Sari dan Nia duduk bersebelahan, kemudian ikatan rambut mereka dilepas. Buyarlah rambut indah bergelombang, hitam dan panjang itu. Dua orang waria menangani mereka sambil bersiul dan bernyanyi. Kadang mereka tertawa terbahak-bahak dan berbicara dengan bahasa yang sulit dipahami oleh kedua gadis itu. Baik rambut Nia dan Rambut Sari kini sudah dilapisi dengan cream berwarna putih.
"Tunggu dua jam ya, Dek," pamit salah satu dari waria itu.
"Emang selesainya berapa lama, Mbak? Kok nunggunya sampe dua jam?" tanya Nia.
"Bentar ... " Ia melirik jam, dan jam menunjukkan pukul 8.30 pagi. "Kemungkinan selesainya jam 3 sore, Dek."
Kakak beradik itu saling bertatapan, mereka tidak menyangka jika meluruskan rambut memakan waktu yang sangat lama. Selagi menunggu dan waria yang menangani mereka tadi sedang beralih mengurus pelanggan lain, Nia dan Sari disodori majalah remaja. Mereka berdua duduk di sofa berwarna hitam di dekat jendela, kemudian membaca majalah remaja itu.
"Mbak," panggil Sari lirih.
"Apa?"
"Laper."
"Uang kita habis. Tinggal 210 ribu buat biaya lurusin rambut sama nanti naik ojek."
"Jadi gimana, Mbak?"
"Minta minum aja, mau?" Sari mengangguk.
Nia beranjak, lalu mendekati salah satu waria yang ada di sana, selanjutnya kembali mendekati Sari sambil membawa segelas air.
"Nih!"
"Makasih, Mbak."
"Ya. Sama-sama."
Dua jam kemudian, rambut mereka berdua dicuci dengan air hangat setelah dilurus-luruskan dengan sisir selapis demi selapis. Kini waktunya step dua. Kembali rambut itu dilapisi dengan cream, lalu diminta menunggu selama satu jam. Pukul 14.00 Sari dan Nia izin untuk shalat setelah rambut mereka kembali dicuci, setelahnya kembali duduk di depan kaca memperhatikan rambut mereka dicatok, sama seperti yang mereka lihat di televisi saat itu. pukul tiga sore akhirnya selesai.
Nia memberikan dua lembar uang seratus ribuan pada mereka, kemudian langsung pamit. Ia menyetop sebuah becak, dan mengajak Sari naik untuk pulang. Perjalanan pulang Sari mengeluh lapar. Sampai di rumah, gadis itu langsung melompat dari becak dan masuk ke rumah, sampai di dalam ia memakan makanan apapun yang ada. Ida yang melihat adiknya kelaparan hanya menggelengkan kepala. Ia memuji Nia dan Sari yang terlihat makin rapi dengan rambut yang lurus.
***
Juli, 2005
Sari berdiri di depan gerbang sekolah barunya. Ia sudah berdandan seperti anak-anak baru lainnya. Hari ini Sari akan mengikuti kegiatan orientasi siswa atau masa pengenalan lingkungan sekolah. Semua siswi diminta membuat topi kerucut dari kertas karton, juga kalung dari berbagai kaleng minuman yang digantung di leher.
Sementara siswanya diharuskan membuat topi dari bola kaki plastik yang dipotong menjadi dua dengan kalung yang sama. Untuk sementara mereka memakai pakaian olahraga dari SMP masing-masing. Sari tersenyum menatap gerbang sekolah itu. Kemudian saat sedang asik menikmati rasa bahagia, tiba-tiba seseorang melempar sesuatu ke kepalanya yang membuat senyumnya menghilang seketika.
Sari menoleh, ia mendapati Nia berdiri tak jauh di belakangnya. Ternyata saudaranya itu yang melempar bekas air minum kemasan berbentuk gelas dan mengenai kepalanya.
"Apaan sih?!"
"Nggak usah banyak gaya. Masuk sana!" ketusnya, Sari mencebik kesal.
Ia langsung berjalan memasuki gerbang yang diikuti oleh Nia. Gadis itu langsung bergabung dengan teman-temannya, sementara Sari duduk di bawah-bawah pohon yang ada di pinggiran lapangan upacara. Tak ada satupun yang dikenalnya di sini. Kalaupun ada, hanya kenal wajah, ia tidak terlalu akrab dan memutuskan untuk tidak bergabung dengan teman-teman yang berasal dari SMP yang sama. Beberapa kali Sari tersenyum bertemu dengan calon teman-teman barunya di sini dengan berbagai macam sikap dan rupa.
Hingga semua anak-anak diminta berbaris di tengah lapangan. Kemudian anak-anak perempuan yang berdiri di dekatnya berbisik-bisik saat melihat seorang anak laki-laki dengan wajah yang manis dan tampan menuruni anak tangga. Pria itu memakai pernak pernik yang sama seperti Sari dan yang lainnya. Ia bergabung dengan rombongan anak pria yang ada di ujung sana. Sari menunduk, tiba-tiba ia ingat dengan Ratna dan Yura. Ada rasa sedih menyelinap di hatinya. Dari kejauhan masuklah rombongan motor berwarna hijau. Semua perhatian anak-anak tertuju ke sana.
"Lihat deh, itu geng paling keren di sekolah ini. Namanya Green Man," bisik seseorang di telinganya yang entah siapa.
Setelah sadar kalau ia yang diajak bicara, Sari berusaha menanggapi. "Oh."
"Yang aku dengar, mereka anak-anak osis, pintar, keren dan gaul."
Sekali lagi Sari menyahut. "Oh."
Matanya masih memperhatikan geng GreenMan itu dengan seksama, hingga angin sepoi-sepoi menerbangkan rambutnya yang hitam dan lurus saat melihat seseorang. Di bagian akhir masuk seseorang yang sangat ia kenal. Laki-laki berlesung pipi yang selama ini sangat disukainya. Romi terlihat sangat tampan dan keren dengan pakaian putih abu-abunya. Ia juga memakai topi berwarna hitam. Tanpa sadar, Sari menggeser tubuhnya, supaya bisa melihat lebih jelas ke arah sana. Pria itu berhenti tepat di parkiran, lalu memutar topinya yang ada di kepala ke arah belakang. Ia turun dari motor berwarna hijau, lalu berjalan bersama teman-temannya menuju ke arah lapangan.
Semua senior yang bertugas sudah berbaris di depan anak-anak baru, termasuk beberapa guru. Masing-masing dari mereka memperkenalkan diri. Fokus gadis itu hanya pada Romi, padahal ada juga Roma di sana. Setelah dibagi per kelompok anak-anak diminta melakukan banyak hal. Ada yang bernyanyi, baris berbaris, ada juga yang diawali dengan saling memperkenalkan diri. Waktunya untuk meminta tanda tangan para senior dan guru. Orang yang pertama kali Sari tuju adalah Romi. Ia mengelap peluhnya, lalu membersihkan wajahnya yang penuh debu dengan tisu, selanjutnya berjalan menuju ke arah Romi. Pria itu sedang duduk di salah satu kursi dekat dengan tiang bendera. Di sekelilingnya begitu banyak siswa dan siswi baru yang minta tanda tangan.
"Permisi, Kak. Minta tanda tangannya."
Gadis itu berdiri di belakang Romi.
"Sabar ya, Dek. Gantian," sahutnya tanpa menoleh ke belakang.
Sari mengangguk. Ada sekitar dua puluh lebih yang menunggu. Semakin lama semakin bertambah yang mengantri, Sari mencoba kembali menyapa.
"Kak, makin ramai. Ini kertas punyaku."
Romi diam saja, karena bukan hanya Sari yang berbicara. Banyak juga yang sampai dorong-dorongan meminta untuk didahulukan. Sesekali Romi meringis dan mengelap keningnya yang berembun dengan punggung tangan. Cahaya sinar matahari cukup mengganggu konsentrasinya untuk bertanda tangan. Sari yang menyadari itu berpindah tempat berdiri di samping tubuh Romi. Tujuannya untuk menghalau sinar itu.
Kini, sinar matahari itu menabrak tubuh bagian belakang Sari dan berhasil membuat teduh wajah Romi. Pria itu terlihat lebih tenang, lalu dengan cepat menandatangani satu persatu tumpukan kertas di tangannya. Hingga tinggal dia sendirian sekarang, yang lainnya telah selesai. Romi menoleh ke arah Sari, lalu menyapanya. Ia tidak mengenali gadis itu karena perubahan rambutnya. Wajah Sari penuh dengan keringat, begitu juga bajunya terlihat basah. Gadis itu rela kepanasan demi untuk melindungi Romi .
"Kamu kenapa, Dek? Mau tanda tangan juga?"
"Iya, Kak."
"Kertasnya mana?"
Sari maju beberapa langkah untuk mendekat, lalu menyerahkan kertas miliknya. Beberapa kali Sari mengelap peluh di wajahnya yang memerah dengan lengan.
"Nih, sudah."
Romi memberikan kertas itu padanya.
"Makasih, Kak."
Sari tersenyum, lalu hendak berbalik, tapi panggilan Romi menghentikannya.
"Tunggu dulu!"