"Kak, jaketnya. Makasih banyak, ya!"
Sari mengangsurkan jaket milik Romi. Sore itu, baru saja upacara penutupan. Acara berkemah telah selesai. Ia dan Yura menemui Romi yang sedang mengobrol dengan teman-temannya sebelum pulang. Anak laki-laki itu menerima jaketnya.
"Sama-sama. Mau pulang, ya?"
"Iya."
"Ratna mana?"
"Udah duluan. Tadi, di jemput sama kakaknya."
"Oh. Ok."
Sari tersenyum saat satu persatu senior lainnya menyapa. Roma yang juga ada di sana, mengingatkan supaya kedua juniornya hati-hati di jalan. Setelah mengembalikan jaket dan berpamitan Sari pulang bersama Yura. Tanpa Sari sadari, dari kejauhan Reka memperhatikan gerak geriknya. Salah seorang teman yang satu tenda dengan Sari sering melaporkan apapun yang berkaitan dengan Romi kepada Reka, termasuk perihal Sari yang memakai jaketnya kemarin malam. Reka mengepalkan tangan melihat Sari menghampiri Romi untuk mengembalikan jaket itu. Dalam hatinya berkata, suatu saat ia akan memberikan perhitungan pada anak itu supaya jera dan tidak lagi mendekati Romi.
Sari dan Yura pulang dengan mengendarai kendaraan umum (angkot). Di jalan Yura terus saja menggoda. Gadis itu mengatakan kalau ada kemajuan antara hubungan Sari dan Romi. Mendengar itu membuat pipi Sari menghangat. Ia menyangkal dan mengatakan kalau hubungan mereka hanya sebatas hubungan antara senior dan junior saja. Padahal jauh di dalam lubuk hati, Sari juga menyadari itu. Jika dulu mereka tak saling kenal, setidaknya kini sudah kenal. Jika dulu mereka tak pernah saling menyapa, kini mereka sudah bisa saling menyapa. Bahkan kini mereka sudah saling berbagi makanan.
Sampai di rumah ternyata ada Ida, saudaranya yang sudah beberapa bulan ini kerja di luar kota. Ketiga saudara Sari menyambut adiknya pulang, sedangkan orang tuanya tidak ada di rumah. Mereka bertanya banyak hal soal pengalaman pertama adiknya berkemah. Gadis itu terlihat menceritakan pengalamannya dengan sangat seru. Bahkan ketiga saudaranya tertawa terbahak-bakal saat Sari menceritakan masalah nasi goreng yang tanpa sengaja ternodai oleh setetes air liur. Setelah selesai terlibat obrolan seru soal pengalaman, Sari pamit untuk membersihkan diri karena sebentar lagi masuk waktu Magrib. Setelah Isya Ida memasak makanan favorit mereka dulu, yaitu sambal ubi. Mereka makan malam berempat sambil bercerita dan nonton televisi bersama.
***
Bel berbunyi, tanda jam istirahat telah tiba. Seperti biasa Ratna mengajak Sari untuk ke kantin, tapi anak itu menolak, karena harus menyimpan uang sakunya untuk kebutuhan sekolah. Meskipun Ratna berulang kali menawarkan untuk mentraktir jajan, tetapi sahabatnya itu selalu menolak dengan alasan masih kenyang. Akhirnya Ratna pergi ke kantin bersama teman yang lain. Sari mengambil botol air minum dari dalam tas, lalu meminumnya, setelahnya mengeluarkan buku dan iseng menulis puisi di sana. Saat sedang asik menulis, tiba-tiba datang Reka—pacarnya Romi. Ia ke kelas itu bersama tiga temannya. Sari yang merasa tidak ada masalah apapun dengannya terlihat biasa saja. Ia hanya melihat sekilas, lalu kembali asik dengan buku dan pena di meja. Reka memberi aba-aba kepada kedua temannya untuk mendekati Sari.
"Kamu yang namanya Sari?" tanyanya seraya melirik nama di dada Sari setelah ada di hadapan gadis itu.
"Iya, Kak. Kenapa, ya?"
Reka memutar bola mata malas sambil tersenyum sinis. Setelahnya menggebrak meja.
"Eh denger, ya! Jangan mimpi Romi bisa suka sama cewek dekil kayak kamu!" Mendengar itu membuat Sari kaget bukan kepalang. Hatinya bertanya-tanya bagaimana Reka bisa tahu perasaannya. Belum hilang rasa kaget Sari dengan perkataan Reka, salah satu temannya memaksa Sari untuk berdiri. Reka lebih mendekat, lalu mencengkram kerah baju Sari. Ia mendekatkan wajah, lalu berkata. "Udah miskin, rambut keriting, dekil, item, mimpinya tinggi lagi. Nggak sadar diri emang!"
Mereka saling bertatapan, karena kesal tanpa sadar Sari menjawab.
"Memangnya ada undang-undangnya tidak boleh suka sama Kak Romi?" tanya Sari lirih, hingga hanya Reka yang bisa mendengarnya.
Gadis yang berstatus sebagai pacar Romi itu semakin kesal mendengar kalimat dari Sari. Ia mengambil buku tebal yang tergeletak di meja Sari, lalu memukulkannya hingga mengenai hidung gadis malang itu. Ratna yang baru saja kembali dari kantin tidak terima melihat sahabatnya diperlakukan demikian. Ia berlari mendekat, lalu mendorong tubuh Reka hingga membuat gadis itu terjatuh ke lantai.
"Apa-apaan sih?! Sok jagoan kamu?" Ratna menunjuk wajah Reka penuh emosi. Setelahnya melihat keadaan Sari yang duduk sambil memegangi hidungnya. "Sar, kamu nggak apa-apa?" Sari menggeleng.
Reka berdiri dengan dibantu temannya.
"Oh, jadi dia ini teman kamu? Bilang sama teman kamu nggak usah sok kecakepan deket-deketin Romi. Suruh ngaca!"
"Siapa bilang dia deketin Romi? Aku saksinya, dia nggak pernah seperti itu!"
"Buktinya! Ada yang bilang dia keganjenan pake jaket Romi waktu berkemah! Kemarin juga aku lihat dengan mata kepala aku sendiri dia sok sokan mau balikin jaket, padahal sengaja mau caper sama Romi!"
"Aku yang minjemin, bukan dia! Cari info itu yang bener dong, jangan asal nuduh! Awas ya! Aku bilangin sama Romi, udah berani labrak sahabat aku! Biar kalian putus sekalian! Dia pasti nyesel sudah punya pacar norak kayak kamu!"
Mendengar kalimat Ratna, Reka memilih diam. Dadanya kembang kempis menahan amarah. Ia masih menimbang-nimbang, mau membalas perkataan Ratna atau tidak, mengingat gadis itu sepupu dari kekasihnya. Setelah cukup lama saling bertatapan dengan Ratna, akhirnya Reka memilih pergi bersama teman-temannya. Ratna ingin mengejar, tapi Sari menahannya.
Di ruang UKS Ratna terus saja mengomel karena melihat Sari hanya diam saat Reka merendahkannya. Sari yang diomeli oleh sahabatnya itu cuma diam. Yura yang mendengar dari teman sekelasnya langsung menyusul ke ruang UKS. Sampai di sana, Ratna menceritakan kejadiannya pada Yura. Sesekali Yura menatap Sari yang memegangi hidungnya dengan tisu yang berdarah akibat ulah Reka, tapi dia hanya diam, tak mengatakan sepatah katapun.
"Sar, kamu kok cuma diem sih diperlakukan seperti itu sama Reka?" tanya Yura.
"Kalau aku jadi kamu udah aku kata-katain juga dia. Bilang aja dia pendek! Bilang aja dia yang sok cantik! Atau apa ajalah yang bisa bikin dia sakit hati. Sari direndahkan gitu cuma diem." Ratna masih terlihat kesal.
"Sar, kalau kita cuma diem, mereka bakal nginjek-nginjek harga diri kita."
Sari menarik napas panjang, kemudian menguncir rambutnya yang bergelombang. Ia yang sejak tadi diam dan menghindari tatapan kedua temannya, kini memberanikan diri untuk bicara.
"Aku ... bukan takut."
"Terus kenapa kamu cuma diem?"
"Selagi bukan orang tuaku yang mereka kata-katain aku nggak apa-apa, kok."Ratna dan Yura mengalihkan pandangan seraya mendengus tertawa, mereka tidak percaya dengan yang Sari katakan. Mereka berdua juga menggeleng-gelengkan kepala mendengar alasan sahabatnya. "Aku belum selesai bicara." Kedua gadis itu kembali menatap Sari. "Pernah denger ini? Siapa yang memuliakanmu, maka muliakanlah dia, dan siapa yang merendahkanmu, maka muliakanlah dirimu dengan tidak merendahkannya. Dan aku setuju dengan kata-kata itu. Apa bedanya kita sama dia, kalau kita melakukan hal yang sama?"
Sari menatap kedua temannya secara bergantian. Sementara Yura dan Ratna jadi terlihat kikuk mendengar apa yang Sari katakan.