Setelah melewati pembelajaran selama empat bulan lamanya, hari itu ujian untuk Caturwulan pertama dilaksanakan. Seperti biasa, jika besok ada ujian Sari akan belajar hingga larut malam. Ia akan tidur pukul sebelas malam, kemudian bangun lagi jam tiga dini hari untuk kembali belajar, begitupun kedua saudaranya. Sari datang ke kelas, di mana panitia sudah mengatur denah tempat duduk untuk ujian hari ini berdasarkan nomor absensi.
"Duh, hari ini ujian matematika, ya! Aku nggak belajar sama sekali, Sar," keluh Ratna.
"Loh, kenapa nggak belajar, Na?"
"Sebenarnya belajar, cuma aku nggak paham sama rumus-rumus itu. Mau melototin buku sampe subuh juga aku nggak bakal ngerti."
Sari tersenyum. "Sudah, tenang aja! Kalau bisa nanti aku kasih tahu jawabannya."
"Serius?" Sari mengangguk. "Duh makasih, ya! Kira-kira kita duduk sama siapa, ya?"
"Nggak tahu juga, Na. Semoga bukan sama Roki."
"Aamiin, semoga ya!"
Tidak berapa lama datang guru pengawas. Dibukanya pintu dan meminta para murid masuk, lalu mencari tempat duduk dengan teratur. Sari mendapatkan tempat duduk nomor dua dari belakang. Ia melirik nomor tempat duduk di sampingnya, tapi masih saja tidak mengenal itu urutan nomor absensi punya siapa. Tidak berapa lama masuk Roki tergesa-gesa mencari tempat duduknya. Anak laki-laki itu tersenyum saat mengetahui kalau ia duduk satu meja dengan Sari.
"Kita semeja," ucap Roki seraya duduk dan memasukkan tas ke dalam laci.
Sari berusaha bersikap biasa saja. Ia hanya diam tanpa menjawab kalimat dari Roki. Guru pengawas memperingatkan supaya semua murid tenang, lalu membagikan soal ujian. Saat mengerjakan soal Roki berkali-kali melirik ke arah Sari. Ia tidak tahu harus mengisi apa di lembar jawaban. Sedikit berbisik ia berkata.
"Nyontek dong!"
Sari menatapnya dengan kesal, lalu kembali fokus mengisi soal. Roki membuat tulisan di kertas khusus untuk oret-oret.
(Nyontek! Kalau nggak hidupmu nggak akan tenang di sekolah ini.)
Sari yang masih berkonsentrasi mengerjakan soal memutar bola mata malas melihat tingkah Roki. Karena dia butuh konsentrasi tinggi, demi keamanan akhirnya ia membukakan lembar jawabannya. Roki mencontek jawaban Sari semuanya lancar tanpa hambatan. Setelah menulis jawaban nomor terakhir kembali Roki menuliskan sesuatu.
(Semua jawaban ini benar?)
Sari membalas dengan menuliskan sesuatu di kertas khusus miliknya.
(Nggak tau.)
(Kok nggak tau, kamu belajar nggak?)
(Ya belajarlah. Cuma seingatku begitu rumusnya!!)
Sari terpaksa saat membalas itu. Ia melirik kesal ke arah Roki. Kembali anak itu membalas.
(Ayo, cek ke buku cetak rumusnya, untuk memastikan. Aku bawa kok buku cetak!)
Sari menoleh dan menatap Roki dengan tajam, kemudian membalasnya.
(Gila, nggak mau!!)
(Kalau nggak mau nanti kamu nyesel!!)
Ish!
Sari terlihat sangat kesal. Pelan-pelan dengan senyum samar Roki memindahkan buku cetaknya dari laci meja sebelah kanan, ke laci sebelah kiri di mana Sari duduk. Setelah itu ia memberi aba-aba supaya gadis itu melakukannya. Padahal semua jawaban telah selesai terjawab, tapi Roki sengaja melakukan itu untuk mengerjai Sari. Gadis itu menarik napas, lalu memejamkan mata, setelah beberapa saat dengan sangat hati-hati membuka buku cetak milik Roki, hanya untuk memastikan rumus yang dipakainya benar atau salah. Seorang teman yang duduk tak jauh dari mereka melihat Sari membuka buku, lalu mengancam akan mengadu. Dengan sigap Roki menunjukkan kepalan tangan di bawah meja yang membuat anak laki-laki itu takut, kemudian menunduk.
(Gimana, udah?) tulis Roki setelah Sari menyimpan kembali buku cetak itu dalam laci.
(SUDAH!)
Roki tertawa kecil melihat tulisan Sari yang ke semuanya huruf kapital. Ia langsung menyandarkan punggungnya ke kursi. Sementara Sari sibuk menyalin jawaban untuk membantu Ratna mengerjakan soal. Setelah selesai menyalin ia melempar jawaban ke kursi paling ujung di mana Ratna duduk. Jam ujian telah usai, guru meminta anak-anak mengumpulkan jawabannya ke depan jika sudah selesai. Guru itu bengong saat Roki yang terkenal bandel maju lebih dulu ke depan.
"Kamu sudah selesai?" tanya pengawas itu kurang yakin. Ia tidak percaya anak seperti Roki mampu mengerjakan soal ujian dengan mudah.
"Udah, Bu. Cek aja kalau nggak percaya," sahut Roki sombong.
Guru pengawas itu mengecek jawaban Roki, lalu tersenyum tipis dan mempersilahkan Roki untuk keluar ruangan. Kemudian disusul anak-anak lain, baru Sari dan Ratna. Di kantin Ratna tak henti-hentinya tertawa mendengarkan aduan Sari soal Roki. Gadis itu terlihat sangat marah dan kesal dengan tingkah teman baru semejanya itu.
***
"Mbak, besok bagi raport. Gimana?" tanya Sari sebelum mereka tidur di dalam kamar.
Dulu, saat di SD pembagian raport kelas diambil oleh murid itu sendiri, berbeda saat SMP. Raport harus diambil oleh wali dari siswa. Nia dan Eva saling berpandangan.
"Gimana apanya, Dek?" Eva balik bertanya.
"Ibu sama Bapak nggak ada. Siapa yang ngambil raport kita?"
"Ya kitalah, siapa lagi?" Kini Nia yang menyahuti.
"Apa boleh nggak pake wali?"
"Biasanya mbak minta tolong wali dari teman untuk mengambil raport," sahut Eva.
"Aku juga." Nia menimpali.
Sari diam. Ia tidak melanjutkan pertanyaannya. Gadis itu langsung naik ke atas ranjangnya, lalu berpikir sebentar, baru tidur.
Paginya saat pergi ke sekolah Nia memberitahu Sari bagaimana caranya mendapatkan raport tanpa ada ibu atau bapaknya di sekolah. Nia dan Eva sudah terbiasa, tapi ini untuk pertama kalinya bagi Sari. Anak itu mendengarkan arahan dari sang kakak dengan seksama. Sesekali mengangguk tanda mengerti. Sampai di sekolahan Sari memperhatikan sekitar. Nia berkata, cari teman yang tidak satu kelas, karena guru tidak mengingat wajah dari setiap murid di sekolah. Satu persatu wali murid berdatangan, termasuk ibu dari Ratna. Hanya orang tua Sari yang tidak ada di dalam.
"Ibumu mana?" tanya Ratna.
Sari masih terlihat gelisah. Ia bingung mau minta tolong siapa untuk mengambil raportnya. Semua murid menunggu di luar kelas, sementara orang tuanya mengambil raport di dalam kelas anaknya masing-masing.
"Ibuku nggak ada di rumah."
"Jadi?"
"Nggak tau, aku juga bingung mau minta tolong sama siapa buat ngambil raportku, Na."
"Ibuku aja, gimana?"
"Kita sekelas, pasti ketahuan."
"Wah bener juga."
Sari semakin gelisah. Ia mengintip dari jendela, satu persatu orang tua dari siswa sudah ada yang maju ke depan. Wajah anak itu terlihat semakin tegang saat sudah ada salah satu wali yang keluar kelas, lalu anaknya menghampiri dan bertanya nilainya. Sang ibu mengusap kepala anaknya dan mengucapkan selamat karena anak itu berhasil masuk sepuluh besar. Tidak berapa lama ada satu nama yang terlintas di benak Sari. Tanpa pamit pada Ratna ia langsung berlari ke kelas lain.
"Sar, mau kemana?" teriak Ratna.
"Ke kelas Yura!" balas Sari juga berteriak sembari terus berlari menuju ke kelas Yura.