Sari berjalan santai beriringan dengan Romi. Sepanjang jalan tak ada kata yang terlontar dari keduanya. Hati gadis itu bertanya-tanya, ada apa gerangan, sampai anak laki-laki yang selama ini cuek itu tiba-tiba mengajaknya pulang jalan kaki berdua. Meskipun tak bisa ditampik ada rasa bahagia yang menyelinap di relung hati.
"Ngomong-ngomong aku belum minta maaf atas sikap Deka ke kamu waktu itu. Aku nggak tahu kenapa dia senekat itu."
"Nggak apa-apa, Kak. Kak Deka seperti itu juga pasti karena takut kehilangan Kakak. Dia nggak mau ada cewek lain yang godain Kakak."
"Iya, sih. Tapi cowok itu nggak suka digituin. Mereka itu butuh kepercayaan."
Hening. Mereka kembali berjalan beriringan. Sampai di depan persimpangan Romi menghentikan langkah, lalu mengajak Sari duduk di salah satu halte untuk menunggu angkutan umum, karena mereka akan pulang ke arah yang berbeda. Sari bingung harus bicara apa dengan laki-laki ini, belum bicara banyak saja dia sudah merasa grogi bagaimana kalau dia sampai bicara banyak?
"Sari."
"I ... iya, Kak?"
Romi mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya. "Kamu kenal tulisan ini?"
Romi membukanya, lalu memperlihatkan kertas itu padanya. Mendadak Sari menelan ludahnya melihat apa yang ditunjukkan oleh Romi. Itu adalah kesan dan pesan yang ia tulis untuk Romi di sekolah tadi. Wajah Sari berubah pias saat Romi membaca tulisan itu di sampingnya. Setiap kalimat yang keluar dari bibir tipis lelaki itu mampu membuat hati Sari bergetar. Selesai membaca tulisan itu Romi kembali menyimpannya.
"Gimana, kamu tahu ini tulisan siapa?"
Wajah gadis itu semakin memucat, bahkan embun-embun keringat kecil terlihat di keningnya. Sari bingung harus mengatakan apa. Dia tidak ingin berbohong, tapi keadaan yang memaksanya harus melakukan semua itu. Akhirnya, setelah mengumpulkan keberanian pada diri, gadis itu berusaha menjawabnya.
"A ... aku nggak tahu, Kak. Ehh, iya aku nggak tahu. Soalnya, ini juga pertama kalinya aku melihat tulisan yang seperti itu."
"Serius?"
Sari mengangguk. Ada rasa bersalah menelusup di relung hatinya setelah mengatakan kebohongan itu. Sari menggigit bibir bawahnya karena khawatir dengan kebohongan yang baru saja ia katakan.
"Oh, aku pikir kamu tahu. Soalnya Kakak penasaran banget sama tulisan ini. Kira-kira siapa ya? Bukan apa-apa sih, cuma mau ngucapin makasih sudah menulis dan merangkai kalimat sebagus ini. Kayaknya dia calon penulis terkenal deh."
Mendadak gadis itu menatap teduh wajah Romi. Laki-laki itu tersenyum kecil seraya terus menatap kertas di tangannya. Diam-diam Sari meng-aminkan kata-kata Romi di dalam hati dengan senyuman yang samar di wajahnya. Andai suatu saat ia benar-benar jadi seorang penulis, Sari sangat ingin menuliskan kisahnya menjadi sebuah buku, atau bahkan diangkat menjadi sebuah film, supaya kisahnya bisa disaksikan orang banyak.
Sebuah angkot berwarna kuning berhenti di hadapan mereka. Sari pamit pulang lebih dulu dan Romi menganggukkan kepala. Gadis itu masuk ke dalam angkot dan duduk di bagian paling belakang. Ia menoleh ke belakang memperhatikan Romi yang kembali menatap secarik kertas darinya. Senyumnya melebar mengingat pujian dari lelaki yang selama ini sangat ia idolakan itu.
'Terimakasih, Kak. Sudah suka dengan kalimat yang aku buat.' batinnya berkata.
Matanya terus tertuju pada anak laki-laki itu meskipun angkot sudah berjalan menjauh. Sementara Romi, benaknya masih terus bertanya-tanya, kesan dan pesan dari siapakah yang tertulis di kertas itu? Romi sangat penasaran dan ingin tahu, siapa sosok dibalik tulisan itu.
***
Keesokannya di sekolah, Sari berniat kembali mengajak Ratna berbicara. Tapi setelah ia pikirkan, sepertinya untuk sementara lebih baik mengirim surat saja. Semester satu sudah mereka lalui, Sari ingin di kelas tiga SMP nanti, hubungan mereka sudah kembali hangat. Ia rindu kebersamaannya bersama sahabatnya. Gadis itu memperhatikan Ratna yang keluar kelas bersama yang lain di jam istirahat. Setelah Ratna dan teman-teman ke kantin, Sari menyelipkan surat ke dalam tas Ratna. Harapannya besar, ia berharap Ratna bisa memaafkannya dan mereka kembali bersahabat. Setelah menyelipkan surat itu Sari kembali ke kursinya.
Bel berbunyi, tanda jam istirahat telah habis. Ratna masuk bersama yang lain dengan canda dan tawa menghiasi wajahnya. Sementara Sari hingga sekarang tidak dekat dengan siapapun, karena ia memang memiliki pribadi yang tidak banyak bicara dan tertutup. Di sekolah, sahabatnya hanya dua, yaitu Yura dan Ratna. Dengan yang lain hanya sekedar kenal dan tidak terlalu dekat. Sari memperhatikan Ratna saat ia mengambil tasnya dari laci meja.
Sebuah kertas terjatuh dan gadis tomboy itu memungutnya. Baru saja membaca bagian depannya, Ratna menggelengkan kepala dengan senyum sinis, setelahnya beranjak menuju ke kotak sampah untuk membuang surat itu ke sana. Melihat itu Sari menundukkan kepala, menarik napas yang panjang, memejamkan mata, kemudian berusaha berlapang dada atas semua yang ia lihat.
Saat melewati jam pelajaran. Sari terus menatap Ratna, berharap sahabatnya itu berubah pikiran dan mau membaca isi dari suratnya. Sayang hingga bel tanda pulang berbunyi, Ratna tak kunjung mengambil kembali kertas itu, Sehingga Sari memutuskan untuk berbicara langsung.
"Na, kita perlu bicara."
Sepulang sekolah, Sari memberanikan diri menghampiri Ratna. Teman-teman yang lainnya memperhatikan mereka, tapi baik Ratna dan Sari tidak peduli.
"Bicara aja sekarang!" ketusnya.
"Nggak di sini, Na. Nggak enak didengar orang."
"Jadi mau di mana?"
"Ikut aku, ya!"
Ratna memutar bola mata, malas, tapi akhirnya mengangguk setuju. Sari berjalan lebih dulu dan Ratna mengikutinya. Ternyata gadis itu mengajak Ratna ke belakang kelas.
"Buruan aku mau pulang!" perintahnya seraya mengunyah permen karet.
"Na, sampai kapan kita akan seperti ini? Aku sudah minta maaf berkali-kali, Na."
Ratna diam saja. Ia terlihat cuek, sambil memainkan kakinya yang memakai sepatu berwarna hitam Ratna lalu berkata.
"Nggak bosen? Nggak malu minta maaf terus?"
"Nggak. Aku nggak bosen, karena niat aku baik, Na. Aku juga nggak malu karena minta maaf menurutku bukan hal yang memalukan."
"Maumu apa sih?"
"Aku pengen kita seperti dulu."
Ratna membuang permen karetnya, lalu berjalan mendekati Sari.
"Seperti dulu? Jangan mimpi!" ucapnya lirih tapi penuh dengan penekanan. Ratna berniat meninggalkan Sari begitu saja, tapi pertanyaan Sari berhasil menghentikannya.
"Salah aku apa sih, Na? Bukan kemauan aku Roki menyukaiku. Bukan kemauan aku juga dia nyatain perasaannya sama aku di depan kamu. Kenapa sih kamu nyalahin aku, kenapa?!" teriak Sari dengan deraian air mata. "Aku nggak pernah suka sama Roki, kamu juga tahu, 'kan kalau aku tuh benci sama dia. Sumpah demi Tuhan, Na!"
Ratna berbalik, lalu kembali mendekati Sari.
"Bohong! Kamu suka juga kan sama dia? Ngaku ajalah! Buktinya kamu nggak pernah cerita suka sama siapa. Pasti kamu malu mau cerita kalau ternyata kamu suka sama teman sekelas kita sendiri."
"Aku nggak pernah suka sama Roki! Yang aku suka Romi!!" balas Sari dengan mata memerah dan bibir yang gemetar. Perasaan yang selama ini ditutupi olehnya akhirnya terbongkar juga.
"Apa? Romi?"