Saat Sari menatap Roki, ia baru menyadari bahwa permen lolipop yang baru saja diberi oleh Roma jatuh ke lantai. Gadis itu hendak berdiri, tapi kembali didudukkan oleh Roki. Akhirnya Sari menahan diri untuk diam, supaya Roki segera menyudahi semuanya.
"Aku belum selesai bicara, kamu mau ke mana?"
"Kalau begitu katakan semua yang mau kamu katakan, setelah itu menjauh dariku."
Roki menatap beberapa anak yang ada di kelas dengan tajam, kemudian satu persatu dari mereka keluar karena takut. Setelah sepi, hanya tinggal mereka berdua saja, Roki mengeluarkan sebuah kotak kado, lalu meletakkannya di hadapan Sari. Di luar kelas, banyak siswa yang memperhatikan mereka berdua dari jendela, salah satunya adalah Ratna. Gadis itu menatap adegan setiap adegan Roki dan Sari dengan pandangan yang sayu. Bahkan es kelapa ijo yang ia bawa tanpa sadar jatuh begitu saja.
"Ini buat kamu, tolong diterima."
Sari melirik kotak kado yang berukuran kecil itu, lalu pura-pura mengucapkan terimakasih. Yang sangat ia inginkan saat ini adalah Roki segera menyudahi semuanya dan pergi, lalu ia akan cepat-cepat mengambil permen lolipop miliknya yang ada di lantai.
"Aku tahu kamu nggak akan mau jadi pacar aku, tapi aku harap jika suatu saat kita bertemu di jalan, kamu tidak akan memalingkan mukamu."
Roki memegang tangan Sari, sedangkan gadis itu terlihat sedikit takut memberikan tangannya. Dibukanya kotak kado itu, lalu mengeluarkan sebuah cincin dan memakaikannya ke jemari Sari. Cincin bermata satu yang berwarna putih itu terlihat cantik di jari manis milik Sari. Ukurannya juga pas.
"Semoga kamu suka." Roki melepas pegangan tangannya dan Sari langsung menarik tangannya. "Tolong jangan dilepas, ya!"
"I ... iya."
Roki tersenyum samar, setelahnya keluar dari kelas. Sari menatap kepergian Roki seraya memastikan kalau anak laki-laki itu memang sudah benar-benar pergi dari kelas. Setelah yakin, ia langsung beranjak dan mengambil permen lolipopnya yang ada di lantai. Lama ia menatap permen itu, lalu tertunduk lesu dan bersedih, saat mengetahui kalau ternyata kedua permen itu, isinya sudah hancur karena tanpa sengaja terinjak oleh Roki tadi. Sari menelan salivanya beberapa kali, lalu menggelengkan kepala dengan mata memejam dan menahan rasa sesak di dada. Menit berikutnya ia sudah duduk berjongkok, sambil menyembunyikan wajah di antara lengan, menangis.
***
Malamnya saat ia berbaring di ranjang. Sari terus memperhatikan gagang permen lolipop miliknya. Gadis itu membuang permennya, lalu menyimpan dua batang gagang lolipop itu sebagai kenang-kenangan. Masih jelas di ingatannya, bagaimana ekspresi wajah Roma saat memberikan permen itu untuknya. Sari sadar, selama ini ia berusaha mati-matian untuk meraih prestasi di sekolah supaya Romi bisa melihatnya, kenyataanya, malah Roma yang mengakui kecerdasannya. Entah kapan Romi bisa melihatnya dengan semua kelebihan yang ia punya. Sari menyimpan gagang permen lolipop itu di dalam sarung bantal, lalu memejamkan mata untuk istirahat malam. Sementara cincin dari Roki, terlihat tergeletak berkilauan berada di dalam kotak pensil miliknya di meja belajar.
Paginya suasana rumah digegerkan oleh Nia yang terus saja mengejar Sari. Eva yang berusaha memisahkan pusing sendiri melihatnya. Anak kedua dari empat bersaudara itu berteriak sekuat tenaga berusaha memisahkan, tapi tak didengar sama sekali oleh kedua adiknya. Emosi Nia memuncak saat melihat Sari kembali memakai handbody miliknya. Sementara Sari tanpa sengaja menemukan handbody itu di atas lemari, lalu iseng memakainya. Saat ini Sari sedang berusaha menutup pintu kamar yang berusaha dibuka oleh Nia.
"Buka nggak!"
"Nggak mau!"
"Buka!!"
"Nggak!"
"Awas kalau tertangkap, ya! Pokoknya aku kasih pelajaran nanti."
"Dasar pelit!"
"Kamu pencuri!"
Mereka berdua terlihat saling tarik menarik pintu. Eva yang suaranya nyaris habis menggelengkan kepala dengan hati dongkol luar biasa.
"Udah, stop! Stop! Stop! Kalian berdua ini apa-apaan sih?! Baru minggu kemarin ibu sama bapak pulang dan berpesan supaya kita saling menjaga selama mereka tidak ada di rumah. Kenapa ini malah bertengkar?"
"Dia duluan buat gara-gara, Mbak. Kenapa sih nggak pake handbody Mbak Eva aja, malah pake punyaku?"
Nia memasukkan tangan, dan berhasil menangkap rambut Sari, detik berikutnya Sari memekik karena Nia menarik rambutnya. Eva yang melihat, segera membantu Sari melepaskan cengkraman tangan Nia pada rambut adik bungsunya. Setelah terjadi drama yang lumayan panjang, akhirnya mereka berdua berhasil ditenangkan dan keduanya menunduk lesu saat Eva dengan keras memberikan nasihat untuk keduanya.
Hari itu Sari berjanji tidak akan lagi mengganggu barang-barang milik Nia. Gadis itu hanya jail, ia sengaja iseng dan mengganggu Nia, supaya saudaranya itu marah. Ia hanya suka melihat Nia marah-marah, karena berulang kali ditawari Ida untuk membeli peralatan make up saat saudaranya itu pulang, Sari selalu menolak.
Di sekolah.
Sari melangkahkan kaki memasuki gerbang sekolah, kemudian tanpa sengaja ia melihat Romi yang sedang bercanda bersama teman-temannya. Bibirnya tersenyum senang melihat keadaan pria itu kini sudah baik-baik saja, karena terakhir Ratna mengatakan kalau Romi demam. Gadis itu perlahan bersembunyi di balik pohon, untuk terus memperhatikan lelaki yang dikaguminya.
Setelah cukup lama, Romi dan teman-temannya masuk ke kelas dan Sari keluar dari persembunyiannya. Ia kembali melangkah untuk menuju ke kelasnya dengan hati yang sudah lega. Saat berjalan menuju kelas, ia melihat Ratna juga baru datang. Gadis itu langsung memanggilnya. Sahabatnya menghentikan langkah, tapi ada yang berbeda. Ratna mengenakan topi hari ini.
"Bukannya hari ini hari selasa, Na?"
"Iya, aku tahu kok."
"Tumben lo kamu pake topi."
Ratna hanya menyunggingkan senyum. Mereka berjalan beriringan menuju kelas, lalu Sari baru menyadari kalau mata Ratna sepertinya bengkak.
"Matamu sembab, atau bengkak, Na?"
"Oh ini." Ratna meraba matanya. "Semalaman aku sakit gigi. Aku nangis gak berenti-berenti sepanjang malam. Itulah sebabnya aku pake topi."
"Oh ya?" Ratna mengangguk dengan seulas senyuman.
"Udah ke dokter?"
"Udah kok. Semalem dianter sama saudara."
"Syukurlah, semoga lekas sembuh ya, Na."
"Aamiin."
Mereka telah sampai di kelas. Kemudian bersiap untuk mengikuti jalannya pelajaran. Masing-masing siswa mengeluarkan buku pelajaran, meletakkannya di meja. Ratna ijin ke toilet sebentar. Biasanya ia akan minta ditemani oleh Sari, tapi kali ini Ratna malah menolak saat Sari menawarkan diri untuk menemaninya. Akhirnya Sari hanya menunggu di dalam kelas. Saat akan membantu Ratna memasukkan tas miliknya ke dalam laci meja, tanpa sengaja ada kertas yang jatuh dari dalam tas itu. Sari memungut kertas itu, lalu iseng membaca tulisan di dalamnya.
Dear Roki.
Ki, kenapa kamu nggak pernah peka sama perasaan aku. Kenapa kamu malah menyukai sahabat aku. Apa kurangnya aku hingga selama ini kamu tak pernah bisa menyukaiku, apa Ki? Katamu, kamu suka dengan wanita yang sifatnya keibuan, dan aku sadari bukan aku orangnya. Kamu tidak pernah bisa menatapku, tapi kamu bisa menatap Sari selama apapun itu. Ternyata sikapmu yang sering mengganggunya adalah salah satu cara kamu meminta perhatian darinya.
Kamu sadar nggak sih Ki, aku tuh sakit, tapi aku nggak bisa marah karena hubungan kita yang hanya sebatas teman. Coba kamu jadi aku sekali saja, Ki. Supaya kamu paham betapa sakit dan tersiksanya aku menyaksikan kamu menyatakan perasaan padanya kemarin. Kamu buat aku nangis semalaman bahkan membuat selera makanku ancur-ancuran. Kamu tega, Ki. Tega. Aku benci sama kamu, aku benci sama Sari dan aku juga benci sama diriku sendiri ...
"Ya Allah, Ratna ...," ucapnya lirih.
Setetes air mata jatuh di pipi gadis itu saat mengetahui kebenarannya. Ia benar-benar tidak menyangka, jika tanpa sengaja telah melukai perasaan sahabatnya.
"Na, maafin aku, Ya. Maaf ... "
Sekali lagi Sari berucap, tapi kali ini dengan tatapan yang nanar menatap sekeliling kelasnya.