Sudah dua bulan lamanya Sari dan yang lainnya tidak aktif lagi mengisi kegiatan pramuka, karena sudah digantikan oleh anak-anak kelas 8, karena mereka sudah fokus pada kelulusan dan ujian. Saat mengucapkan perpisahan dengan para juniornya Sari sampai meneteskan air mata, karena begitu banyak kenangan bersama mereka. Berkemah dan hiking sama-sama sudah tidak terhitung lagi jumlahnya. Ratna dan Yura juga tak kalah bersedih saat membaca pesan dan kesan dari para juniornya. Mereka hanya bisa berharap semoga kembali di pertemukan di SMA yang sama.
Hari ini adalah tes masuk ke sekolah SMA N 1 Ulu Timur untuk tujuan utama. Semua siswa dan siswi SMP N 1 Ulu Timur memasuki ruangan yang sudah diatur oleh guru untuk menjalani test. Sari duduk di kursi paling depan. Gadis itu sudah siap mengikuti jalannya ujian. Datang dua orang guru, laki-laki dan perempuan. Soal-soal yang akan dikerjakan hari ini adalah, Matematika, Bahasa Inggris dan bahasa Indonesia.
Begitu masuk, dua guru tersebut langsung membagikan soal kepada semua murid dan memintanya untuk langsung mengerjakan. Begitu menerima soal, Sari langsung mengucap bismillah, lalu membaca sekilas soal-soal yang ada. Bibirnya tersenyum dengan mata berbinar, karena ia merasa mampu mengerjakannya.
Selanjutnya dengan lancar ia mengisi setiap soal dengan tenang dan aman, sementara beberapa anak-anak di sekitarnya nampak gelisah karena kesulitan mengisi soal. Selesai, Sari langsung mengumpulkan kertas jawaban dan soal ke depan. Dengan penuh percaya diri ia keluar dari kelas lebih dulu, yang membuat beberapa anak kelimpungan karena kertas jawabannya masih kosong, belum mengisi apa-apa.
***
"Pak, lusa diminta hadir untuk mengambil pengumuman kelulusan sekolah."
Eva mendekati ayahnya, karena besok adalah pengumuman kelulusan untuk sekolah menengah atas. Musri yang baru saja menurunkan gerobak es-nya dari atas mobil pick up, sore itu menoleh sesaat, lalu tersenyum.
"Iya, nanti kita ngobrol di dalam, bapak menyelesaikan ini dulu."
Eva mengangguk, kemudian berlari masuk. Anak itu khawatir, kedua orang tuanya tidak bisa hadir seperti bagi raport biasanya. Dulu, saat kelulusan di SMP, Musri juga terlambat datang, karena baru pulang dari berdagang luar kota. Nur berbicara dengan temannya yang masih ada di atas mobil tersebut.
"Lusa baru berangkat lagi. Soalnya besok ada hajatan depan rumah, kata Mas Heru nggak enak kalau nggak bantu-bantu di sana," kata Halima, istri dari sopir yang menyetir di depan.
Ia biasa duduk di bagian belakang karena sering mengobrol dengan Nur yang sahabat karibnya. Di depan malah duduk dua wanita lain yang juga ikut berjualan bersama mereka.
"Oke, ya alhamdulillah kalau lusa. Kami jadi punya waktu lebih banyak sama anak-anak," sahut Nur tertawa senang.
"Sip! Selamat liburan sehari,' kata Halimah kemudian seraya tertawa.
Akhirnya mobil itu perlahan meninggalkan rumah Nur dan Musri. Suami istri itu bergotong royong mengangkat keruntung yang terbuat dari bambu ke dalam rumah. setelahnya Musri mendorong gerobak esnya ke belakang rumah. anaknya yang tiga bersaudara, langsung menyusun barang-barang yang ada di dalam keruntung ke dalam rak kayu yang ada di dekat TV. Ada rokok, minuman ringan, baik yang kaleng dan botol, juga snack anak-anak yang biasa dijual oleh ibunya.
"Masak apa, Va?"
"Tumis kangkung, Bu, sama sambel tempe."
"Alhamdulillah, terimakasih sudah masak hari ini."
Eva tersenyum samar, di rumah itu selain Ida, dialah yang diandalkan. Nur memutuskan untuk mandi dan salat terlebih dulu, mengingat waktu ashar sebentar lagi habis. Begitu juga Musri, ia langsung memutuskan mandi, dan menyusul istrinya masuk ke dalam untuk salat asar. Sayang, sampai di kamar Nur telah khusyuk dengan shalatnya, sehingga Musri memutuskan salat mandiri saja.
"Assalamu'alaikum warohmatullahi .... , Assalamu'alaikum warohmatullahi .... ,"
Musri telah selesai dengan shalatnya. Ia merapikan tempat dan menyusul istrinya yang sudah duduk di depan TV bersama anak-anak. Terlihat Eva yang kini rambutnya sudah sedikit panjang, Nia yang semakin rapi saja, dan Sari yang kini kulitnya perlahan mulai bersinar. Laki-laki itu menatap satu persatu putrinya secara bergantian. Setiap kali pulang ke rumah, itulah yang dilakukannya.
Setiap baru pulang, setelah anaknya tidur dan saat akan kembali pergi dari rumah untuk kembali mengais rezeki demi kelangsungan hidup anak-anaknya. Kini ia sadar anaknya semakin lama semakin dewasa. Puas menatap satu persatu buah hati, Musri melangkah mendekati anak nomor duanya, lalu duduk di sampingnya.
"Jadi kapan pengumuman kelulusannya, Nak?"
"Lusa, Pak."
Nur dan Musri saling menatap, karena lusa adalah jadwal keberangkatan mereka. laki-laki paruh baya itu, lalu menoleh ke arah Eva dan memegang tangannya.
"InshaAllah akan bapak usahakan."
"Bener ya, Pak."
Musri menunduk. Mendengar jawaban ayahnya, baik Eva, Sari dan Nia ikut tersenyum lega, sebentar lagi juga pengumuman untuk kelulusan Sari, anak itu juga berdoa semoga bapaknya bisa hadir di sekolahnya. Malamnya setelah makan malam dan anak-anak sudah tidur semua. Nur dan Musri bicara di kamar mereka. Mereka berbaring bersebelahan, tatapan mereka kosong menatap ke arah atap yang belum di plafon dan masih banyak terdapat lubang di sana sini.
"Pak, lusa kan jadwal keberangkatan kita. Kalau kita tidak ikut, nanti kita ikut mobil siapa?"
Hening, Musri menarik napas panjang.
"Kalau kita sewa mobil sendiri bagaimana, Bu?"
"Apa nanti ketutup sama untung? Belum bayar kontrakan di sana, makan di sana dan jualan kita juga belum tentu laris terus. Kalau pake mobil biasa kan biaya mobilnya bisa gotong royong sama teman-teman dan mendapatkan harga yang sedikit lebih rendah."
"Mau bagaimana lagi, kasihan Eva kalau kita tidak datang ke sekolahnya." Musri menoleh, lalu memegang tangan istrinya. "Bu, mereka juga butuh kita."
"Tapi, semua juga untuk mereka, Pak."
"InshaAllah ada saja nanti rejeki yang datang. Minta saja sama Allah, bukankah Dia Maha Kaya, Bu?"
Nur mengangguk, kemudian memaksakan diri untuk tersenyum. Meskipun hatinya kalut, tapi ia berusaha terlihat baik-baik saja. Ibu dari empat orang anak itu sedang memikirkan biaya sekolah untuk Sari masuk ke SMA jika mereka libur berjualan. Apa kali ini dia minta tolong Ida saja, tapi Nur terlalu malu dan takut menyusahkan anak sulungnya.
***
Di SMAN. 1 Ulu Timur.
Terlihat banyaknya wali yang sudah berdatangan untuk mengambil surat pengumuman kelulusan anak-anaknya. Eva sudah menunggu di parkiran, tapi bapaknya belum terlihat. Hatinya was-was, ia benar-benar takut ayahnya tidak bisa hadir hari ini, meskipun tadi dari rumah ayahnya berkata akan datang. Bel terdengar nyaring, wajah Eva memucat dan karena Musri belum juga terlihat, sementara semua wali sudah masuk ke kelas masing-masing.
Gadis itu mondar-mandir di parkiran, menatap ke arah gerbang, tapi wajah yang diharapkannya hingga kini tak terlihat. Dengan langkah gontai Eva menuju ke kelasnya. Wajahnya menekuk, hatinya sudah menangis, sementara mata itu sudah berkaca-kaca. Ia berhenti di tengah jalan setapak, antara kelas dan lapangan, lalu mengedarkan pandangan.
'Wali siapa yang akan kupinjam hari ini? Apa bisa, karena ini bukan ambil raport, tapi ambil pengumuman kelulusan. Ya Allah, bagaimana ini?'
Eva kembali berjalan, sembari mengusap ujung mata, tapi tiba-tiba ....
"Evaa!!"
Wajah dengan raut sedih yang sejak tadi menunduk, mendadak mendongak seketika, Eva langsung berbalik dan mendapati ayahnya berdiri di parkiran seraya melambaikan tangan.
"Bapak?! Pak! Cepet sini, Pak!!" teriaknya dengan riang gembira, sambil berlari mendekati ayahnya.
Sambil berlari sesekali ia menyeka air mata. Hatinya sangat lega melihat kedatangan sang ayah yang memang sangat diharapkan.
'Terimakasih, Bapak .... '