-Terjebak Menjadi Simpanan-
"Ah, Nita?"
Nina membuka suara ketika Nita, teman adiknya itu terdiam dan mematung tiba-tiba. Raut wajahnya berubah cemas dengan menggigit bibirnya beberapa saat.
"Nita? Hai?" ulangnya lagi.
Nita tersedak kaget. Wanita itu berdehem pelan, kembali menetralkan ekspresinya. Ia mendekat, dengan tatapan sesekali melirik televisi yang masih menyiarkan berita tentang pertunangan Rafael.
'PERTUNANGAN PUTRA DAN PUTRI DUA KELUARGA BESAR NEGARA INI.'
Nita menghela nafas pelan. Ia hanya bisa berharap Kirana tidak melihat berita itu, atau sebaiknya ia tidak membawakan ponsel Kirana.
"Nina? Kau baik-baik saja?"
Degh ...
Nita mengangguk dengan cepat.
"Errr ... maaf. Kak Nina, ponselnya Kirana? Err ... Maksudnya Kirana mau mengambil ponselnya. Dia bilang Kak Nina yang membawanya tadi."
"Ponsel? Ah ... benar." Nina langsung ingat. Wanita itu berdiri tanpa mematikan televisi. Melangkah mendekati stop kontak di mana ia terakhir kali meletakkan ponsel adiknya itu.
"Kirana baik-baik saja kan?"
"Err ... lumayan Kak." Nita bergumam pelan.
"Memangnya apa yang terjadi pada anak itu? Hanya putus cinta, kan?"
Nita tersenyum kaku. Seperti yang ia pikirkan. Kakaknya Kirana sama sekali tidak mengetahui permasalahan yang tengah adiknya hadapi.
"Kenapa harus bermuram durja. Laki-laki tidak hanya satu di dunia ini."
Sementara Nita hanya tersenyum canggung. Ia tidak tau harus mengatakan apa perihal pengkhianatan yang dialami Kirana. Alhasil Nita hanya dia. Langkah kakinya mengikuti wanita itu di belakang.
"Ini." Nina memberikan ponsel Kirana pada Nita.
"Tolong hibur dia, ya Nita. Anak itu sama sekali tidak mendengarkanku," keluh Nina dengan menampilkan raut setengah kesal ketika mengingat adiknya sama hanya diam dalam beberapa hari ini.
"Apa Kirana tidak pernah cerita ke Kakak?"
Nina mengerutkan alisnya, "Tentang pacarnya?"
"Hmm... " Nita mengangguk membenarkan.
"Mana pernah. Jangankan cerita siapa. Anak itu bahkan tidak pernah menunjukkan fotonya."
Nita mengangguk paham. Dari yang ia lihat, hubungan keduanya. Kakak beradik itu nyaris saling menyayangi meski bukan saudara kandung.
Baik Kirana atau Nina sendiri sama-sama menyimpan rasa sakit di hati masing-masing, hanya agar salah satu dari keduanya tidak merasa terbebani.
****
Sementara di dalam kamar, Kirana mendengar suara-suara berisik yang bahkan biasanya selalu ia acuhkan dalam beberapa hari belakangan.
Tapi tidak hari ini. Tidak ada untungnya jika ia masih berkabung sementara belum tentu laki-laki itu juga merasakan sakit yang sama.
Kirana menghela napas berat. Ia mengerutkan alisnya beberapa saat sebelum berdiri. Tubuhnya terasa ringan, hampir tidak seimbang dalam beberapa saat.
Kirana menghela napas berat. Wanita itu menoleh ketika kakinya sudah seimbang. Manik hitam itu menoleh ke arah cermin yang memantulkan bayangannya.
Kusut dan pucat.
Kirana tidak menampakkan ekspresi apapun. Wanita itu hanya menghela nafas panjang, sebelum melangkah pelan ke luar kamar.
Langkahnya setengah terseret ketika menuruni undakan tangga. Decitan kecil terdengar samar-samar.
"Jadi, apa kamu tau siapa pacarnya Kirana?"
Degh ....
Kirana langsung menghentikan langkahnya. Wanita itu mengerutkan alisnya beberapa saat ketika suara kakaknya, Nina terdengar.
Pandangannya lurus ke bawah, dimana Nita dan kakaknya yang tampak bicara serius.
'Apa yang mereka bicarakan?' gumam Kirana pelan.
Ia mendekat, sampai suara keduanya terdengar jelas.
"Err, anu, itu. Apa kak Nina tau nama pacarnya Kirana?"
"Rafael?" seru Nina setengah bertanya. "Rasanya Kirana pernah menyinggungnya. Tapi hanya sebatas nama. Wujudnya seperti apa tidak ada yang tau."
Kirana masih mengamati. Ada jeda panjang di dalam pembicaraan mereka, sebelum Nita menghela napas berat dan membuka suara.
"Sebenarnya laki-laki yang ada di berita itu." Nita menoleh ke arah televisi.
Kirana mengikuti pandangan Nita. Matanya melotot saat mendengar dengan jelas tentang berita pertunangan mantan kekasihnya.
Degh...
"Dia mantannya Kirana, Kak," lanjut Nita.
Kirana terdiam. Bibirnya tertutup rapat dengan tangan mengepal. Sebisa mungkin menahan amarahnya yang tengah meluap-luap.
Kirana menggeram di dalam hati. Rasanya bahkan lebih sakit dibandingkan jatuh dari atas tangga.
Memikirkan pengkhianatan mantan kekasihnya persis seperti menaburkan garam di atas luka yang bahkan belum sembuh.
Berani sekali laki-laki itu merayakan pertunangan dengan kegembiraan. Sementara dia mengurung diri di dalam kamar yang gelap, meratapi hubungan panjang yang kandas begitu saja.
Kirana menggigit bibir bawahnya. Air mata sudah menggenang di pelupuk, nyaris turun di pipinya.
"Laki-laki brengsek!" Kirana bergumam pelan.
Namun Nita dan Nina yang tengah mengamati berita pertunangan itu, mendengar umpatan Kirana dengan jelas.
Keduanya langsung menoleh dan syok. Mereka sama sekali tidak menyangka ada Kirana di sana.
Nina nyaris mendekat. Namun Nita langsung mencegahnya. Wanita itu tersenyum seraya menggeleng.
"Biar Nita yang menangani ini, Kak. Kirana cenderung kasar kalau lagi emosi."
Nina menoleh, rautnya tampak panik ketika melihat adiknya sudah melangkah kembali ke kamar loteng.
"Kak Nina tenang aja. Kirana tidak akan macam-macam kok." Nita menyakinkan.
Nina menghela pelan. Wanita itu menatap penuh harap pada taman satu-satunya sang adik.
"Tolong ya Nita," pinta Nina.
Nita tersenyum tulus. Wanita itu langsung bergegas menemui sahabatnya. Perasaannya sedikit kacau mengingat Kirana yang mungkin akan kembali mengingat rasa sakit hatinya.
"Kirana, buka pintunya dong!" seru Nita sambil mengetuk pintu kamar Kirana.
"Kirana! Please jang-"
krakkk....
Pintunya terbuka, bahkan sebelum Nita menyelesaikan ucapannya.
Kirana tidak mengatakan apapun. Wanita itu hanya membuka lebar pintu kamarnya. Seolah mempersilahkan Nita untuk masuk.
Nita mengedipkan matanya beberapa kali. Seperti baru saja menemukan kejutan. Kondisi Kirana jauh dari apa yang ia pikirkan.
Tidak ada tali yang menjulur dari langit-langit kamar, atau pecahan kaca dan bercak darah.
Kondisi Kirana tidak berbeda jauh dari sebelum ini.
Nita berdehem pelan.
"Err... Kirana, kau baik-baik saja kan?"
'Bodoh... '
Kenapa juga ia malah mengucapkan kalimat ambigu seperti itu?
"Apa yang kau pikirkan. Apa kau kira aku akan mengamuk?"
"Tidak." Nita menggelengkan kepalanya. "Sama sekali tidak, hanya sedikit takut saat kau melihat berita tentang Rafael tadi."
Kirana menoleh. Mendengus pelan. Wanita itu masih tanpa ekspresi. Padahal Nita yakin jika sahabatnya itu sedang menahan perasaan marahnya.
"Jadi, apa yang kau lakukan?" tanya Nita penasaran.
"Sedang mencari cara balas dendam."
Degh....
Nita terdiam beberapa saat. Wanita itu merasa merinding ketika mendengar suara dingin Kirana.
Kirana yang dia kenal tidak seperti ini. Wanita yang menjadi sahabatnya itu sangat lembut dan tulus. Tatapannya rapuh dan penuh kasih sayang. Bukan seperti saat ini.
Seolah kabut tebal tengah menggantung di belakangnya.
"Kirana, apa yang kau-"
"Kau tau laki-laki ini?"
degh....
Nita melihat sebuah robekan majalah yang menampilkan sosok yang sering menjadi bahan pembicaraan di berita-berita dan majalah yang memuat tentang pengusaha sukses.
'Mahesa Danaswara.'
"Kirana jangan bilang-"
"Aku akan mendekatinya," ucap Kirana dengan suara tegas.
"Mata dibalas dengan mata. Rasa sakit harus dibalas dengan rasa sakit yang sama."
To be continued....