Sepanjang jalan, Sarah mengisi waktunya dengan melamun. Ia tidak mampu mengartikan perasaan tidak enaknya, apakah ini sebuah firasat buruk ataukah hanya perasaannya saja akibat tidak ingin bertemu dengan Radit?
"Sarah, hei! Mukanya jangan ditekuk kaya martabak gitu dong," tegur Melly sambil menyenggol lengan sarah dengan siku tangannya. "Bentar lagi sampe, ayo, pasang senyum," katanya kemudian.
"Ah, malaslah. Kenapa aku harus terlihat bahagia bertemu dengan seseorang yang paling aku benci di dunia?" protes Sarah dengan nada kesal.
Sarah bukanlah type gadis yang bisa menyembunyikan perasaannya atau berpura-pura baik-baik saja. Tidak, dia selalu apa adanya baik dalam perkataan mau pun sikapnya.
Mobil taksi online yang membawa mereka telah sampai tepat di depan pintu lobby hotel Burge Land yang merupakan hotel termahal di kota itu.
Kedatangan Sarah walaupun terlihat sederhana, tapi pancaran kecantikannya begitu mempesona. Setiap pasang mata tertuju kepadanya, tidak terkecuali mata seseorang yang berada di meja bagian tengah.
Melly menghampiri salah satu pelayan dan setengah berbisik ia bertanya, "VIP A1 di mana?"
"Oh, pak Raditya, mari saya antar," jawab pelayan tersebut dengan suara lantang.
Melly menyikut lengan Sarah. "Sana ikut dia," ujarnya.
"Ih, kamu juga anterin dong," rengek Sarah sambil menarik tangan Melly.
"Ok, sampai pintu aja ya," jawab Melly mengikuti pelayaan itu cepat-cepat.
"Nanti kamu nunggu mana? Yang jelas," kata Sarah berikutnya.
"Toilet aja deh," sahut Melly ragu-ragu. Ia tidak mungkin menunggu sambil duduk di kursi pelanggan karena harus memesan minimal minuman yang harganya sangat mahal.
"Tidak, kamu duduk aja pesan juice, aku yang bayar," sergah Sarah dengan serius.
Mereka naik ke lantai tiga di mana deretan lounge private berada. Pintu lift terbuka, ada dua orang yang berjaga di sana.
"Ini mau ke A1, tolong diantar," ujar pelayan yang membawa mereka dari lantai satu kepada yang berjaga di luar pintu lift.
"Eh, cuma satu orang loh, aku turun lagi," sambal Melly sambil mendorong punggung Sarah.
Sarah pun diminta untuk mengikuti langkah-langkah pengantarnya ke depan sebuah pintu. Ia mengetuk pintu dan terdengar suara yang sangat dikenalinya. "Masuk!"
Pengantar Sarah tersenyum lalu membukakan pintu dan mempersilakan Sarah untuk masuk.
Dengan ragu-ragu dan perasaan yang campur aduk, Sarah menyeret kakinya dengan berat melewati ambang pintu, melihat lelaki itu menyeringai dan bangkit dari kursi berjenis sofa, seketika ia ingin berbalik dan lari dari sana, tapi, pintu telah ditutup dan tangannya ditarik Radit yang segera menguncinya dalam pelukan.
"Eits, apa-apaan, Radit? Lepas! Lepaskan aku!" teriak Sarah sambil berusaha mendorong tubuh Radit.
Radit menyeringai licik saat melepaskan pelukannya, tapi ia menarik kencang tangan Sarah, membawanya agar duduk di atas sofa.
"Sayang, aku mau mastiin saja apa mau kamu? Kenapa kamu menghindar dariku? Jangan bilang ada cowok lain," ujar Radit dengan penekanan pada akhir kalimatnya.
Tiga bulan sudah ia kesulitan bertemu Sarah, bahkan nomor teleponnya sudah tidak bisa dihubungi karena gadis itu memblokirnya, tanpa merasa bersalah sama sekali.
"Aku ke sini bukan ingin menghabiskan waktu makan malam sama kamu. Aku cuma mau jelasin bahwa sejak kamu berselingkuh dengan Rara, sejak itu pula aku membencimu. Mulai saat ini, aku minta kamu stop ganggu aku, kita Putus karena jelas-jelas aku sudah tidak ingin ada sangkut paut lagi denganmu," tegas Sarah dalam posisi duduk yang tegang.
Terbayang apa yang dilakukan oleh Radit bersama Rara, membuat Sarah merasa mual tiba-tiba. Dalam menjalani hubungannya dengan Radit, Sarah selalu menolak bermesraan lebih jauh selain pegangan tangan, pelukan dan cium pipi, tidak lebih.
Namun, apa yang disaksikannya tiga bulan lalu di pestanya Dozan, di mana Rara dan Radit setengah telanjang, benar-benar membuat Sarah ingin muntah.
Radit menyeringai mendengar perkataan gadis cantik itu, ia memendam hasrat gila di dalam hatinya, setelah bersama sekian lama, ia belum juga bisa menaklukkan Sarah yang saat itu justru mengaku membencinya dan tidak berharap bertemu lagi.
"Sarah, tenang dulu, aku memang salah, maaf kalau sudah buat kamu tersakiti, aku juga tidak berani memberi penjelasan apapun kalau kamu tidak mau, tapi ... untuk pertemuan kita terakhir kalinya, maukah kamu menemaniku makan?"
pinta Radit memohon.
Sarah tergugu, ia merasa bimbang sejenak, tapi kemudian ia segera menjawab, "Aku tidak mau, aku harus pergi masih ada urusan." Ia berdiri dan meraih tasnya.
"Sarah, please, aku janji, ini yang terakhir. Benar-benar terakhir, setelah ini, aku akan menghilang dari hidupmu, karena kalau malam ini aku tidak kamu temani makan, aku akan terus mengajakmu, entah datang ke kantor kamu atau ke rumah, atau ke tempat teman-temanmu," ucap Radit seraya berdiri dan tubuhnya yang menjulang menghalangi jalan.
"Kamu mengancamku? Hah, lihatlah siapa dia, hei, dia yang bersalah padaku, dia juga yang berani mengancamku," sergah Sarah sambil menggelengkan kepalanya seolah sedang menyalahkan pihak ketiga.
"Aku mohon maaf, sungguh tidak bermaksud seperti itu, Sarah. Aku mohon belas kasihmu, ijinkan aku satu jam saja bersama kamu, demi masa lalu kita, demi kenangan kita, please? Yang terakhir?" pinta Radit seraya menangkupkan kedua tangannya di depan dada dan wajah yang memelas.
Terdengar helaan napas Sarah yang berat. Kedua manik coklatnya bergerak-gerak saat menatap wajah lelaki yang telah menghancurkan hatinya. Mencari-cari rona kejujuran. "Setelah ini tidak akan datang ke kantor?" tanya Sarah dengan tajam.
Radit menggeleng kuat-kuat. "Tidak akan pernah," jawabnya.
"Tidak akan mencariku di mana pun?" desak Sarah.
"Tidak akan mencarimu, aku janji menuruti keinginanmu karena aku terlalu sayang sama kamu," jawab Radit dengan ringan.
"Cih, menjijikkan sekali omonganmu," sergah Sarah yang merasa mual kembali.
"Terserah kamu, Sarah, tapi ini permintaan terakhirku, hanya menemani makan, kamu tidak usah bicara apapun kalau gak mau, temani saja, ok?" desak Radit.
Perlahan, Sarah duduk kembali tanpa mengucapkan apa-apa dengan wajah dingin. Ia merasa muak berada dalam satu ruangan dengan lelaki yang dibencinya, tapi ancaman datang ke kantor, rumah bahkan ke rumah teman-temannya, bagi Sarah lebih mengerikan dari pada menghabiskan waktu satu jam saja dengan Radit.
Ia pun memutuskan untuk tetap berada di sana sampai selesai makan, tanpa harus ikut makan bersama Radit. "Aku sudah pesankan jus jeruk kesukaanmu," kata Radit sambil menekan tombol pada panel di atas meja panjang yang pendek.
Tidak lama, pintu diketuk pelan dan dua pelayan masuk mendorong meja untuk membawa pesanan.
"Aku juga memesan semua yang kamu suka, hidangan ikan dengan sayur," ujar Radit lagi sambil tersenyum saat melihat pesanannya telah datang.
Sarah hanya mematung dengan memfokuskan pandangannya ke atas meja. Ia sama sekali tidak tertarik untuk minum jus atau makan ikan kesukaannya, ia hanya ingin waktu segera berlalu dan bisa pulang cepat dengan tenang.
Jus jeruk yang telah terhidang di depan Sarah, akhirnya diraih oleh tangannya lalu meminun perlahan jus tersebut. Rasanya agak sedikit aneh, tapi telah banyak yang diminumnya, tidak mungkin ia mubtahkan.
"Uh, anu ... jus jeruknya kok rasanya lain ya," gumam Sarah merasa heran.
Namun ia tidak memutuskan berhenti meminumnya, rasa dahaga yang terakumulasi secara psikis, seakan telah membiusnya.
Sikap Radit sangat santai sambil terus menebar senyum. Kedua matanya yang jeli menangkap kalau jebakannya terhadap Sarah telah berhasil.
Perlahan, tubuh Sarah mulai terkulai dengan kelopak mata yang mulai turun. Radit mengambil gelas jus yang berada di depan gadis itu lalu ia menghampirinya. "Minum lagi, Sayang ... tenggorokanmu panas kan? Nah, minum ya, habisin semua," bujuknya sambil meminumkan jus dingin tersebut kepada Sarah.
Namun, Sarah terlanjur tidak sadarkan diri hingga minuman itu tidak lagi bisa masuk ke tenggorokannya. Dengan hati-hati, Radit membersihkan mulut Sarah menggunakan tissue yang telah dicelupkan pada air putih, lalu ia segera melumat bibir ranumnya dengan penuh nafsu.
Radit tampak belum puas bermain-main dengan Bibir Sarah, tapi posisinya yang membungkuk tidaklah nyaman baginya. Ia pun segera mengangkat tubuh Sarah, memindahkannya pada sofa panjang dengan dudukan cukup lebar.
"Hem, Sarah ... kenapa kamu tidak pernah mengizinkan aku untuk menyentuhmu? Melihat payudaramu yang indah saja gak boleh, tapi sekarang, aku bisa menikmatinya sepuasku," gumam Radit seraya membuka resleting gaun di punggung Sarah.
"Shit! Indah sekali kulitmu, hem?" ujar Radit seraya menciumi seluruh punggung gadis itu, kedua tangannya menyusup pada sisi kiri dan tangan gadis itu.
Radit tertegun saat merasakan indera kulitnya yang bersentuhan dengan kelembutan dan kekenyalan yang sempurna. Ia membelalak lebar-lebar lalu meloloskan gaun Sarah dengan hati-hati, kemudian menarik tubuh Sarah agar terlentang sempurna di atas sora.
Tatapan lelaki itu nanar melihat keindahan dada telanjang di bawahnya. Tanpa ingin menunda waktu, ia pun mulai menggerayangi tubuh Sarah, melorotkan celana dalamnya hingga ia benar-benar telanjang bulat.
"Heh, sayang amat kalau cuma bisa dinikmati sekali doang. Aku harus membawanya ke suatu tempat," gumam Radit saat keinginannya bercinta berulang kali muncul begitu saja di dalam benaknya.