Chereads / Istri Muda Sultan / Chapter 16 - Kenangan Pegkhianatan

Chapter 16 - Kenangan Pegkhianatan

Lelaki muda itu tampak segar dengan kulit kecoklatan karena terpapar sinar matahari pantai. Gayanya yang santai dan terkesan seenaknya, penampilan dan gerak geriknya mencerminkan 'bad boy' masa kini yang digandrungi para gadis-gadis sekolahan.

Matanya menatap Sarah dengan tatapan kerinduan sekaligus nafsu yang tidak pernah tersampaikan. Ia mencintai gadis itu, tapi Sarah tidak bisa disentuhnya.

"Hai, Cantik," ucapnya seraya mengulurkan tangan dan sebelum Sarah menyadari, tangannya telah merengkuh bahu Sarah lalu menariknya hingga tubuh Sarah menempel pada tubuhnya, seperti berpelukan.

Secara refleks, Sarah bereaksi. Ia mendorong tubuh lelaki itu dengan kemarahan yang memuncak. "Hei! Jangan kurang ajar kamu! Ngapain kamu ke sini?!" pekik Sarah sambil melotot setelah keduanya berjarak sekitar dua langkah. "Dari mana kamu tahu aku di kantor ini?"

Lelaki yang bernama Raditya itu memasang wajah memelas sambil menatap Sarah dengan sendu. "Sarah, aku mau minta maaf, aku ingin menjelaskan semuanya. Aku tahu, kamu salah paham padaku, Sarah. Aku sadar aku salah. Itulah kenapa aku mencarimu dan sampai ke sini."

"Sudah tiga bulan kita gak ada hubungan apa-apa lagi. Bisakah kamu menjauh dan jangan ganggu aku lagi?" Sarah menyambar tas dari atas meja dan bergerak cepat menuju pintu.

Namun, Radit bergerak lebih cepat, ia berhasil mencegat Sarah tepat sebelum menggapai ambang pintu. "Tolong dengarkan aku, Sarah, please?" katanya menghiba.

"Tidak ada yang harus dibicarakan lagi, semua sudah selesai. Dit! Tolong jangan halangi aku," pinta Sarah seraya mundur satu langkah dengan tatapan tidak suka.

Tiba-tiba, suara bariton yang berat dan dingin mengudara di antara Sarah dan Radit. "Sarah, apa kamu baik-baik saja? Siapa penyusup ini?"

Bayu berdiri dengan kedua tangan di dalam saku celana, menyibakkan ujung-ujung jasnya. Wajah itu sangat dingin dengan tatapan menusuk pada Radit.

"Hah? Penyusup Anda bilang? Hei, apa kantor ini tertutup untuk tamu yang berkunjung pada pegawainya?" Radit tidak terima dengan ungkapan 'penyusup' yang dilontarkan Bayu kepadanya.

"Tamu tidak diperbolehkan masuk ke ruang kerja. Apakah Anda tidak melihat ada tulisan di sana? Apakah Anda tidak paham dengan ruang tunggu di sana?" desak Bayu mulai emosi.

"Saya menemui kekasih saya, tentunya saya harus tahu ruang kerjanya. Kenapa Anda keberatan?" elak Radit masih ngotot.

"Eh, kekasih siapa? Jangan mengada-ngada kamu!" pekik Sarah tidak terima sambil melangkah cepat melewati Radit dan segera berlari meninggalkan kantor, tanpa mempedulikan Bayu.

"Anda dengar apa kata wanita itu," ujar Bayu seraya berbalik dengan wajah yang memerah. "Sebarkan poto orang itu, jangan sampai dia berani masuk wilayah sini lagi!" titah Bayu pada ajudannya.

Radit segera berlari setelah Bayu meninggalkannya. Ia berusaha mengejar Sarah. Nyatanya, gadis itu telah menghilang dan tidak berhasil ditemukan.

"Sialan!" jerit Radit setelah berlari ke jalan raya dan memeriksa halte bis terdekat dengan napas tersengal-sengal.

Ia kembali ke pelataran parkir menghampiri mobilnya sambil menggerutu. Tiga bulan sudah Sarah memutuskannya secara sepihak, selama tiga bulan pula ia telah berusaha meraih gadis itu kembali, tapi Sarah selalu melarikan diri darinya.

Sarah terpaksa mencegat taksi meskipun tidak memiliki uang yang cukup, ia berencana menemui teman dekatnya yaitu Melly dan meminta tolong untuk membayarkan argo taksinya sebagian.

Ia tidak berani pulang ke rumah, karena pasti Radit akan mencarinya ke sana. Untuk sementara waktu, ia akan menginap di tempat temannya yang tidak diketahui oleh Radit.

Tiga bulan yang lalu.

Kekacauan itu bermula saat Sarah menghadiri pesta ulang tahun teman dekat Radit. Masih jelas dalam ingatan bagaimana peristiwa menyakitkan itu terjadi.

"Aku tidak bisa datang, Sayang ... aku harus mengantarkan mama berobat. Baiknya kamu juga tidak usah datang, ucapkan selamat saja lewat pesan, oke, Sayang?" ucap Radit saat itu.

"Tapi aku gak enak kalau gak datang, bulan lalu, dia khusus nganterin kado ultah buatku sampai ke rumah loh," jawab Sarah.

"Besok kamu lakukan hal yang sama aja, bawain kado ke rumahnya ya, biar aku yang beli kadonya. Oh ya, Sarah, udah dulu ya, mamaku udah siap. Bye, Sayang, I love you!" pungkas Radit seraya memutuskan sambungan telepon.

"E, eh, Dit? Radit? Halo?! Ah, malah dimatiin," gerutu Sarah dengan kesal.

Tiba-tiba teleponnya kembali berdering, Sarah segera mengangkatnya tanpa melihat layar. "Dit? Kenapa kamu matiin teleponnya?" cecar Sarah merasa dongkol.

"Hai, Sarah? Ini aku, Melly. Kenapa dengan Radit? Kalian berantem?" Ternyata bukan Radit yang telepon.

"Ah, maaf, kirain Radit. Kenapa, Mel?" tanya Sarah.

"Kamu mau ke party-nya Dozan kan? Aku nebeng ya, soalnya gak ada temen."

"Itu dia, Radit katanya mau anter mamanya berobat. Jadi, aku disuruh di rumah aja," sahut Sarah dengan nada masih kesal.

"Hei, really?! Radit bilang gitu? Ah, bokis banget dia. Udah deh, ntar kita datang aja. Buktiin apa iya Radit gak datang. Bentar lagi aku jemput kamu!" Panggilan telepon pun diputus oleh Melly.

Sarah menatap telepon genggamnya sambil mengernyitkan dahi. 'Ada apa sih dengan orang-orang itu pada matiin telepon?'

Dalam kondisi belum berdandan dan berpakaian untuk pesta, Sarah duduk di kursi teras rumahnya sambil melamun. Ia sangat ingin menghadiri undangan tersebut karena belum pernah datang ke pesta yang diselenggarakan oleh orang-orang kaya.

Dua puluh menit kemudian, ada taksi yang berhenti tepat di depan rumah Sarah dan tak lama, Melly turun dari taksi dengan tatapan heran melihat Sarah yang masih mengenakan celana pendek dan kaus.

"Sarah! Ya, ampun. Ayo cepat ganti baju!" teriak Melly seraya menarik tangan Sarah membawanya ke dalam kamar.

"Gak usah make up, pake bedak sama lipstik aja, rambutnya diikat ke atas, ayo, cepat," ujar Melly yang penampilannya terlihat heboh dengan make up tebal.

Sarah dengan keterbatasannya, hanya mengenakan baju mini dress selutut dalam warna hijau pupus yang membuat kulitnya tampak semakin cerah. Sederhana tapi sangat menawan.

Mereka berangkat menuju tempat pesta yang sebenarnya terlambat. Acara utama telah selesai, yang masih berlangsung adalah acara party yang sebenarnya.

Sarah dan Melly bersusah payah mencari orang-orang yang mereka kenali, tapi sampai Dozan menghampiri mereka, hanya dialah satu-satunya yang dikenal.

"Hai, hai ... siapa yang datang ini, ah mutiara yang terpendam hadir juga juga? Thanks, girls, udah nyempetin datang, tapi ... kenapa Radit gak datang sama kamu ya tadi?" sapa Dozan yang sudah setengah mabuk, menyapa Sarah dan Melly.

"Hai, happy berthday, Zan," ujar Melly sambil berpelukan sejenak.

"Ya, tengkyu,tengkyu," jawab Dozan sambil menyeringai ke arah Sarah.

Sarah tampak terkejut mendengar pertanyaan heran dari Dozan. "Ra-Radit ada di sini?" tanya Sarah tergagap. "Di mana dia," tanyanya kemudian.

"Pastilah di rumah ini dong, Cantik," sahut Dozan sambil memicingkan kedua matanya, seolah sedang menerka-nerka harga dari sebuah barang antik yang disukainya.

"Iya, tapi di mana?" desak Melly sambil melihat ke sekeliling.

Kenyataannya, mereka tidak menemukan satu orang pun yang mereka kenal selain Dozan sendiri.

"Palingan lagi begini, di atas." Dozan menarik jempolnya ke depan hidung dari kanan ke kiri.

Melly tertegun. Ia tahu kalau orang-orang di sana tampak mabuk semua, tapi ia pikir sebabnya karena minuman alkohol, bukan seperti yang dimaksud oleh Dozan.

"Mel, itu tadi maksudnya apa?" tanya Sarah tidak mengerti dengan isyarat Dozan tadi.

Melly meraih tangan Sarah dan segera menuntunnya ke arah tangga yang melingkar dan sangat megah.

"Ikut aku, kamu penasaran kan Radit ngapain dan sama siapa aja?"

Sarah hanya mengangguk sambil terus memasang matanya dengan waspada. Berbagai pikiran berkecamuk, menduga kalau Radit sengaja berbohong padanya karena tidak ingin ketahuan mabuk seperti tamu yang lain.

Dari ujung tangga lantai dua, disuguhkan dengan ruangan keluarga yang besar. Tidak ada siapa pun di sana. Melly kebingungan harus ke mana sampai telinga mereka mendengar suara tawa wanita yang berderai.

Disusul oleh suara tawa lelaki yang sangat dikenali oleh Sarah. "Radit bersama wanita? Tapi, siapa?" Dadanya mulai bergemuruh disertai kulit wajah yang terasa panas.

"Sstt ...," Melly menempelkan jari telunjuk pada bibirnya, mengisyaratkan agar Sarah tidak mengeluarkan suara.

Ia menuntun Sarah melangkah ke arah lorong dari mana suara berasal, semakin lama, semakin terdengar jelas percakapan dua orang dari sebuah ruangan yang pintunya terbuka.

"Aku sayang kamu, Dit." Suara wanita itu.

Sarah dan Melly telah sampai di samping pintu sambil mengendap-endap.

"Aku juga, sayang banget sama kamu. Mmuuach." Suara Radit diikuti oleh suara-suara erangan saat lidah saling mengecap.

Sarah mematung dengah kedua mata yang semakin panas. Gemuruh di dadanya terus mendera dan hanya ingin pergi ke manapun membawa luka hatinya.

"Kapan kamu mau putusin Sarah? Bukankah kamu udah janji akan segera meninggalkan gadis kampungan itu?"

Sarah bereaksi, tubuhnya sangat tegang dan ingin segera melabrak kedua orang itu.

"Sabar dong, susah putus dari dia, soalnya dia masih berutang banyak padaku dan belum sepeser pun mengembalikan duitnya," jawab Radit.

Sarah semakin mengerutkan keningnya dalam-dalam. Ia tidak menyangka kalau di mata Radit dia adalah tukang berutang. Padahal, tidak satu sen pun pernah dimintanya dari Radit.

"Hm, kalau ternyata dia gak bisa bayar? Kamu akan tetap mempertahankan dia gitu? Alasan saja, Dit. Bilang aja kalau kamu berat sama dia!"

"Uh, jangan ngambek dong, Sayang. Aku janji, besok akan aku putuskan dia ...."

Selanjutnya, tidak ada lagi suara dari dalam kamar selain suara gerakan tubuh dan erangan dari mulut sang wanita.

Perlahan Sarah pun menggeser tubuhnya, dan Kini, ia melihat apa yang sedang dilakukan Radit dengan salah satu teman wanita Sarah. "Argh, kenapa ini semua terjadi padaku?" keluh Sarah dengan kencang.

Kedua orang yang sedang saling melucuti pakaian masing-masing itu serentak menoleh ke arah pintu. Radit, wajahnya memutih dan hatinya, benar-benar telah terkoyak manakala wanita yang dicintainya tengah berdiri dengan uraian air mata, menatap mereka yang setengah telanjang.