Gadis itu menyingkap rambut yang menghalangi pandangannya dengan gerakan luwes. Ia menatap Bayu lekat-lekat. "Baik, aku akan pertimbangkan dan minta waktu tiga hari," kata Sarah.
"Satu hari," timpal Bayu cepat seraya mengangkat satu telunjuknya.
"Tiga hari," sergah Sarah.
"Dua hari," tawar Bayu, menambahkan jari tengahnya.
"Tiga hari," keukeuh Sarah sambil melotot.
"Ah, oke deh, aku ngalah," ucap Bayu dengan lemas.
"Tapi, aku bingung sama mama. Apakah beliau perlu dikasih tahu atau tidak. Kalau aku merahasiakannya dan suatu saat dia tahu, aku bisa digantung di dapur," keluh Sarah.
"Kalau dikasih tahu, aku yakin, rencana kita gak akan berjalan, mungkin malah aku disuruh berhenti magang dan tinggal di rumah," lanjut Sarah, ia tidak mungkin harus berhenti magang dan tidak akan merelakannya hanya demi pernikahan kontrak yang konyol.
"Hem, aku gak masalah kalau ibumu tahu, aku akan melamar secara resmi dan menikah dengan restunya, tapi beneran menikah tanpa kontrak," timpal Bayu dengan tenang.
"Ha? Tanpa kontrak? Pak, maaf, istri Bapak gimana? Dengan kontrak aja aku belum tentu mau," bantah Sarah seraya melemparkan tatapan kesal.
"Aku akan menceraikannya tiga minggu lagi kurang lebih, setelah empat puluh hari ibuku," jawab Bayu tanpa beban.
"Jadi kalau pun menikah nunggu setelah cerai kan?" tanya Sarah.
"Tidak mau. Nikah ya nikah aja, aku ingin kita bikah resmi, bukan nikah siri." Bayu mengatakannya dengan tatapan serius.
"Ha, mana bisa, Pak, masa mau punya buku nikah dua?" bantah Sarah.
"Bisa saja selama ada surat izin menikah lagi dari dia," jawab Bayu.
"Mana ada istri mau izinkan suaminya nikah lagi? Kalau aku sih lebih baik cerai ketimbang punya madu. Pokonya aku gak mau!" seru Sarah.
"Ya sudah, kalau gitu pake kontrak saja," sahut Bayu.
"Ya sudah!" Sarah tertegun karena salah nyeletuk. "Maksudku ... aku harus pertimbangkan dulu! Ya, itu, gak bisa ambil keputusan cepat-cepat," ralat Sarah segera.
"Temanin aku makan ya," kata Bayu sambil berdiri lalu mengambil gagang telepon dari meja nakas, mengabaikan kalimat terakhir gadis itu.
Ia memerintahkan pelayan untuk menyiapkan makan di dalam kamar.
"Aku mau makan di balkon boleh?" tanya Sarah sambil menunjuk ke arah balkon.
Sudah dari kemarin ia ingin ke sana, balkon itu tampak teduh dan luas. Pagarnya dikelilingi oleh pot-pot bunga, ada satu set meja kursi yang sekilas tampak nyaman untuk bersantai sambil baca buku.
"Boleh, ayo kita makan di sana, tapi, apa kamu sudah bisa berdiri? Maksudku, kepalamu sudah gak sakit?" tanya Bayu ingin memastikan.
"Aku baik-baik saja," jawab Sarah datar. Rasanya aneh diperhatikan oleh lelaki yang belum benar-benar dikenalnya.
"Ya udah coba bangun," kata Bayu menatap tajam dan waspada.
Sarah menyingkap selimut dari pangkuannya lalu menurunkan kaki ke lantai kayu, ia hendak berdiri tapi Bayu menahannya. "Sebentar."
Lelaki itu melangkah menuju meja konsol di kaki ranjang lalu membuka laci dan mengambil sandal kamar. Ukurannya kebesaran di kaki Sarah tapi ia harus mengenakan alas kaki karena hendak ke balkon.
Bayu berjongkok tepat di depan Sarah, hingga membuat gadis itu salah tingkah, merasa tidak enak hati dan sungkan. "Eh, biar aja kali, Pak, aku bisa sendiri kok," tolak Sarah saat tangan kanan Bayu terulur untuk meraih kakinya sambil memegang sandal di tangan kiri.
"Tidak apa, biarkan aku melayani kamu," ujar Bayu yang terlanjur memegang pergelangan kaki Sarah.
Ia merasakan betapa halus dan lembutnya kulit sarah, hingga membuatnya merinding dan rasa aneh menjalar ke seluruh tubuhnya.
Bayu memejamkan matanya sambil melepaskan genggaman tangan dari kaki Sarah, ia segera berdiri dan berkata pelan, "Ya, baiknya sendiri."
Ia harus beranjak menjauh ke arah balkon demi menenangkan gejolak hatinya yang tiba-tiba saja berulah.
Melihat lelaki itu berbalik dan melepaskan tangannya dengan gerakan tiba-tiba, membuat Sarah mengernyitkan dahi. 'Dih, aku cuma bilang bisa sendiri malah ngambek,' batin Sarah sambil mencibir ke punggung Bayu.
'Lagian maen pegang-pegang aja tanpa permisi, mentang-mentang banget sih,' keluh Sarah dalam hatinya.
Mereka terlalu asik dengan pikiran-pikirannya sendiri hingga tidak mendengar kalau pintu diketuk dan dibuka. Pelayan masuk mendorong meja saji.
Bayu menoleh mendengar suara roda kecil yang berderak di lantai kayu. Ia lalu menggeser pintu kaca balkon, memberi jalan pada pelayan itu.
Kemudian, ia menghampiri Sarah yang masih duduk. "Bisa berdiri?" tanya Bayu seraya meraih tiang infus, bersiap membawanya saat Sarah melangkah nanti.
Sarah mengangguk dan berusaha bangkit dari duduknya. Kepalanya sedikit terasa melayang tapi ia tahu kalau perasaan itu timbul karena ia terus-terusan merebahkan diri di atas kasur.
Ia memaksakan diri melangkah perlahan dan nyatanya kondisinya sudah cukup baik. Ia menyunggingkan senyum tipis, setelah nyaris tidak selamat, dua hari kemudian kondisinya membaik dengan pesat.
"Terima kasih, ya," ucap Sarah pada Bayu.
"Untuk?" tanya Bayu keheranan.
"Atas pertolongan dan perawatannya, aku merasa sangat baik sekarang," katanya dengan tulus.
"Hei, itu udah seharusnya, kedepannya kamu akan berada di bawah lindungan aku," jawab Bayu.
"Kalau aku menolak menikah?" tanya Sarah dengan serius.
"Aku tidak akan menyerah mengejarmu," sahut Bayu yakin.
"Hem, Bapak usianya berapa sih?" tanya Sarah kemudian.
"Tiga-tiga tahun ini," sahut Bayu seraya menarik kursi untuk Sarah duduk sambil menempatkan tiang infus di samping kursi.
"Hm, Bapak udah om-om, he he," kata Sarah sambil menyeringai. Ia lupa sudah terhadap alasan tadi mengomel dalam hatinya.
"Apa aku tampak setua itu?" Bayu cukup terkejut dengan perkataan Sarah.
"Enggak sih, terlihat lebih muda dari usianya, tapi aku baru sembilan belas," sahut Sarah seraya melihat satu per satu makanan yang terhidang di atas meja. 'Beda empat belas tahun, sungguhkah aku harus punya suami setua itu?' batin Sarah meringis.
"Makanlah, kamu masih harus minum obat kan? Kalau gak salah malam ini yang terakhir dan sebentar lagi infus juga dilepas," kata Bayu merasa senang karena Sarah sudah terlihat sembuh.
"Ya, mumpung bisa makan enak, pasti makanlah," sambar Sarah sambil menyeringai.
Bayu terus memperhatikan gadis di depannya. Selain kecantikan yang membius perasaan, gerak-geriknyapun menggemaskan.
Semakin memandangnya, ia semakin suka, semakin berdekatan dan menghabiskan waktu berdua seperti saat ini, semakin tidak karuan segala emosi di dalam diri Bayu, terlebih ada magnet ketertarikan seksual yang tinggi.
'Kamu harus kumiliki, Sarah. Terserah apapun kamu menganggapku dengan otak remajamu itu,' batin Bayu bergelora.
Sarah sibuk mencicipi setiap hidangan, Bayu sibuk memperhatikan setiap detail dari gerakan Sarah seolah sedang merekamnya dan mengabadikannya pada sel-sel otak.
"Segala sesuatu dari diri kamu tuh sangat cantik," gumam Bayu tanpa sadar.
Sarah terperangah mendengar gumaman yang tidak jelas dari mulut Bayu. "Hah? Bapak bilang apa?" tanya Sarah, aslinya memang tidak mendengar.
"Tidak ada, cuma terpana lihat kamu," kilah Bayu cepat-cepat.
"Oh, ayo makan sih, mang mau makan dari piring aku lagi kaya di kantin dulu, he he," seloroh Sarah.
"Boleh banget kalau kamu gak keberatan," jawab Bayu berharap.
"Gak, karena makanan di kantin rasanya biasa aja, aku suka rela mau berbagi, tapi kalau makanan enak kaya gini, uh jangan harap," sergah Sarah sambil memajukan bibirnya dan menggelengkan kepalanya.
"Oh, jadi gitu ya, berarti aslinya kamu pelit," ujar Bayu mesam mesem.
"Iya lah, kecuali aku udah gak butuh baru aku kasih. Apa salah?" tanya Sarah.
"Yaa, gak salah sih, bagus juga berarti kamu punya prinsip," sahut Bayu.
"Makasih," kata Sarah.
"Sama-sama. Selesai makan aku mau kasih lihat draft kontrak yang udah aku buat tadi siang," ujar Bayu.
"Ah? Draft kontrak apa?" Sarah mengangkat wajahnya, menatap Bayu dalam raut wajah polos.
Bayu terpana sejenak sebelum menjawab dengan sedikit tergagap, "Ah, itu ... i-itu yang mengenai pernikahan kita, ingat?"
"Wah, Bapak gercep sekali ya, aku malah belum kepikiran apa-apa. Boleh deh aku intip-intip ntar, he he, aku kan kepo," ujar Sarah cengengesan.
Gadis itu bukan tipe gadis yang pemalu dan ia cukup berani untuk menentang apa yang tidak sesuai dengan pikirannya, selaras dengan keras kepalanya yang sulit ditaklukkan.
Waktu makanan penutup dihidangkan dan bekas makan dibereskan oleh pelayan, Bayu masuk ke dalam kamar mengambil tas kerjanya.
Ia menunggu sampai pelayan ke luar kamar lalu meyodorkan berkas kapada Sarah. "Ini."
"Oke, aku baca ya."
Bayu menunggu dengan sabar saat Sarah membaca draft perjanjian sampai dua kali balikan. "Bagaimana?" tanya Bayu tidak sabar karena ia tidak bisa membaca apa yang terlintas pada benak gadis itu dengan wajah yang datar tanpa ekspresi.
Sarah menggelengkan kepalanya lalu melipat halaman lainnya. "Terlalu berat buatku. Kalau menikah tujuannya hanya ingin membuatku merasa terpenjara, baiknya jangan deh, aku ini suka kebebasan," tolak Sarah.
"Hei, hei ... yang mana?" tanya Bayu.
"Semuanya!" seru Sarah.
"Aku gak butuh pengawal, gak butuh supir pribadi, gak butuh pulang harus tepat waktu, yang benar saja, aku kan punya teman di sana sini, sesekali mereka ajak aku pergi, gak mungkin bisa pulang tepat waktulah. Terus, harus tinggal satu kamar?! Oh, no, no, no! Nikah kontrak kan nikah boongan ngapain juga harus tidur satu kamar?" celoteh Sarah panjang lebar.
Karena itu kondisi hatinya mulai kacau, Sarah berdiri lalu berbalik sambil meraih tongkat infus, meninggalkan Bayu dengan rasa jengkel luar biasa.