Di SMP suasana hening tercipta diantara Ratna, Yura dan Sari. Mereka bersedih, karena diantara mereka hanya Sari yang lolos masuk ke SMA N 1. Di satu sisi gadis itu bahagia karena berhasil masuk ke sana, tapi disisi lain ia bersedih karena harus berpisah dengan kedua temannya. Ratna mengusap ujung mata dengan punggung tangan. Ia menangis dalam diam, sementara Yura menunduk dengan wajah murung.
"Sar, selamat, ya! Kamu diterima."
Sari menggigit bibir bawahnya, karena bibir itu bergetar menahan tangisan. Beberapa kali Sari memejamkan mata seraya menarik napas yang panjang untuk menetralisir keadaan hatinya yang sedih.
"Akhirnya, keinginan kamu terwujud, Sar." Kali ini Yura bersuara.
Sari tidak tahan, akhirnya luruh setetes air mata mengalir di pipi. Ia memejamkan mata lama, lalu kembali membukanya.
"Apa artinya semua itu tanpa kalian," sahutnya lirih menunduk perih.
"Biar bagaimanapun kita harus tetap melanjutkan sekolah, kamu di sekolah itu dan kami berdua." Ratna dan Yura berpandangan.
"Kita bisa masuk SMA swasta, bukan masalah yang besar."
Sari berdiri, lalu memeluk kedua sahabatnya. Akhirnya mereka menangis bertiga dan saling berpelukan.
"Aku pasti merindukan kalian ...," ucap Sari lirih di tengah isak tangis.
***
Beruntung saat pengumuman kelulusan, ayahnya Sari bisa hadir, dan itu membuat ia bahagia. Setelah kelulusan, mereka bertiga disibukkan dengan urusan untuk masuk ke sekolah masing-masing. Sari masuk ke sekolah negeri, Yura dan Ratna memilih bersekolah di sekolah swasta. Jarak antara sekolah mereka tidak terlalu jauh. Ratna berpesan, mereka harus tetap mengikuti kegiatan pramuka, supaya jika berkemah akan bertemu di lapangan. Sari mengangguk setuju, karena kini Sari memang sudah benar-benar jatuh cinta dengan kegiatan itu. Jika dulu hanya kedok supaya bisa melihat Romi, tapi perlahan rasa suka dan cintanya akan pramuka tumbuh dalam sanubarinya dan dia berjanji akan terus mengikuti kegiatan itu sampai ia lulus SMA.
Eva, gadis itu langsung ikut Ida untuk bekerja di kota setelah menerima ijazah. Tinggallah Sari dan Ratna di rumah, hanya saja kedua orang tua mereka jadi lebih sering pulang mengingat Sari dan Nia hanya berdua menunggu rumah. Nia naik ke kelas 12 SMA, sedangkan Sari menjadi murid baru di sana. Hari itu adalah hari sabtu. Karena sekolah sedang libur, sehingga Sari dan Nia hanya diam di rumah. Besok, ibu dan bapaknya baru pulang. Mereka berdua asyik menonton tayangan televisi sambil makan keripik ubi. Di salah satu adegan film, ada artis yang rambutnya keriting berubah menjadi lurus setelah dicatok di sebuah salon.
"Dek, kalau rambut kita lurus kayaknya cantik."
"Apa nggak lucu, mbak?"
"Nggak lah, gimana ya biar lurus?"
Mereka berdua memperhatikan adegan di televisi itu. Nia mengamati alat catok yang dipakai oleh artis itu, kemudian berpikir.
"Dek, alat catokan itu bagian lempengannya kayak setrikaan, ya!"
"Iya, Mbak. Apa rambut kita bakal lurus kalau disetrika," sahut Sari asal.
Nia yang sedang mengunyah keripik menoleh seketika.
"Dek!"
"Ya?"
"Kita coba, yuk!"
"Coba apa, Mbak?"
"Setrika rambut!!"
"Ha?!!"
Entah ide gila dari mana sehingga dua kakak beradik itu memanaskan setrikaan untuk meluruskan rambut.
"Mbak, panas, nanti kalau kulit kita kebakar gimana?"
"Sudah Mbak pikirin kamu tenang aja!"
Sari diminta Nia untuk menyandarkan kepalanya di atas meja yang sudah dialasi beberapa lapis kain. Setelahnya ia memegang handuk kecil untuk melindungi bagian kulit kepala adiknya dari setrikaan. Nia menyisir rambut Sari diatas meja itu, secara memanjang, lalu perlahan menyetrika rambutnya dengan sangat hati-hati.
"Kalau panas bilang, ya! Kulit kepalamu aman, sudah mbak tutup pake handuk kecil."
"Duh, aku merinding mbak, pelan-pelan, ya!"
"Iya, nanti gantian!"
"Iya iya."
Dua puluh menit kemudian, Nia mencabut kabel setrikaannya, lalu menatap wajah adiknya tanpa berkedip. Sari yang baru saja duduk, setelah meletakkan kepalanya ke meja heran dengan ekspresi sang kakak. Ia memegang rambutnya yang lurus, tapi masih mengepulkan sedikit asap.
"Iya, lurus mbak," katanya sambil tersenyum.
"Dek, ternyata kamu beda kalau rambut lurus."
"Beda gimana?"
"Kamu ... cantik."
Pipi Sari menghangat, ia langsung menuju kamar untuk melihat wajahnya di kaca, lalu terpukau sendiri. Dipegangnya wajahnya yang berbeda setelah rambutnya berubah lurus.
"Gimana?" tanya Nia menyusul Sari ke kamar.
"Iya, Mbak. Ternyata aku ... lumayan cantik, ya!"
Setelah itu gantian, tugas Sari untuk meluruskan rambut sang Kakak. Setelah selesai, mereka pun takjub dengan wajah Nia yang juga berubah 100 derajat. Sejak hari itu, mereka berdua secara diam-diam sering melakukannya. Mereka tidak tahu bahaya yang akan terjadi, rambut mereka bisa rusak dan kusam pun rontok jika itu terus mereka lakukan. Apalagi lurusnya rambut mereka tidak bertahan lama, hanya hitungan jam maka kembali seperti semula.
Hari ini mereka berdua sudah bersiap akan meluruskan rambutnya kembali dengan setrikaan, namun aksi mereka kepergok Ida sang kakak yang kebetulan saat itu pulang. Ida sangat marah dan mencabut kabel setrikaan itu. Ia juga mengingatkan, bagaimana kalau kesetrum? Atau rambut mereka terbakar? Dua kakak beradik itu hanya diam menunduk diomeli oleh sang kakak. Mereka berjanji tidak akan melakukan hal yang sama. Ida juga mengingat jika rambut mereka akan rapuh dan rontok. Sari sampai menangis sesenggukan, sedangkan Nia hanya menunduk dalam penuh penyesalan.
"Kalian tu harus tahu, tanpa rambut lurus pun kalian itu sudah cantik, jadi nggak perlu begitulah."
"Pengen nyoba aja, Mbak."
Nia berkata dengan menundukkan kepalanya.
"Tuhan itu menciptakan kita sudah sangat sempurna, kenapa sih pengennya yang aneh-aneh."
"Mumpung masih muda, Mbak. Kami pengen kayak teman-teman lain, pengen tau rasanya, pengen nyoba gimana jadinya, ternyata kami tidak kalah cantik kalau rambut lurus. Kami suka kok dengan keadaan kami yang seperti ini, cuma pengen nyoba aja, nggak bermaksud gimana-gimana." Sari berkata panjang lebar.
Ida terdiam. Ia menyiapkan makan malam, lalu memanggil kedua adiknya untuk makan bersama. Eva tidak pulang karena anak baru di tempatnya bekerja, sehingga sedang rajin-rajinnya. Ia bahkan memilih lembur di hari Minggu.
"Kalian pengen banget rambut lurus?"
Nia menyikut lengan adiknya.
"Iya, Mbak."
"Sebenarnya itu bisa dilakukan di salon, tapi biasanya nggak lama, setahun aja udah balik lagi ikal rambut kita. Memangnya kalian mau?"
Nia dan Sari saling bertatapan.
"Mbak serius?" tanya Nia tidak percaya.
"Besok cari di pasar, salon yang bisa rebonding dengan uang 100ribu. Kalau ada, nanti boleh kalau kalian mau lurusin rambut biar mbak yang bayar, tapi sekali ini saja, ya!"
"Iya, Mbak. Iyaa!!"
Sontak Nia dan Sari melompat senang. Mereka berdua berterimakasih seraya memeluk Ida dengan bahagia. Keesokan harinya, Nia dan Sari pergi ke pasar berdua sekaligus untuk beli sayuran. Mereka singgah ke beberapa salon dan menanyakan jasa untuk meluruskan rambut seperti rambut mereka. Sayang semuanya di atas 100 ribuan, akhirnya saat melewati sebuah lorong mereka melihat sebuah salon yang cukup ramai. Nia mengajak adiknya ke sana.
"Hai adik-adik!" sapa seseorang ketika Nia dan Sari sudah berdiri di depan pintunya.
Mereka berdua menoleh dan melihat seorang waria tersenyum kepadanya. Waria itu berambut panjang sebahu dengan dandanan yang super tebal dan baju yang sexy.
"Permisi, Mbak, eh, Mas, duh Pak!" Nia langsung mencubit kecil pinggang Sari. "Aduh, sakit Mbak!" protes gadis itu.
"Yang bener dong ngomongnya," kata Nia seraya melotot geram ke arah adiknya, lalu tersenyum saat menoleh ke arah si waria.
"Permisi, Mbak ... mau nanya, boleh?"
"Boleh dong, ada apa, Dek?" sahutnya kemayu.
Beberapa waria lainnya terlihat sedang sibuk. Ada yang memotong rambut, ada yang mengecat rambut para pengunjung dan lain sebagainya.
"Kalau mau lurusin rambut berapa, Mbak di sini?"
"Tergantung, mau yang mahal ada, yang murah juga ada."
Nia dan Sari saling bertatapan.
"Berapa itu Mbak?"
"Siapa nih yang mau lurusin rambut?"
"Kami berdua," sahut dua beradik itu serentak.
"Punya uang berapa?"
"200 ribu."
Waria itu tertawa lebar. "200 ribu untuk 2 orang?"
"I ... iya, Mbak."
"Duh, duh duh duh, oke deh! Bunga!" teriaknya nyaring.
Berlari seorang waria memakai baju sexy berwarna pink menghampiri dan hampir jatuh di depan mereka. "Iya, Kak?"
"Rebondong, eh rebonding dua gadis ini, ya! Seperti biasa, anak SMA. Minim budget!"
"Oke!" Lalu waria yang bernama bunga itu menoleh ke arah Nia dan Sari dengan cara yang lentik. "Masuk yuk! Kita ubah rambut mie-nya jadi kayak perosotan anak TK," ucapnya sambil mengedip-ngedipkan mata.