izin terlebih dahulu untuk makan? Bentuk penyiksaan macam apa ini.'
"Pesan saja makanan. Tidak perlu repot-repot."
"Kenapa anda tidak membeli bahan mentah saja. Saya bisa memasak sendiri. selain itu kan lebih higienis dan hemat."
Brakk...
Mahesa menutup beberapa dokumen. Laki-laki itu benar-benar mengintinidasinya saat ini.
"Err.. maksud saya."
"Kau sedang bicara tentang berhemat denganku? Memangnya aku tidak punya uang untuk membeli makanan, hah!"
Degh...
Kirana langsung mengeling. "Bukan itu maksudnya."
'Konsepnya salah, astaga!'
Ingin rasanya Kirana berteriak tapi ia urungkan mengingat sikap Mahesa masih belum bisa ditebak dengan pasti.
"Terserah.Jika kau ingin belanja, belanja saja. Pakai kartu yang kuberikan tadi malam."
"Apa anda tidak ikut belanja?"
Mahesa mendengus pelan, "Kau pikir aku pengasuhmu?Jangan melampaui batas. Kau belanja saja sendiri."
'Manusia kurang ajar.'
Kirana bergumam dalam hati. Ia bahkan tidak memohon untuk meminta. Ia hanya bertanya.
Kenapa juga laki-laki itu bertingkah seolah ia mengemis-ngemis untuk minta temani berbelanja.
****
Tidak ada tawar menawar dengan Mahesa. Apa yang sudah keluar dari mulutnya adalah sebuah keputusan mutlak yang tidak akan bisa diungkit-ungkit lagi.
Setelah pertimbangannya sendiri Kirana memutuskan untuk pergi seorang diri, meski awalnya sekretaris Roy yang berpapasan di lift menawarkan untuk mengantarnya.
Kirana menolaknya dengan halus.
'Itu sama saja mencari masalah lagi dengan singa garang di rumahnya.'
Kedatangan sekretaris Roy pasti diminta oleh Mahesa. Jika ia menerima tawaran Roy, sudah dipastikan tuan Mahesa akan mengeluarkan taring dan aumannya lagi.
Kirana menghela nafas pelan. Sesampainya di supermarket, ia langsung mengambil troli, mengisinya dengan berbagai jenis makanan, juga beberapa buah segar.
Naomi menghitung satu persatu belanjaan yang sudah diletakkan di keranjang. Ia sudah berkeliling nyaris setengah besar supermarket ini. Perlahan dia kembali mendorong troli ke arah berlawanan, menuju kasir.
Saat Kirana menganti, ponselnya bergetar. Wanita itu langsung refleks. Matanya berkedip pelan ketika melihat nama Mahesa terpampang dilayarnya.
"Err, halo tu-"
"Kau masih berbelanja?"
"Iya. Baru mau bayar."
"Aku akan ke kantor. Ada masalah yang perlu diurus. Kau diam saja dirumah, nanti aku pulang."
Kirana mengangguk paham. 'Siapa juga yang menyuruh laki-laki itu untuk bekerja di rumah. Itu keputusannya sendiri bukan.'
"Sebentar lagi saya pulang."
"Jangan terlalu lama diluar. Hujan turun, kau cari saja taksi online."
"Saya tau."
Sambungan teleponnya diputus sepihak oleh Mahesa. Kirana mendesis pelan. Kini satu hal lagi yang ia ketahui dari sosok Mahesa Danaswara.
'Seenaknya sendiri.'
Kirana memasukkan kembali ponselnya. Ia mengalihkan pandangannya ke arah lain. Manik hitamnya menangkap sosok yang ia kenali di kejauhan.
Kirana mengerutkan dahinya. "Kak Nina?" gumamnya kurang yakin.
Pasalnya kakaknya itu mengatakan sedang dinas ke luar kota. Tapi dari tinggi tubuh dan penampilan samping nya nyaris mirip dengan sang Kakak.
"Tapi kenapa ia ada di sini?"
Kirana bergegas meninggalkan trolinya. Melangkah cepat menyusul sosok yang ia yakini sebagai kakaknya itu.
Hanya saja ia kehilangan jejak. Wanita itu menghilang tepat ketika melewati eskalator.
Kirana berhenti. Satu-satunya jalan adalah pintu utama. Sementara saat ini, di luar sana hujan lebat sedang mengguyur. Mustahil kakaknya pergi ke luar, kecuali ia masuk ke dalam mobil.
"Nona!!"
Kirana menghentikan langkahnya. Wanita itu berbalik dan mendapati petugas supermarket mengejarnya dengan napas pendek, seolah ia sudah berlari sebelum ini.
"I-iya kenapa Pak?"
"Nona, anda meninggalkan belanjaan anda."
Kirana langsung ingat. Wanita itu langsung meminta maaf dan kembali ke antrian untuk membayar belanjaannya.
****
Kirana membuka pintu, keadaan di dalam tidak berubah, tetap sama seperti yang ia tinggalkan tadi.
Hanya saja kini sosok Mahesa tidak lagi duduk di sofa dengan tab dan berkas-berkas pekerjaannya. Sofa itu kosong, tampak dingin. Seolah mengatakan jika Mahesa sudah lama meninggalkan tempat ini.
"Huhhh.."
Kirana berseru pelan. Ia melangkah membawa barang belanjaannya. Meletakkan sebagian ke dalam lemari es, dan sebagian lagi akan ia masak untuk makan siang.
Kirana tidak tau apa Mahesa akan pulang siang ini atau tidak. Ia bahkan tidak berani menanyakan hal itu pada Mahesa, mengingat peraturan yang mereka bahas tadi malam.
Ia bahkan bergidik ngeri ketika mengingat laki-laki itu sangat kasar dan mengesalkan. Apapun yang ia katakan tidak bisa dibantah sedikitpun.
"Ck! Terserahlah, mau pulang atau tidak juga bukan urusanku."
Kirana bergumam setengah kesal. Wanita itu memotong wortel lebih besar dari seharusnya. Mencucinya dan memasukkan ke dalam panci.
Sementara mendidihkannya. Kirana beranjak untuk memasukkan cucian yang akan dibawa ke laundry. Mahesa bilang jika petugas kebersihan akan datang besok.
Sprei, handuk dan baju yang ia kenakan tadi pagi. Kirana memisahkan bajunya dengan baju Mahesa. Karena laki-laki itu pasti kembali menggerutu mengenai hal-hal yang sepele.
Pluk ...
Kirana menghentikan kegiatannya. Ada sesuatu yang terjatuh ke atas lantai. Wanita itu membungkuk, mengambilnya.
"Dompet? Apa ini milki Mahesa?" gumamnya.
Kirana menyipitkan matanya beberapa saat. Membolak-bolakkan benda itu seraya berpikir, sebelum mengeling.
'Apa mungkin laki-laki sok perfeksionis itu malah meninggalkan dompetnya di atas kasur?'
Kirana langsung membuang pikiran absurdnya itu.
"Apa aku hubungi saja dia. Dompet termasuk hal yang penting bukan?"
Namun belum sempat ia mengambil ponsel. Suara daring terlebih dahulu berbunyi. Kirana menoleh, ia mengangkat sebelah alisnya, nama Mahesa terpampang jelas di layarnya.
"Ah, tuan saya mene-"
"Kau masih di supermarket?" Suara Mahesa terlebih dahulu memotong pernyataannya.
Kirana mengeling, "Saya sudah dirumah, tuan."
"Kalau begitu bawakan dompetku, sepertinya tertinggal di atas kasur. Cepatlah, ini penting."
"Ahh, ba-baik saya akan segera-"
"Pesanlah taksi dan segera kesini. Ku tunggu."
Panggilan langsung dimatikan tepat sebelum Kirana mengiyakan. Wanita itu menghela nafas panjang. Ia menggigit bibirnya pelan, merasa kesal dengan tingkah sesukanya seorang Mahesa Danaswara.
To be continued....