Amarah Bayu masih bergulung-gulung di dalam hatinya. Ia melangkah panjang-panjang setelah ke luar dari lift di pelataran parkir basement, lalu segera memasuki mobilnya sambil berkata pada supirnya, "Jalan saja terserah ke mana."
Supir yang telah bekerja sepuluh tahun bersama Bayu, memahami maksud majikannya. Ia pun segera melajukan mobil dan mencari pintu tol terdekat.
Biasanya, Bayu akan diam saja menatap jalanan dari kaca jendela mobil saat dirinya sedang memikirkan masalah yang berat. Sang supir hanya butuh menyetir mobil dari ujung tol ke ujung tol.
"Tuan, mohon maaf sebelumnya, tapi ada yang harus saya sampaikan, mengenai ibu mertua dan istri Tuan," kata supir dengan hati-hati, ia tercekat karena ketakutan.
"Katakan!" titah Bayu pendek.
"Saya menerima pesan yang berulang kali, maaf baru berani menyampaikan kalau Nyonya Viona menunggu biaya rumah tangga, mereka kesulitan walau hanya untuk membeli beras," lapor sang supir.
"Apa?! Ha ha, lelucon apa itu? Kamu percaya? Lantas ke mana duit mahar seratus juta? Bukankah kalau mau makan tinggal datang ke kantin? Tidak perlu bayar sama sekali!" Bayu mendengus kesal. "Dia juga tidak perlu bayar listrik, laundry dan lain-lain. Tinggal tunggu panggilan cerai doang," lanjut Bayu.
"Baik, Tuan, akan saya sampaikan," kata supir itu cepat-cepat.
"Kuburan mamaku masih basah, tidak mungkin aku menceraikannya sekarang ini. Lagi pula, aku harus memisahkan harta dulu biar dia gak menuntut gono gini yang bukan hak-nya," kata Bayu sambil bergidik. Ia merasa ngeri dengan karakter buruk Viona dan Lena.
Aneh rasanya kalau orang mengatakan istri, seolah-olah dia merasa senang berstatus sebagai suami Viona.
"Jangan bahas tentang dia lagi pada saya, apapun juga katakan pada Sean, mengerti?!" seru Bayu kemudian. Ia benar-benar dibuat kesal oleh supirnya yang tidak tahu waktu kapan yang tepat untuk membahas hal yang berkaitan dengan Viona.
"Maafkan saya, Tuan," jawab supir dengan jantung yang berdebar-debar.
"Pulang ke rumah ibu saya," titah Bayu kemudian.
"Baik, Tuan." Sang supir paham apa yang akan terjadi padanya.
Suasana hatinya semakin memburuk gara-gara membahas Viona dan ia merasa tidak ada gunanya menyusuri jalanan karena merasa kesal pada supirnya itu.
Dengan cepat, mobil ke luar dari jalan tol, kembali ke jalanan kota menuju ke kediaman Bayu. Setelah berhasil memindahkan Viona dan ibunya ke apartemen karyawan, Bayu pun kembali pulang ke rumah dan ia semakin murka saat tahu kalau poto-poto mendiang istri dan putranya rusak parah akibat kelakuan Viona.
Namun, setelah itu ia mencetak poto berukuran lebih besar dengan pigura yang lebih mewah dari sebelumnya serta memperbanyak hingga di seluruh ruangan akan ditemui poto-poto mendiang istri, putranya serta ibunya.
Sampai di kediaman, Bayu segera menelepon Sean dan memerintahkan untuk mengganti supir baginya. "Pindahkan dia untuk menyupiri urusan para pelayan. Cariin supir yang peka dengan keadaan!"
"Ok." Sean menjawab pendek saja.
Bayu masuk ke dalam kamarnya sendiri lalu menghempaskan tubuhnya ke atas kasur sambil membuka pesan yang dikirim ajudannya dari lounge. Pesan itu berbentuk video pendek.
Ia pun segera membukanya. Tampak di layar sosok Radit yang sudah siuman dan teriak-teriak kebingungan karena tidak berhasil menemukan bajunya.
Lelaki itu berbugil ria sambil berlari ke sana sini di dalam ruangan dan kepanikan tampak nyata pada wajahnya.
Mata elang Bayu memperhatikan Radit dengan seksama sambil menyeringai. Sungguh ia tidak rela lelaki itu telah meniduri Sarah, wanita yang diinginkannya.
"Aku akan serahkan semuanya pada Sarah. Aku akan membantunya membalas dendam padamu, Radit sialan!" seru Bayu dengan geram.
Kemudian, ia menelepon ajudannya yang berada di penthouse.
"Halo? Bagaimana keadaan Sarah?" tanya Bayu langsung ke tujuan.
"Dokter sudah menguras isi perutnya, Pak, tapi ada yang sudah masuk ke dalam aliran darah dan hanya bisa menggunakan obat. Jadi, nona Sarah harus benar-benar bedrest untuk beberapa hari," jawab ajudannya dengan lancar.
"Ok, apa yang dia makan?" tanya Bayu lagi.
"Semacam obat yang dimasukkan ke dalam orange juice, sisa juice-nya sudah dikirim ke labolatorium, hasilnya baru besok ke luar. Nona belum makan apa-apa, sepertinya memang menolak makan," sahutnya.
"Temannya?" desak Bayu.
"Temannya sudah diberi penjelasan oleh dokter dan terus menangis, sekarang ada di kamar menemani nona Sarah," ujar ajudan itu.
"Itu kamar saya. Dia tidak boleh tidur di sana. Tempatkan di kamar samping," kata Bayu dengan nada tidak senang.
"Baik, Pak. Mengenai lelaki itu gimana? Dia gak bisa ke luar karena pintunya dikunci dan teriak-teriak meminta bajunya."
"Biarkan saja dia di sana. Saya masih belum bisa memikirkan yang lain," jawab Bayu dengan dingin.
"Baik, Pak."
"Ya sudah cepat lakukan apa yang perlu dilakukan," kata Bayu seraya memutuskan sambungan telepon.
Semalaman itu, Bayu gelisah hingga tidak bisa tidur nyenyak. Ia selalu terbangun dalam beberapa menit. Rasanya sangat tersiksa. Wajahnya tampak lusuh dan rautnya dipenuhi berbagai emosi.
Ingin rasanya cepat pagi dan segera datang ke penthouse melihat Sarah, meski hatinya terluka karena gadis itu sudah ternoda oleh lelaki mesum sialan.
Sampai sinar matahari menyentuh bumi, Bayu tidak berhasil tidur sewajarnya. Ia segera masuk ke kamar mandi, mengguyur tubuhnya dengan air panas lalu menyantap sarapan pagi dan bergegas pergi diantar supir lain yang dulunya menjadi supir Mariana, mendiang ibunya.
"Burge," kata Bayu pada supirnya.
Mobil pun melaju meninggalkan rumah besar itu menuju tujuan, hotel residence termewah di kota itu, di mana Bayu pemilik saham mayoritas dan berada di bawah naungan perusahaan induk yang dikelola olehnya.
Kedatangan Bayu disambut oleh para pekerja di sana dengan berdiri berjejer dan membungkuk hormat.
"Selamat pagi, Pak Bayu, selamat datang." Demikian sambutan yang diberikan dan diucapkan secara bersamaan.
Bayu hanya mengangguk sambil melangkah panjang-panjang menuju sebuah ruangan sebagai akses menuju lift khusus yang terhubung dengan penthouse.
Ia menghela napas setelah berada di dalam lift bersama salah satu ajudannya. "Bagaimana keadaan pagi ini?" tanya Bayu.
"Kedua Nona baru saja sarapan pagi. Saya memanggil salah satu chef dari rumah Nyonya besar karena ada menu khusus yang disarankan dokter untuk nona Sarah," jawab ajudan itu.
"Ok, tidak masalah," timpal Bayu tepat ketika pintu lift terbuka.
Bayu mengayun langkah dengan kedua tangan berada di dalam saku celananya. Ia menaiki tangga melingkar dengan cekatan dan dalam sekejap sudah sampai di lantai dua lalu langsung masuk ke dalam kamar.
Kedua mata Sarah membelalak saat tahu siapa yang datang dan masuk ke dalam kamar. "Eh, eh, Bapak? Kok ada di sini?" tanya Sarah merasa heran.
Sarah baru bertemu Bayu ini yang ketiga kalinya. Pertama di kantin perusahaan, kedua waktu Radit mendatanginya di kantor dan saat ini, memasuki kamar bahkan tanpa mengetuk pintu.
"Bagaimana keadaanmu sekarang?" tanya Bayu mengabaikan pertanyaan Sarah sambil menghempaskan bokongnya pada kursi sofa.
"Aku baik, tapi kenapa Bapak ada di sini dan kenapa tidak mengetuk pintu?" tegur Sarah merasa tidak suka.
Bayu menoleh kepada Melly yang tampak ciut melihat kedatangan lelaki yang semalam menghardiknya dengan keras. "Kamu, tolong tinggalkan kami," kata Bayu pada Melly yang langsung berdiri dan melesat dengan cepat.
"Apa yang Bapak lakukan? Kenapa nyuruh Melly pergi?" Sarah mulai marah sekarang.
"Karena aku butuh bicara berdua saja denganmu," sahut Bayu tak acuh.
Saat itu, Bayu belum bisa bersikap manis dan lembut pada Sarah karena hatinya masih dipenuhi oleh kemarahan.
"Oke, bicaralah. Aku tidak tahu apa yang terjadi, kenapa ada di sini, ini tempat siapa dan kenapa Bapak juga ada di sini, aku benar-benar tidak paham," kata Sarah sambil menatap tajam pada Bayu.
"Baik, akan aku jelaskan. Mulai dari peristiwa semalam. Aku melihat kamu berdua temanmu masuk ke lounge dan mendengar nama Raditya disebut oleh pelayan. Lalu tidak lama temanmu kembali ke lounge duduk sendirian dan gelisah.
Kemudian, setelah lama kamu tidak muncul aku mencari yang namanya Raditya berada di room mana, dan aku mendengar suara-suara dari dalam, ajudanku membuka pintu dan Raditya dengan telanjang bulat tengah menggagahimu.
Kamupun telanjang bulat tapi tidak sadarkan diri. Lalu aku membawamu ke sini, ini tempat milikku, lalu aku panggil dua dokter untuk merawatmu dan memanggil temanmu untuk menemani kamu," kata Bayu seadanya.
"Apa?! Apa kamu bilang? Aku telanjang bulat dan disetubuhi oleh Radit?! Lalu siapa yang memakaikan bajuku?!" teriak Sarah nyaris histeris.
"Aku," jawab Bayu pendek.
"Apa?! Ya, Tuhan. Tidak! Tidak mungkin! Pergi kamu, pergi!" teriak Sarah semakin kalap sambil mengusir Bayu dari sana.
"Sayangnya tidak bisa kamu usir aku. Aku masih ada yang mau dibicarakan. Sekarang, kamu tenangkan diri dulu. Gak perlu marah hanya karena aku melihatmu telanjang, karena bukan aku yang menelanjangi kamu tapi Radit," kata Bayu dengan tenang.
Sarah menutup wajahnya dengan kedua tangan dan mulai menangis. "Sisanya kamu tahu sendiri kan? Kedua dokter itu pasti sudah bercerita keadaanmu," lanjut Bayu.
Terdengar isak tangis Sarah mulai mereda. Bayu menyodorkan kotak tissue pada Sarah.
"Apalagi yang Bapak mau bicarakan?" tanya Sarah setelah menenangkan diri dari kemarahan dan rasa malu yang membuatnya bagai tercekik.
"Aku mau cerita tentang diriku dan rencana ke depan," sahut Bayu.
"Tapi, apa hubungannya denganku?" tanya Sarah heran, antara dirinya dengan lelaki yang bahkan tidak tahu namanya ada urusan apa?
"Nanti jadi ada hubungannya. Dengarkan dulu, please?" pinta Bayu.
"Oke, katakan saja," ujar Sarah sambil menelan salivanya.
"Tiga tahun setengah yang lalu, aku mengalami kecelakaan mobil, istri dan putraku yang berumur dua tahun, meninggal di tempat, tapi aku justru selamat," kata Bayu dengan suara tercekat. Kenangan pahit itu memang harus dibuka.
Kedua mata Sarah membeliak sambil menutup mulut dengan tangannya. "A-aku minta maaf atas kehilanganmu, Pak," ucap Sarah dengan nada sungguh-sungguh.
"Terima kasih." Bayu menengadahkan kepalanya menahan matanya yang berkaca-kaca agar butiran beningnya tidak terjatuh.
"Selama tiga tahun, rasa dukaku tidak pernah berakhir. Ibuku, satu-satunya keluargaku karena ayahku telah lama meninggal, panik melihatku yang mulai hidup acak-acakkan dan fokus pada kerja. Beliau mulai merancang kencan buta dengan berbagai wanita dari berbagai kalangan.
Aku selalu menggagalkan kencan itu dengan berkata kasar dan bersikap tidak peduli hingga wanita-wanita yang dipilih ibuku semuanya mundur. Hingga satu bulan yang lalu, ibu jatuh di kamar mandi dan aku membawanya ke rumah sakit, kondisi ibu semakin parah dari hari ke hari.
Beliau kedatangan salah satu temannya yang mempunyai anak gadis dan ibuku memintanya untukku.
Dengan alasan ingin melihat anaknya menikah sebelum meninggal akhirnya aku tidak bisa menolak, keesokan harinya pernikahan itu terjadi di kamar rawat inap ibuku dan keesokan harinya, ibu wafat," kata Bayu mulai menangis.
"Ya, Tuhan ... aku ikut berduka, Pak," kata Sarah yang turut merasa sedih.
"Wanita yang menjadi istriku itu, ternyata seorang penipu dan motifnya menerima pinangan ibuku adalah karena harta ibuku. Aku sejak menikah, tidak pernah melihatnya lagi karena ditempatkan di apartemen karyawan, bahkan mereka, ibu dan putrinya tidak peduli atas kematian ibuku tapi justru sibuk ingin menguasai rumah ibuku, karena itulah aku menempatkan mereka di apartemen karyawan." Bayu menghembuskan napasnya.
"Ibuku baru dua minggu meninggalnya, saat ini masih dalam masa-masa berkabung dan aku belum bisa menceraikannya karena kuburan ibu saja masih basah, tapi kami harus bercerai secepatnya," lanjut Bayu.
"Lalu, semua ini apa hubungannya denganku?" tanya Sarah sambil mengernyitkan dahinya.
"Aku ingin menikahimu. Aku jatuh cinta padamu, Sarah," kata Bayu sungguh-sungguh.
"Apa?!"