Suasana di dalam ruangan tiba-tiba hening. Sarah merasa speechless setelah mendengar perkataan Bayu terakhir. Ia sungguh tidak tahu harus menjawab apa.
Rasanya lucu, seorang lelaki yang baru saja bercerita menikahi seorang wanita, lalu dengan tidak tahu malu, malah menawarkan keinginannya untuk memperistri Sarah.
"You're out of your mind!" pekik tertahan Sarah sambil menggelengkan kepalanya berulang-ulang.
Bayu memalingkan wajahnya, ia mengerti kalau Sarah merasa terkejut dan memberikan reaksi penolakan secara keras. Ia pun merasa bingung dan heran dengan dirinya sendiri. Entah apa yang mendorongnya untuk menyatakan ingin menikahi Sarah?
Tindakan impulsif yang sama sekali tidak dipahaminya, ia hanya mengikuti kata hatinya, menikah dengan orang yang sangat disukainya lebih dulu, mengikatnya dalam suatu ikatan entah wanita itu bisa mencintainya atau tidak, itu urusan belakang.
"Apa kamu punya keinginan balas dendam pada Radit dan tunangannya?" tanya Bayu, merasa ada jalan. Ya, dia akan usahakan dari berbagai sisi agar gadis itu mau jadi istrinya.
Sarah menoleh cepat dengan mulut ternganga. "Tunangan?!" serunya tidak percaya.
"Yup. Radit sudah tunangan minggu lalu, kalau gak salah nama panggilan ceweknya Rara apa Tara gitu," jawab Bayu, kali ini ia sudah bersikap tenang kembali.
"Ta-tapi, kenapa dia tega melakukan hal itu padaku?" tanya Sarah lebih kepada dirinya sendiri.
"Karena dia ingin menghancurkan kamu dengan cara mempermalukan kamu. Maka dia berharap tidak akan ada satu lelaki pun yang berani dekat denganmu, sementara dia akan pamer pada dunia di hari pernikahannya, tiga bulan lagi," tutur Bayu dengan santai.
"Pada akhirnya, kamu akan kembali padanya untuk dijadikan simpanan atau kekasih gelap." Bayu menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi.
"Apa seperti itu mau kamu? Kalau kamu mau balas dendam, apa kekuatan kamu?" tanya Bayu saat melihat gadis itu termangu dalam raut wajah yang sulit diartikan.
"Mari kita luruskan, aku tidak mengenal Bapak selain tahu bahwa kita satu kantor. Ok, terima kasih atas pertolongan Bapak walaupun mungkin terlambat.
Selanjutnya, Bapak baru saja menikah resmi, sehina apapun keadaanku, rasanya aku masih harus menjaga martabatku jangan sampai menikah dengan lelaki yang sudah beristri, apapun alasan Bapak dalam menikahinya, yang jelas Bapak seorang suami.
Sampai sini Bapak bisa mengerti apa yang saya utarakan?" Sarah menatap Bayu lekat-lekat.
Lelaki itu tampak lusuh dengan kantung mata hitam dan wajah lelah. Sarah tahu kalau itu akibat dari tidak tidur dan baik raga mau pun jiwanya sangat kelelahan.
Bayu terdiam beberapa saat. Kelopak matanya terangkat dan ia menatap Sarah kembali. "Setelah empat puluh hari ibu, saya akan menceraikannya. Semua sudah disiapkan dan itu akan menjadi urusan saya. Bagaimana dengan Radit? Bagaimana cara dendam kamu padanya?" tanyanya.
Sarah menelan salivanya. Ia belum terpikirkan dengan cara apa menjalankan dendamnya pada Radit, sampai saat itu, belum terpikirkan sama sekali.
"Biarlah itu menjadi urusan saya," sahut Sarah mengutip kata-kata Bayu, yang mendadak tersenyum mendengar perkataan Sarah.
"Bagaimana kalau menandatangani kontrak satu tahun, kalau kamu tidak betah, kita bisa cerai tanpa harus ada orang yang tahu mengenai pernikahan kita, selama itu, aku akan membantumu membalaskan dendam pada Radit dengan skenario kamu, tapi dengan syarat, kamu tinggal di sini bersamaku," kata Bayu seraya bingung entah dari mana ide itu berasal.
Tatapan Sarah penuh dengan ketidak percayaan. "Bapak mau nipu aku," timpalnya cepat.
"Nipu bagaimana? Kamu boleh mengajukan syarat, aku juga punya syarat, kita sama-sama ajukan dan tanda tangan," sergah Bayu.
"Tapi, untuk apa semua ini terjadi? Menikah dengan persyaratan, tidak masuk akal," ujar Sarah dengan kesal.
"Tolong pertimbangkan, sebagai suami aku akan bertanggung jawab pada hidupmu, meskipun kamu menolak menjalankan kewajibanmu, dan aku akan membantu apapun yang kamu butuhkan," pungkas Bayu seraya berdiri. Lalu menatap Sarah lekat-lekat.
"Aku harus kerja, nanti malam, berikan aku daftar persyaratanmu, take care." Bayu melangkah meninggalkan Sarah yang masih terbengong-bengong.
"Haish! Apa itu tadi? Ah, aneh-aneh saja!" seru Sarah sambil melemparkan bantal ke lantai kayu.
"Sarah?! Ada apa? Kenapa kamu marah-marah?" tanya Melly yang menghambur ke dalam kamar.
"Lelaki sombong tadi udah pergi?" Sarah balik bertanya.
"Sudah masuk lift. Apa dia ganggu kamu? Sarah, ayo kita pulang, di sini pun gak aman. Kamu tuh lepas dari mulut buaya, masuk ke kandang singa," kata Melly yang merasa sebal pada Bayu karena ia di hardik habis-habisan semalam.
Melly sadar kalau apa yang menimpa Sarah ada keterlibatan dia di dalamnya. Kalau ia tidak memaksa Sarah bertemu Radit, kejadian pemerkosaan dengan membuat Sarah pingsan, tidak akan terjadi.
Ia sangat menyesali karena telah memaksakan kehendaknya dan membuat Sarah celaka yang tidak akan bisa diperbaiki, tapi, lelaki tadi tidak punya hak sama sekali untuk menghakiminya.
"Dia satu kantor denganku. Tidak mungkin aku menghindarinya kan? Karena aku butuh menjadi karyawan tetap di sana, Mel. Jadi, aku tidak bisa mengatakan kalau dia adalah kandang singa. Dia tidak melakukan apapun padaku, cuma bilang ingin menikah denganku," kata Sarah ragu-ragu.
Ia ingin menceritakan semua yang dibicarakan oleh lelaki itu, tapi sejurus kemudian ia sadar kalau semuanya harus dirahasiakan.
"Hah? Dia ingin nikahin kamu? Emang kamu sudah sering ketemu apa gimana? Di kantor dia sebagai apa? Pasti jabatannya tinggi ya? Buktinya bisa sewa penthouse kaya gini?" Melly memberondong Sarah dengan pertanyaan bertubi-tubi.
"Bukan sewa, tapi emang punya dia. Aku disuruh tinggal di sini kalau setuju menikah sama dia," jawab Sarah.
Melly tampak terkejut, ia membeliak sambil berkata, "No, no, no." Telunjuknya berayun-ayun kiri kanan di depan wajahnya.
"Sarah, kamu tidak tahu dia siapa, kamu tahu? Ini terdengar too good to be true! Jangan mau, percaya deh sama aku, Sarah. Jangan mau! Ayo kita pulang," ajak Melly sambil menarik tangan Sarah.
Sarah merasa kesal dengan reaksi Melly yang tidak bisa diajak diskusi tapi cenderung mengambil keputusan sendiri seolah-olah Sarah adalah anaknya yang baru berumur lima tahun.
"Hei, kamu tarik-tarik begini, kepalaku lagi sakit tahu," kata Sarah sambil meringis.
"Oh, maaf, maaf. Tapi, Sarah ayo kita pulang aja, jangan percaya sama orang itu, beneran, aku gak setuju kalau kamu sampai nikah sama dia. Lagian kamu kan udah ... ah, pokonya terdengar aneh aja.
Lagian juga siapa yang tahu kenyataan penthouse ini beneran punya dia apa bukan? Kalau dia cuma pinjem, gimana?" celoteh Melly yang merasa takut kena marah lagi dari Bayu kalau ia berlama-lama berada di sana.
"Kenapa aku harus punya izin dari kamu?" tanya Sarah sambil mengernyitkan dahinya.
"Eh, bukan begitu maksudnya, tapi, kamu harus percaya sama aku, ingat ini tuh terlalu, terlalu apa ya? Terlalu bagus buat jadi kenyataan alias bohong, Sarah. Ngerti kan maksudku?" Melly berusaha menjelaskan.
Sarah menggelengkan kepalanya pelan-pelan. "Aku tidak harus percaya penilaianmu. Terakhir ngikutin apa yang menurutmu benar nyatanya aku dibius dan diperkosa.
Saat itu pun, bukan kamu yang menolongku, tapi lelaki tadi," tegas Sarah dengan sorot mata kecewa.
"Astaga, Sarah! Aku kan sudah minta maaf sampi puluhan kali, kenapa kamu masih nyalahin aku?!" seru Melly dengan nada tinggi.
"Mel, kamu pulang aja. Aku lagi butuh berpikir. Thanks atas semuanya, tolong tinggalkan aku sendiri," kata Sarah yang merasa jengkel.
Mestinya, Melly benar-benar tampil sebagai sahabat yang bisa memahami apa yang dirasakan Sarah atas peristiwa semalam, bukan masalah permohonan maaf dan kembali memaksakan kehendaknya serta mengatur-atur hidup orang lain.
"Kamu usir aku?! Hei, Sarah! Kamu sadar dong, apa yang aku lakukan itu untuk kepentinganmu! Untuk melindungimu!" teriak Melly yang membuat kepala Sarah semakin berdenyut-denyut.
Sarah memijat-mijat kepalanya sambil meringis, entah apa yang terjadi, kenapa kepalanya terasa bagaikan ditusuk ribuan jarum.
"Ada apa, Nona?" tiba-tiba ajudan Bayu telah berdiri di ambang pintu.
Sarah mengangkat kepalanya dengan mata yang berkaca-kaca. "Pak, teman saya mau pulang, tolong diantar ke bawah," kata Sarah sambil menatap Melly dengan tajam.
Ajudan itu paham kalau Sarah merasa bermasalah dengan temannya, ia pun menjawab, "Saya akan pastikan itu, Nona Sarah." Ia beralih menatap Melly. "Nona Melly mari ikut saya," tegasnya.
Melly mendengus keras dengan mata melotot pada Sarah. "Kamu jahat, Sarah! Mulai detik ini, kamu bukan temanku lagi!" pekiknya seraya mengangkat kaki ke kamar sebelah untuk mengambil tasnya.