Untuk Kak Sari ...
Kak, salam kenal sebelumnya, karena sepertinya kakak tidak mengenalku. Namaku, Karta dan nama Kakak pasti Sari, 'kan? (emot senyum)
Jujur, aku menyukai kakak sejak pertama kali kakak masuk ke kelas untuk mengajak kami mengikuti kegiatan ini. Karena kakak, aku jadi suka berpetualang, suka dengan pramuka dan aku merasa, hidupku yang selama ini biasa-biasa saja, menjadi luar biasa semenjak kenal dengan kakak, eh ralat, semenjak aku mengenal kakak, soalnya kakak belum kenal denganku.
Reflek Sari tertawa membaca isi dari pesan juniornya yang bernama Karta. Melihat Sari yang senyum-senyum sendiri membuat kedua sahabatnya penasaran dan merebut surat itu darinya.
"Coba sini biar aku yang baca!" kata Ratna.
"Duh, aku belum selesai bacanya," rengek Sari.
"Ya udah sampe mana tadi bacanya?" Ratna mendekatkan surat pada Sari dan gadis itu menunjuk tempat terakhir ia membaca. "Oke, aku lanjutkan membacanya. Yura, pasang telinga baik-baik, kita harus jadi saksi tidak bisu akan kisah mereka berdua."
"Kok saksi tidak bisu?" tanya Yura bingung.
"Soalnya si kisah-kisah cinta ada kalimat yang bilang, 'dinding dan angin menjadi saksi bisu kisah kita berdua.' Nah, kita berdua kan tidak bisu?"
"Oh iya, bener juga sih!"
Yura menggaruk kepalanya yang tidak gatal, sementara Sari mendengus tertawa melihat sikap kedua temannya. Kemudian Ratna berdehem untuk bersiap membaca lanjutan surat itu.
Aku berharap, perkenalan kita bisa semakin dekat dan aku ingin menjadi sahabat yang baik untuk kakak. Jika kakak bersedih, kakak bisa cari aku kapan saja, menumpahkan isi hati kakak, atau kita jalan untuk menghilangkan kesedihan kakak.
Tawa Ratna menyembur membacanya. Gadis itu tidak menyangka ada anak kelas satu SMP yang merayu kakak kelasnya dan bagi Ratna itu hal yang lucu. Karena Ratna terus saja tertawa, akhirnya Yura merebut kertas itu dan kini dia yang membacanya.
"Sini! gantian aku yang baca!"
Melihat itu Sari hanya menggelengkan kepala. Yura melanjutkan untuk membaca surat itu dan Ratna semakin keras tertawa mendengarnya. Sementara Sari hanya tersenyum tipis, kali ini dia baru merasakan disukai oleh adik kelas. Sejak saat itu, setiap kali Sari jalan bersama Ratna atau duduk di depan kelas bersenda gurau dengan teman yang lainnya, tak jarang ia memergoki Karta menatapnya dari balik kaca jendela di kelas.
Anak itu akan tersenyum, lalu menunduk karena malu jika ketahuan oleh Sari. Hanya saja, Sari masih menganggap Karta adalah seorang anak laki-laki yang lucu, ia tidak pernah menganggap serius apapun yang dilakukan olehnya. Bahkan saat hari di mana ulang tahun Sari, Karta dengan suka rela datang ke kelas gadis itu hanya untuk memberikan bingkisan kado padanya.
Jam 10 malam, Sari masih menatap piring unik dan sebuah kartu ucapan berwarna pink yang jika dibuka ada musik selamat ulang tahun terdengar, pemberian dari Karta. Anak itu sangat manis, juga lucu. Sikapnya yang malu-malu tak jarang membuat Sari gemas dan senyum sendiri. Tapi hingga sekarang, Sari tak memiliki perasaan yang spesial dengan juniornya itu.
Lagipula, anak itu masih terlalu kecil untuk dijadikan pacar, dan Sari pun belum berniat untuk menjalin hubungan dengan siapapun. Sari menyimpan piring berwarna biru itu beserta kartu ucapannya ke dalam laci meja belajarnya, lalu memutuskan untuk tidur. Ia memiliki rencana untuk bertemu dengan Karta di lain waktu dan membicarakan hal ini. Sari tidak mau anak itu salah sangka, dan mengira hal yang berlebihan.
***
"Serius?" tanya Ratna saat Sari menceritakan apa yang akan dia katakan dengan Karta jumat depan. "Sar, ya ampun kamu nggak kasihan apa? Duh si ganteng bakal sakit hati nih!"
"Na, aku pikir lebih baik jujur daripada dia terlalu berharap banyak sama aku. Bertahun-tahun aku punya perasaan sama seseorang dan nggak berbalas, itu rasanya nyiksa, Na."
"Beda, Sar. Kalau itu masalahnya ada di kamu yang nggak mau jujur, kalau ini? Karta udah jujur kalau dia suka sama kamu."
"Na, dia baru anak kemarin sore, Na. aku yakin perasaan dia ke aku itu cuma sementara aja. Dia nggak akan ngerasain sakit hati."
"Anak kemarin sore? Terus waktu kamu suka sama Romi waktu kelas tiga SD jadi namanya apa? anak bayi?"
Sari mengalihkan pandangan.
"Na, nggak ada larangan suka sama seseorang, 'kan? Sama kayak perasaan kamu yang bertahun-tahun sama Romi, atau perasaan aku ke Roki."
"Ya nggak ada, cuma aku takut Karta berharap lebih nanti sama aku, sementara aku nggak punya rasa apa-apa sama dia, Na."
"Serah deh, tapi kalau kata aku mending biarin aja. Nggak usah jawab ya atau tidak. Toh dia nggak minta jawaban dari kamu, 'kan? Dia cuma mengungkapkan perasaannya sendiri. Barangkali dia cuma pengen kamu tahu perasaanya."
Sari tidak menjawab, gadis itu memilih membuang pandangan ke luar jendela. Karena sebentar lagi jam istirahat habis, Ratna pamit untuk kembali ke kelasnya. Sari menarik napas panjang, antara tetap dengan rencananya, atau mengikuti saran dari Ratna, karena takut Karta tersakiti jika mereka bicara. Tidak berapa lama masuk guru penjas dan meminta semua anak untuk keluar kelas untuk olahraga di lapangan.
Ternyata guru penjas mengajak anak-anak berbaris di depan kelasnya Karta dan anak itu menoleh ke arah Sari. Karta melempar senyum yang dibalas senyum samar oleh gadis itu. Sari semakin bingung setelah melihat Karta. Setelah dipikir-pikir apa yang dikatakan Ratna ada benarnya juga. Toh Karta tidak pernah menuntut jawaban, ia hanya mengungkapkan perasaannya saja pada seniornya itu.
**
Sore itu, Sari duduk di tengah sawah yang tak jauh dari rumahnya. Ia menunggu sunset berwarna kekuningan yang biasa ia lihat dari rumah. Rasanya akan terlihat lebih indah jika dipandang dari tengah-tengah sawah. Tak jauh dari sawah itu adalah lapangan bola yang luas, yang dulu biasa dipake Romi dan kawan-kawan latihan. Rasanya sudah lama sekali Sari tidak melihat sosoknya. Ada rindu yang terkungkung di dalam hatinya untuk pria itu. Sari kesal menunggu ujian dan tes masuk ke sekolah SMA N 1 di mana ia bisa kembali melihat Romi. Nia melihat adiknya duduk di tengah sawah dan memutuskan untuk menyusulnya.
"Ngapain?" tanyanya yang membuat Sari menoleh seketika.
"Nggak ada, enak aja lihat senja dari sini."
"Norak! Lihat senja ya di pinggir pantai, bukan di tengah sawah."
"Biarin, setidaknya nggak perlu keluar uang untuk ke pantai. Di sini juga indah kok."
Nia duduk di samping adiknya. Mereka duduk di atas tumpukan padi yang baru saja dipanen oleh para petani.
"Mbak, sekarang pacar mbak yang mana sih?" Nia hanya tertawa mendengar pertanyaan adiknya. "Punya pacar kok banyak, punya pacar itu satu asal setia."
"Ogah! Setia itu rugi bagi perempuan."
"Kok rugi?"
"Rugilah, kalau setia, artinya kita ngasih hati kita sama dia sepenuhnya. Selagi belum menikah mbak nggak mau setia. Rugi, karena kebanyakan kalau udah setia pasti nggak bisa lepas. Atau berat buat putus."
Sari bingung mendengar kata-kata saudaranya. "Kok gitu?"
"Iyalah, kebanyakan yang terjadi di lapangan, pacaran setia itu pasti udah ngapa-ngapain. Mbak nggak mau gitu, rugi! Dan kalau udah ngapa-ngapain, akhirnya si wanita yang mau bertahan meskipun disakiti berkali-kali."
"Ngapa-ngapain?" Dahi Sari mengerut bingung.
"Iya, ngapa-ngapain. Dipeluk, dicium terus ada yang sampe diajak tidur dan hilanglah keperawanannya," bisik Nia ke telinga sang adik.
"Masa sampe gitu, Mbak?"
"Jaman sekarang itu sudah biasa, Dek. Resiko setia. 20 dari 1000 gadis yang bisa mempertahankan keperawanannya saat ia memutuskan untuk setia. Mending kayak Mbak, kalau yang satu kurang ajar, putus aja, jalan sama pria yang lainnya."
"Kalau kurang ajar semua?"
"Ya putusin semua lah, Dek."
"Kalau gitu mending nggak usah punya pacar!"
"Nggak keren sih kalau nggak punya pacar," sahut Nia sambil tertawa.
Sari tersenyum sinis mendengar jawaban Nia. Kemudian tiba-tiba ia melihat rombongan remaja main sepak bola di lapangan yang tak jauh dari sana. Sari berdiri, lalu menyipitkan mata untuk melihat siapa saja yang ada di sana. Ia berharap bisa menemukan Romi diantara anak-anak yang bermain sepak bola di lapangan itu. Sayang, dia tidak bisa mengenali karena jaraknya yang cukup lumayan.
"Mbak, tunggu di sini, ya!"
"Kamu mau kemana?"
"Mau kesana sebentar!"
Sari turun dari tumpukan itu, dan berlari melewati jalanan kecil di sawah itu menuju ke lapangan. Sampai di sana ia bersembunyi di balik pohon mangga, lalu memperhatikan siapa saja yang main di lapangan. Senyumnya mengembang setelah melihat salah satu dari mereka adalah Romi. Angin bertiup menerbangkan rambutnya yang bergelombang. Sekian lama tak bersua, akhirnya ia bisa kembali melihat sosok pria itu.
"Alhamdulillah, ternyata Kak Romi sehat," ucapnya lirih seraya terus memperhatikan para remaja itu bermain bola.