"Selamat, ya!"
Ibunya Yura menjabat tangan Sari setelah membantu anak itu mengambil raportnya. Suasana sekolah sudah sepi, tinggal beberapa orang saja.
"Makasih, Tante. Makasih sudah membantu saya mengambil raport ini dan terimakasih juga untuk ucapannya."
"Iya, sama-sama. Orang tua kamu pasti bangga banget anaknya meraih ranking pertama di kelas. Yura yang masuk 13 besar saja Tante bahagia, apalagi ibu dan bapakmu."
Sari tersenyum samar. Sari tidak yakin dengan kalimat yang diucapkan oleh ibunya Yura, karena selama ini orang tuanya tidak tahu menahu mengenai prestasi anak-anaknya. Mereka sudah terlalu sibuk memikirkan untuk bisa bertahan hidup dan terus menyekolahkan anak-anak.
"Sar, aku juga mau ngucapin selamat." Yura menjabat tangan Sari.
"Makasih, ya!"
"Sama-sama, kalau begitu kami pulang dulu. Ayahku pasti sudah menunggu di rumah."
"Ok. Sekali lagi, makasih ya!"
Yura dan ibunya pamit pulang. Sari duduk di anak tangga di depan kelasnya. Ia membuka raportnya dan melihat nilainya. Tertulis peringkat satu di dalamnya. Dari kejauhan Ratna memperhatikan sahabatnya. Ia tahu, hati temannya itu sedang tidak baik-baik saja. Saat Sari mengusap ujung mata untuk menghapus setitik air mata, Ratna mendekat dan langsung duduk di sebelahnya.
"Nggak usah nangis!" Gadis tomboy itu langsung merangkulnya. "Bagaimana kalau aku traktir jajan sepuasnya. Hitung-hitung untuk merayakan keberhasilanmu mendapatkan rangking satu."
"Aku kenyang," sahutnya dengan suara yang serak.
Sari berusaha menghindari tatapan Ratna dan masih berusaha menghapus sisa air matanya. Anak itu ingin terlihat baik-baik saja di depan semua orang.
"Ah gitu aja nangis. Waktu SD sering juga kan dapet juara, tapi kamu nggak nangis?"
Setelah mengatakan itu, Ratna langsung menarik tangan sahabatnya untuk mengajaknya ke kantin. Di kantin, Ratna memesan berbagai menu makanan dan minuman yang enak-enak. Ia bahkan mengajak semua yang berjualan di sana untuk makan bersama. Awalnya Sari hanya diam, masih merasakan sesak di dadanya. Ia tidak tahu persis mengapa hatinya bersedih. Ratna dan pedagang yang ada di sana terus saja mencoba mencairkan suasana, mengajak Sari berbicara apa saja dan menghiburnya, hingga akhirnya ia mau makan dan berbaur dengan semua orang. Di sela-sela candaan, Sari memegang tangan Ratna seraya menatapnya yang membuat tawa Ratna mereda.
"Kenapa, Sar?"
"Makasih banyak untuk semuanya."
Ratna tersenyum, ia ikut memegang tangan sahabatnya, lalu mengucapkan,
"Sama-sama."
Hari berganti hari, bulan berganti bulan. Akhirnya sampai pada Catur Wulan ke tiga saat kenaikan kelas. Tiga kali bagi raport, tiga kali juga Sari meminta tolong beberapa orang tua dari teman-temannya untuk mengambil raportnya. Ia sudah terbiasa. Ia juga selalu menjadi juara kelas, begitupun Nia saudaranya. Ibu dan bapaknya masih terus sibuk bekerja, mereka sangat jarang ada di rumah. Eva kadang masak, kadang juga tidak sempat, sehingga mereka mengurusi diri mereka masing-masing.
Cuci baju masing-masing, cuci piring masing-masing dan mandiri dalam segala hal. Anak-anak itu dipaksa dewasa dan mandiri karena keadaan. Yang ibunya tahu, di rumah sudah disediakan sayur mayur setiap minggu, sehingga anak-anaknya bisa masak sendiri-sendiri kalau mau makan. Di rumah mereka juga menyediakan mie instan dan telur jika mereka malas memasak. Keadaan ekonomi keluarga Sari Pun perlahan mengalami kemajuan semenjak dibantu oleh Ida.
Satu yang tidak pernah berubah, perasaan gadis itu terhadap Romi tetaplah sama. Setiap kali datang ke sekolah untuk kegiatan ekstrakurikuler, Sari sengaja menyediakan sebuah pena khusus untuk Romi, mengingat pria itu tidak pernah membawa pena, sehingga menjadi langganan meminjam penanya. Diam-diam ia masih suka memperhatikan gerak gerik laki-laki itu. Sari juga tanpa sadar ikut tersenyum setiap kali melihat Romi tersenyum. Apalagi setelah Ratna memberitahu kalau hubungan Romi dan Reka putus setelah kejadian saat itu. Perasaan Sari pada Romi semakin dalam.
***
September 2003
Nia dan Eva sudah menjadi gadis remaja dan sudah bisa mengurus badan. Sari yang saat ini duduk di bangku kelas dua SMP diam-diam sering memperhatikan kedua kakaknya yang suka memakai handbody, memakai bedak tabur pada wajah, dan juga mengenakan parfum murah meriah yang biasa beredar di pasaran. Sari juga sering memperhatikan Nia yang sering memakai cream pada wajahnya setiap habis sholat Isya.
Penampilan Nia juga sudah berubah menjadi bersih dan rapi, seperti Eva dan Ida. Tak jarang, Sari sering memakai peralatan saudara-saudaranya secara diam-diam. Ia juga ingin terlihat rapi, cantik dan wangi seperti Nia, Ida dan Eva. Pagi itu sebelum berangkat ke sekolah, Sari diam-diam membuka lemari dan memakai handbody milik Nia. Ternyata diam-diam Nia penasaran, karena handbody dan parfum miliknya cepat sekali habis, sehingga ia sengaja pura-pura pergi ke sekolah, padahal ia bersembunyi untuk melihat dan memergoki siapa yang ikut memakai barang-barang miliknya.
"Dek, ternyata kamu yang suka pake handbody dan parfum mbak diem-diem? Pantesan cepet baget abis!" Ia merebut barang itu dari tangan adiknya.
"Ya ampun Mbak dikit aja," sungut Sari kesal.
"Beli dong. Mbak Ida kan suka kasih uang. Beli sendiri kan bisa? Mbak Eva aja beli sendiri kok. Lagian kamu itu masih SMP, ngapain pake gini-ginian?"
Nia melotot pada adiknya. Sari menjauh sambil bersungut-sungut kesal. Selama ini aman, baru kali ini ia ketahuan. Setelah tahu kalau ternyata Sari diam-diam ikut memakai handbody dan parfumnya, akhirnya Nia memindahkan tempat kedua barang itu supaya adiknya tidak tahu. Ia memindahkannya dari dalam lemari menjadi ke atas lemari. Nia tersenyum seraya menepuk kedua tangan secara menyilang setelah berhasil meletakkan barang-barang itu ke atas lemari.
"Aman, kali ini dia tidak akan menemukannya. Hehehe," ucapnya lega, setelah itu baru pergi ke sekolah.
Nia saat ini sudah duduk di kelas satu, sekolah menengah atas (SMA). Ia satu sekolah dengan Eva yang kelasnya lebih tinggi satu tingkat dengannya. Gadis ini kini lebih cantik dan rapi semenjak SMA, ia juga sudah memiliki teman dekat pria di sekolah. Berbeda dengan Eva yang memilih belum mau punya hubungan dengan siapapun, karena Eva juga bukan tipe gadis yang mudah jatuh cinta.
***
Di sekolah, Sari masih dipusingkan soal bunga mawar yang sering ia temukan di mejanya. Sejak dulu hingga kini ia dan Ratna belum mengetahui siapa yang sering mengirimkan bunga itu. Kalau biasanya hanya setangkai bunga, kali ini ada selembar surat di dalamnya. Surat itu Ratna yang memegang, kemudian ia membacakannya untuk Sari.
Dear Sari ...
Hai, apa kabar? Maaf kalau aku mengganggu. Aku tahu, kamu pasti merasa terganggu, tapi aku tidak bisa menahan perasaanku. Sebenarnya, kamu mengenalku. Kita juga pernah berada dalam satu kelas ketika kelas satu. Ingin menampakkan diri, takut kalau kamu tidak bisa menerimaku. Entah sejak kapan rasa ini ada untukmu. Sari, aku mengagumimu. Aku menyukai setiap apapun yang ada pada dirimu. Kalau berkenan, aku ingin hari ini kita bertemu. Kutunggu di kantin hari ini di jam istirahat kedua. Jangan lupa datang, aku menunggu. Aku akan membawa setangkai bunga seperti biasa yang sering aku berikan padamu.
Ttd.
Pengagum rahasiamu
Ratna menutup suratnya. Ia meletakkan surat itu di hadapan Sari.
"Gimana?" tanya Ratna.
"Menurutmu?"
"Kalau menurutku, lebih baik kita temui saja. Supaya kita tahu dan tidak penasaran."
Sari berpikir sejenak, lalu menjawab.
"Baiklah, akan kita temui dia nanti di jam istirahat kedua."