Di kantin, Ratna dan Sari duduk bersebelahan. Keduanya sama-sama enggan memulai obrolan. Sari masih menyesali kejujurannya, sementara Ratna tidak menyangka dengan apa yang Sari katakan. Gadis tomboy itu cukup terkejut mendengar pengakuan sahabatnya. Karena selama ini ia tidak pernah mendengar Sari memuji atau bahkan meninggikan nama Romi yang berlebihan.
"Pak, minta es campurnya dua, ya!" teriak Ratna pada penjual yang ada di kantin itu. "Kamu mau makan apa?"
Ratna berusaha memulai obrolan, untuk mencairkan suasana. Mereka berdua sudah hampir 30 menit saling diam.
"Aku nggak laper," sahut Sari setelah diam cukup lama, ia masih berpikir bagaimana bisa ia sendiri yang membongkar rahasianya sendiri.
"Udah lama banget nggak traktir kamu. Oh iya, aku ... minta maaf karena sudah berpikiran buruk sama kamu. Meskipun kalaupun kamu suka sama Roki juga, aku sebenarnya nggak berhak buat marah. Toh kamu selama ini nggak tahu perasaanku dan kita juga nggak bisa melarang perasaan Roki ke kamu."
Sari tidak langsung menjawab, gadis itu masih menunduk menatap meja kantin. Sebenarnya ia merasa serba salah, kata-kata itu terlontar begitu saja. Sari tidak mau Ratna terus mengira bahwa ia memiliki perasaan khusus pada Roki.
"Sejak kapan kamu suka sama Romi?"
Es campur pesanan Ratna datang, pelayan mempersilahkan dan Ratna mengucapkan terimakasih.
"Sudah lama, jauh sebelum kita sahabatan."
"Oh ya?" Sari mengangguk.
"Waktu itu aku kelas tiga SD saat rombongan Romi suka main bola kaki di depan rumahku. Mereka sering membeli es juga snack di warungku dan aku yang sering melayani mereka. Sejak saat itu, aku sering duduk sendirian menonton mereka bermain bola. Pada saat itulah aku menyukai Romi."
Ratna terpaku mendengar pengakuan Sari. Ia tidak menyangka sahabatnya itu menyimpan begitu lama perasaannya pada sepupunya sendiri.
"Waw! Kenapa aku selama ini nggak sadar ya tentang itu?" Ratna tersenyum samar. "Eh, ayo diminum esnya!"
Sari menggeser gelas es lebih dekat ke arahnya, setelahnya menyeruput es itu dengan sedotan. Semakin lama pembicaraan mereka semakin intens dan seru. Ratna bahkan tidak segan tertawa dan menepuk pundak Sari jika mendengar cerita lucu temannya itu. Hingga suasana yang tadinya kaku kini sudah mencair. Mereka berdua bagaikan dua sahabat yang lama tidak bertemu. Bahan cerita tak habis-habisnya mereka sampaikan.
"Jadi sampai sekarang kamu nggak bisa bedain mana Roma dan mana Romi?" Sari menggeleng. "Nih aku kasih tahu, ya! Romi lesung pipinya dalem dan ada tahi lalat di bawah bibir, kalau Roma lisung pipinya cuma sebelah, dan nggak punya tahi lalat. Mereka itu memang serupa, tapi tak sama."
Pipi Sari memerah mendengar keterangan dari Ratna. Sebenarnya ia malu juga menceritakan semuanya, tapi sudah terlanjur basah, jadi sekalian saja. Hari itu hubungan mereka kembali menghangat, Ratna bahkan berulang kali menyampaikan kata maafnya dan berjanji tidak akan egois lagi. Mereka pulang bersama, Sari bahkan mampir sebentar ke rumah Ratna karena hari ini Eva dan Nia saudaranya tidak ada di rumah. Mereka semua ada pelajaran tambahan di sekolah.
***
"Gimana sekolahnya?" Nur bertanya dengan anak-anaknya saat makan malam bersama.
Semua anaknya mengatakan tidak ada masalah dan baik-baik saja. Musri selaku kepala keluarga di sana memberikan nasehat untuk anak-anaknya. Dia meminta kepada tiga saudara itu untuk bisa menjaga diri dan belajar dengan baik. Besoknya pagi-pagi sekali Nur dan musti kembali pergi dengan mengendarai mobil pick up milik salah satu temannya. Mereka kembali keluar kota untuk berjualan.
"Jaga diri baik-baik di rumah. Kelola keuangan dengan baik, jangan boros dan menabunglah," pesannya pada Eva sebelum mobil berangkat.
"Iya, Bu."
"Ya sudah Ibu pergi dulu. Doakan rezeki kita banyak, ya!"
"Aamiin," sahut Eva, Nia dan Sari."
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Tiga bersaudara itu mengantar kepergian kedua orang tuanya dari depan rumah. Bulan depan mereka baru bisa bertemu lagi, mengingat ibunya sering pulang sebulan sekali. Mereka kembali masuk ke rumah, untuk bersiap-siap berangkat ke sekolah. Eva sudah pergi lebih dulu, karena kendaraan umum penuh, jadi Sari dan Nia jalan berdua menuju ke jalan besar supaya dapat mobil lainnya. Saat sedang berjalan beriringan, datang seorang pria memakai pakaian biasa berhenti tepat di samping mereka. Pria berkulit putih dengan bulu mata yang lentik tersenyum pada mereka berdua.
"Pagi!" sapanya.
Nia membalas senyuman lelaki itu. "Pagi juga, kok nggak bilang kemaren mau jemput?"
"Buat kejutan."
"Manis banget sih, makasih loh."
Sari yang melihat adegan itu memutar bola matanya malas. Baru dua hari yang lalu Nia dijemput oleh lelaki yang lainnya. Kini sudah ada pria baru yang menjemputnya.
"Dek, ikut mbak aja, Yuk!" ajak Nia.
"Nggak ah, aku jalan kaki aja. Bentar lagi sampe ke depan kok."
"Ya udah, Mbak duluan, ya!"
"Ya!"
Nia menaiki sepeda motor itu di bagian belakang.
"Dek, duluan ya!" pamit lelaki itu.
"Iya, Kak. Hati-hati di jalan takut ketemu pacar Mbak Nia yang lainnya." Mendengar itu mata Nia melotot, sedangkan si pria tampak bingung. "Bercanda kak! Hahaha!" tawa Sari setelah melihat ekspresi keduanya.
Nia langsung pura-pura tertawa yang membuat si pria ikut juga tertawa. Sepeda motor berjalan meninggalkan Sari sendirian, mata Nia masih melotot meskipun sepeda motor itu perlahan menjauh. Ia bahkan mengepalkan tangan dan menunjukkannya pada Sari yang membuat gadis itu tertawa geli. Sampai di halte Sari langsung menyetop angkot berwarna kuning. Ia masuk ke dalam angkot itu bersama anak-anak pelajar yang lain. Terlihat seorang anak laki-laki yang tidak asing di mata Sari. Anak itu tersenyum padanya yang balas senyum juga olehnya.
Sampailah di depan sekolah. Angkot itu berhenti tepat di depannya. Sari dan anak-anak lain turun dari sana. Kemudian menyeberang jalan setelah membayar. Sedikit berlari Sari menuju ke kelasnya karena terlambat dan gerbang nyaris ditutup. Sampai di kelas, ternyata guru tidak masuk yang membuat hati gadis itu merasa lega.
"Eh, ke kantin aja yuk! Aku belum sarapan," ajak Ratna.
Sari juga belum sarapan, tapi dia enggan ke kantin karena dia harus menabung untuk memenuhi kebutuhan sekolah. Apalagi Minggu ini Ida tidak pulang, sehingga tidak ada yang memberinya uang.
"Aku kenyang, Na."
"Ya udah ntar aja deh, nanti kamu pesan apa gitu. Temenin aku makan."
Karena kasihan, akhirnya Sari menemani sahabatnya. Sari memesan segelas teh manis untuk menemani Ratna makan. Saat sedang makan, tanpa diduga Ratna memanggil Romi yang saat itu sedang memesan makanan untuk para guru di kantor. Sari langsung merapikan rambutnya dan duduk lebih tegap.
"Kenapa, Na?"
"Nggak tahu, Sari nih, katanya ada yang mau ditanya sama kamu, soal Pramuka."
Mendengar itu Romi bergabung duduk di meja mereka, bahkan tepat di hadapan Sari. Sedangkan Sari reflek langsung menatap Ratna bingung, karena dia tidak merasa ingin bertanya sesuatu pada sepupu dari sahabatnya itu.
"Halo, Sari. Mau tanya apa, ya?"