Sadar, Nurma!"suara orang itu mendekati remaja berusia tujuh belas tahun itu.
Nurma tersadar, ia mengenali suara khas itu.
Itu bukan suara Nyonya Raline, tetapi suara seseorang yang telah melahirkannya ke dunia ini.
Ya, itu adalah suara ibundanya. Nurma menoleh ke arah pintu.
Benar saja, tampak seorang wanita berusia 38 tahun berdiri di hadapannya.
"Ingat siapa kita? kita hanyalah pembantu disini" tegas ibu Ningsih pada Nurma.
"Kamu jangan lancang menyukai tuan Fawwaz!" tambahnya.
Nurma berdiri mendekati ibundanya.
"Ibu, apakah kita sebagai orang miskin tak berhak mencintai?" kata Nurma menatap ibundanya.
"Cinta itu tak dapat di paksakan, ia datang dengan sendirinya, Bu! jika memang aku bisa memilih, aku tak akan pernah memilih untuk mencintai tuan Fawwaz, karena aku mengerti, jika bersanding dengan dirinya adalah mimpi yang hampir tak akan pernah menjadi kenyataan" kata Nurma.
"Tapi, Bu! cinta itu tiba-tiba hadir dalam hatiku saat aku memandang keelokan wajahnya ata bahkan, setiap wanita tak akan sanggup untuk menolak pesonanya" tambah Nurma ketika mengungkapkan rasa kecintaannya pada Fawwaz.
"Pendam dan rahasiakan saja cintamu itu! kamu dan tuan Fawwaz bagaikan langit dan bumi, sangat sulit atau bahkan tidak mungkin untuk bersatu" jawab ibundanya itu.
"Walau bagaimana pun, aku tetap akan mencintai tuanku itu, meskipun semesta tak mengizinkan kami untuk bersama" ujar Nurma dengan yakin.
Ibu Ningsih hanya mengelus dada tatkala mendengar putrinya mengakui mencintai anak majikannya itu.
Gadis itu memang keras kepala, ibu Ningsih sudah kenal benar dengan tabiat putri kandungnya itu.
Meskipun di berikan pengertian berkali-kali, ia tak akan pernah mengerti dan tetap bersikukuh untuk mencintai tuan Fawwaz.
"Jangan sampai Nyonya Raline dan Tuan Hamdan mengetahui perihal ini! jika mereka mengetahui perasaanmu pada tuan Fawwaz, pasti mereka akan memecat kita dan menganggap kita tidak tau malu" ibu Ningsih mengingatkan Nurma.
"Baik, Bu! aku hanya akan mengagumi dan mencintainya diam-diam" jelasnya.
"Cepat selesaikan pekerjaanmu! setelah itu, bantu ibu untuk menyiapkan hidangan di dapur" Ibu Ningsih memberitau putrinya itu.
"Baik, Bu!" jawab Nurma.
***
Sebuah panggilan berdering, tertulis nama Fawwaz di dalam panggilan telepon itu.
Tuan Hamdan menerima panggilan itu, "Baba!" terdengar suara dari telepon itu.
"Iya, Nak! Baba jemput jam 7 malam, Ya! Baba ada pertemuan dadakan dengan klien" kata tuan Hamdan kepada anak semata wayangnya itu.
"Tidak masalah, Fawwaz sudah besar, Fawwaz pulang sendiri saja, Baba tidak perlu menjemput" ujarnya pada ayahandanya.
"Saya sudah landing 10 menit lalu, setelah ini saya akan langsung pulang ke rumah" katanya.
"Baiklah, Nak! nanti Baba kirim sopir untuk jemput kamu, Ya!" tawar tuan Hamdan pada Fawwaz.
"Baik, Baba! sudah dulu, Ya! Bye Baba!" jawab Fawwaz mengakhiri perbincangan mereka dalam telepon.
***
Sebuah papan nama bertuliskan "Selamat Datang Tuan Fawwaz Hamdan Abbasy" di pegang oleh seorang pria.
Ia menunggu Fawwaz di terminal kedatangan sejak beberapa menit lalu.
"Anda tuan Fawwaz?" tanya Andi pada seorang pemuda berparas rupawan.
Ia memang pernah bertemu dengan Fawwaz dua tahun lalu, saat itu, ia juga yang menjemput Fawwaz dari Bandara ini.
Namun, karena lumayan lama ia tidak melihat Fawwaz, sehingga ia lupa dengan wajah tuannya itu.
Setengah ingat setengah lupa, mungkin begitulah kira-kira.
"Ya, benar, saya Fawwaz" jawab seorang pemuda itu.
"Sopir Baba?" tanya Fawwaz.
Terlihat dari wajahnya, ia seperti memutar memorinya untuk mengingat nama sopir pribadi ayahandanya itu.
"Saya Andi, Tuan! mari saya bawakan kopernya, Tuan!" jawab Andi sembari mengambil koper majikannya itu.
"Langsung ke rumah saja!" kata Fawwaz.
Enam orang bodyguard berseragam hitam dan lengkap dengan kacamata hitamnya telah menunggu Fawwaz, mereka akan mengawal di depan dan di belakang mobil yang akan di tumpanginya.
"Baba terlalu berlebihan! Hufft!" batinnya.
"Silahkan masuk, Tuan!" kata Mas Andi membukakan pintu mobil Lamborghini untuk tuannya.
"Terima kasih" jawabnya singkat.
Mereka pun bergegas meninggalkan Bandara menuju istana milik orang tua Fawwaz.
***
Setelah dua puluh menit perjalanan, Fawwaz sampai di sebuah istana megah milik ke dua orang tuanya.
Rumah yang dibangun dikawasan elit itu tampak berdiri kokoh.
Tampak bagian luar rumah di lapaisi emas dua puluh empat karat sehingga tampak semakin mewah.
Saat memasuki halaman rumah, terlihat banyak mobil berbaris rapi.
Mulai dari mobil Lamborghini, Porsche, dan berbagai mobil sport berbaris rapi di garasinya.
"Silahkan turun, Tuan!" Mas Andi membukakan pintu untuk tuan Fawwaz.
"Terima kasih!" jawabnya singkat.
Kemudian Fawwaz bergegas untuk masuk ke dalam rumahnya.
Terlihat dua orang pembantu sedang berjaga di depan pintu untuk menyambut kedatangan Fawwaz.
"Selamat datang, Tuan!" kata kedua pembantu itu serentak bersama-sama.
Ia hanya menganggukkan kepala tanpa mengucap sepatah kata.
"Fawwaz sayang, akhirnya kamu ingat juga dengan mama" kata nyonya Raline ketika menyambut kedatangan anak semata wayangnya itu.
"Saya selalu ingat Mama!" jawabnya.
Ia memeluk dan mencium ibundanya untuk melepas rindu.
"Kamu pergi mandi dahulu, setelah itu, nanti kita makan bersama" kata nyonya Raline pada anak kesayangannya itu.
Fawwaz pun pergi ke kamarnya untuk membersihkan badannya.
"Nurma..!" panggil nyonya Raline.
"Baik, nyonya! sebentar" Nurma bergegas menghampiri majikannya itu.
Tak berapa lama, Nurma sudah berada di hadapan nyonya Raline, ia menanyakan apa yang bisa ia lakukan.
"Tolong siapkan perlengkapan mandi tuan Fawwaz, ya!" perintah wanita yang kira kira berusia 45 tahun itu pada Nurma.
Bak pepatah pujuk di cinta, ulam pun tiba. Ternyata tuan Fawwaz yang mempesona itu sudah sampai di Jakarta, batin Nurma.
Ini adalah kesempatannya untuk melihat langsung pujaan hatinya secara dekat.
"Nur..! kok kamu melamun?" tanya nyonya Raline yang keheranan.
"T-tidak, Nyonya! saya permisi dulu untuk menyiapkan keperluan tuan Fawwaz, Nyoya!" izin Nurma.
Ia bergegas menuju lantai atas menuju kamar Fawwaz.
Ia menapaki anak tangga satu demi satu.
Sebenarnya di rumah ini, terdapat lift yang menghubungkan lantai atas dan lantai bawah.
Namun, Nurma lebih memilih untuk menaiki anak tangga, alasannya, ia takut jika berada di dalam lift sendirian. Katanya, ia takut lift macet dan dia tak bisa keluar seperti di berita yang pernah ia lihat.
Ia sangat bersemangat, terlihat dari wajahnya binar-binar kegembiraan.
Mungkin ini akan menjadi hari yang tak akan pernah ia lupakan.
Setelah menaiki satu demi satu anak tangga, sekarang ia telah sampai di depan kamar Fawwaz.
Ternyata kamar Fawwaz tak di kunci, sehingga ia langsung masuk ke kamar CEO muda itu.
Sepi, tak ada siapapun di kamar itu, hanya terdengar suara gemercik air yang menyala.
"Tuan..! saya di minta Nyonya untuk menyiapkan keperluan Tuan" kata Nurma.
Nurma tak menerima jawaban apapun, sehingga ia langsung mengambil keperluan tuan Fawwaz di dalam lemari.
"Aaaaaa..." jerit Nurma ketika akan menaruh barang-barang keperluan majikannya diatas tempat tidur".