Chereads / 10 Years Of Feeling / Chapter 18 - Pengakuan Roki

Chapter 18 - Pengakuan Roki

Sari melamun di meja belajarnya. Ia masih memikirkan pertanyaan Roma saat di sekolah tadi. Roma bertanya Sari suka sama boneka yang bagaimana, meskipun awalnya Sari hampir salah paham, tapi akhirnya mengerti setelah anak laki-laki itu menjelaskannya. Ternyata, sebentar lagi hari ulang tahun kekasihnya, sehingga ia meminta pendapat Sari tentang kado yang akan diberikan.

Roma beralasan, tidak mau meminta pendapat Ratna, karena sepupunya itu gadis yang tomboy. Ia juga tidak mau meminta pendapat teman yang lainnya karena merasa malu dan takut digoda. Jadi, satu-satunya orang yang dimintai pendapat olehnya adalah Sari. Orang yang tidak terlalu dekat, juga cerdas menurut Roma. Sari melirik catatan di buku pramukanya. 

~Besok di jam istirahat, Kak Roma mengajak ketemu di belakang kelas.~

Setelah itu ditutupnya buku itu dan beranjak untuk tidur.

Pagi.

"Nia, kamu pacaran sama Sidik?" tanya Eva saat mereka bersiap akan pergi ke sekolah.

"Deket aja, Mbak. Nggak pacaran kok," sahut adiknya masih sibuk mengikat tali sepatu.

Sari yang mendengar obrolan itu ikut nimbrung.

"Cowoknya Mbak Nia yang mana sih? Soalnya yang suka jemput sekolah ganti-ganti."

"Kepo kamu!" sahut Nia kesal.

"Adiknya nanya bener, lo. Kamu deket sama yang mana?"

Nia telah selesai mengikat sepatunya. Ia menatap Sari yang sedang memakai tas dengan  tatapan kesal, lalu menoleh ke belakang di mana Eva sedang menyisir rambutnya. Gadis itu semenjak duduk di bangku SMA memang terlihat dekat dengan sejumlah pria. Hanya saja, Nia akan menjauh saat si pria sudah berani meminta macam-macam. Seperti minta cium dan peluk.

"Belum ada yang resmi pacaran, Mbak. Semuanya cuma sekedar PDKT aja."

"Hati-hati sama Sodik, yang mbak dengar dia itu laki-laki kurang baik."

"Nia tahu kok. Tujuan Nia dekat dengan beberapa laki-laki ya untuk menyeleksi yang terbaik dari yang baik."

"Yang baik yang berani bertemu sama ibu dan bapak, lalu ngajak nikah."

"Ah, Mbak. Kita kan masih muda. Masa umur segini mau serius aja."

"Justru umur segini kita harus lebih hati-hati dalam bergaul. Salah sedikit masa depan hancur, Na. Kalau sudah begitu siapa yang rugi dan malu. Kita dan orang tua juga kan?!"

Nia berdiri dengan wajah datar, sangat terlihat kalau ia sedang kesal. Gadis itu merapikan bajunya, lalu berjalan ke arah kaca. Kini gantian ia yang menyisir rambutnya di depan kaca rias, setelah Eva menjauh dari sana. Eva dan Sari saling bertatapan melihat Nia yang hanya diam ketika diberikan nasihat.

"Mbak Nia, kok diem? Denger nggak apa kata Mbak Eva?"

"Rese deh, udahlah anak kecil nggak usah ikut campur." Nia mendekati Eva, lalu berkata. "Aku bisa jaga diri kok, Mbak. Insha Allah, aku tahu batasan dalam berpacaran. Mbak percaya deh sama aku."

Eva menghembuskan nafas kasar, lalu mengangguk secara perlahan. Nia pamit untuk pergi lebih dulu. Di depan rumahnya sudah menunggu seorang anak laki-laki yang juga memakai seragam SMA duduk di atas sepeda motornya. Pria itu tersenyum dengan Sari dan Eva yang berdiri di depan pintu menyaksikan kepergian mereka.

"Pergi Mbak. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Sepeda motor pun berlalu. Eva dan Sari keluar dari rumah, lalu menggembok pintu. Mereka berdiri di depan rumah menunggu kendaraan umum yang lewat. Sebenarnya banyak hal yang ingin si bungsu tanyakan, tapi melihat wajah Eva yang sedang tidak bersahabat, ia memutuskan mengurungkan niat. Sesekali Sari menoleh ke arah saudaranya, lalu berakhir dengan menunduk seraya menarik napas yang panjang, karena tak punya banyak keberanian untuk bertanya.

Di kelas, Sari merasa aneh. Semenjak naik ke kelas dua, Roki tidak pernah lagi mengganggunya. Anak laki-laki itu kini terlihat lebih kalem dan tidak banyak ulah seperti biasa. Ratna dan yang lainnya juga merasakan hal yang sama. Mereka juga penasaran akan perubahan Roki itu. 

"Harusnya kita bersyukur, karena dia sudah berubah lebih baik," kata Sari saat Ratna mengungkapkan kebingungannya.

"Heran aja, Sar. Anak yang biasa pecicilan tau tau berubah drastis jadi kalem gitu. Apa dia lagi ada masalah, ya?" Sari mengedikkan bahu, tanda tidak tahu. 

Ratna sepertinya tidak nyaman dengan perubahan teman sekolah dasarnya itu. Ia terus saja memikirkannya. Ratna bahkan sesekali menoleh ke belakang untuk melihat perubahan sikap Roki yang tiba-tiba menjadi pendiam. Bel istirahat berbunyi. Sari ada janji untuk bertemu dengan Roma di belakang kelas ini. Ia menunggu Ratna pergi ke kantin baru akan menemui Roma.

Ratna pun mengajaknya ke kantin, tapi Sari menolaknya. Karena Sari sudah biasa bersikap seperti itu, sehingga ia tidak curiga sama sekali. Gadis tomboy itu pun keluar kelas, dan Sari langsung berdiri untuk menuju ke belakang. Sari menoleh kanan kiri sebelum melesat ke sana, setelah ia rasa sepi langsung saja Sari menuju ke belakang kelas. Bukan apa-apa, Roma dan Sari takut digosipkan terjadi sesuatu jika diketahui orang banyak.

"Kak!" sapanya setelah sampai di sana.

Roma tersenyum, kemudian menunjukkan boneka beruang berukuran sedang, berwarna pink yang memakai pita di bagian lehernya. 

"Gimana, menurutmu bagus nggak?"

"Bagus banget! Pacar kakak pasti suka!"

Roma tersenyum mendengarnya. "Serius?" Sari mengangguk pasti. "Oke, kalau begitu terimakasih, ya! Ini buat kamu."

Roma meletakkan dua buah permen lolipop ke tangan Sari, kemudian buru-buru langsung pergi dari sana, karena takut dilihat oleh anak sekolah yang lainnya. Sari mematung, menatap dua buah permen itu, kemudian mengulum senyum saat menyadari itu dari kembarannya Romi. Ia menggenggam permen itu, lalu meletakkannya ke dada, setelahnya tersenyum bahagia sambil memejamkan mata. Sari membuka matanya, lalu berbalik untuk masuk ke kelas. Sampai di kelas ia melihat ada Roki yang duduk di kursi Ratna, di sebelah kursinya. Sari memilih duduk di bangku yang lainnya untuk menghindari anak laki-laki itu.

"Duduk sini, aku mau bicara."

Sari pura-pura tidak mendengar. Beberapa anak yang ada di sana berbisik-bisik melihat tingkah Roki.

"Sari, kamu budek? Duduk sini aku mau bicara!"

Sari mendengus kesal, ia ingin pergi saja dari sana, tapi pasti nanti si Roki akan membuat gara-gara. Akhirnya anak itu memaksakan diri untuk mendekat. Ia tidak mau duduk di samping Roki. Sari malah duduk di bangku yang lain, tapi jarak mereka cukup dekat.

"Kenapa?"

"Duduk sini! Di kursimu sendiri. Aku mau bicara."

"Aku bisa mendengarmu meskipun ada di sini, tak perlu duduk di sana."

"Aku bilang duduk di sini!" bentaknya yang membuat semua orang terdiam.

Roki berdiri, lalu memaksa Sari untuk duduk di sebelahnya. Mendapat perlakuan seperti itu membuat Sari berusaha memberontak, tapi tenaganya kalah kuat, sehingga dua permen lolipop yang ia pegang jatuh ke lantai. Permen itu tanpa sengaja terinjak oleh Roki dan hancur.

"Apaan sih?!" bentak Sari saat Roki mendudukkannya secara paksa ke kursi. Sari sampai lupa dengan permen yang tadi diberikan oleh Roma.

Gadis itu memegangi pergelangan tangannya setelah di lepas oleh Roki, karena terasa sakit. Roki diam cukup lama, lalu mengatakan.

"Setelah bagi raport, aku akan pindah ke sekolah lainnya."

Sari diam saja, ia masih memegangi tangannya yang sakit. 

"Aku cuma mau bilang, terimakasih karena sudah membuatku naik kelas dan aku juga mau bilang kalau aku ... suka sama kamu."

Semua orang menunjukkan ekspresi kaget di kelas itu. Begitu juga Sari, ia langsung menoleh menatap wajah laki-laki yang sangat menyebalkan itu dengan tatapan tidak percaya.