Paginya setelah apel, semua anak-anak sibuk memperbaiki tenda. Romi dan yang lain sibuk mengangkut barang-barang yang semalam diungsikan ke sekolah untuk dibawa lagi ke lokasi perkemahan. Guru pembina datang dengan membawa sarapan untuk anak-anak. Mereka sekaligus melihat keadaan tenda karena rusak akibat diterjang hujan badai semalam. Nama pembina yang mengurus anak-anak putri adalah Bu Dewi. Guru berparas cantik, berkulit hitam manis itu masuk ke dalam tenda yang baru saja kembali berdiri.
"Maaf, ibu baru bisa datang. Semalam anak ibu rewel, jadi baru bisa melihat kalian pagi ini."
"Nggak apa-apa, Bu. Lagian semua baik-baik saja kok," sahut Novi selaku ketua regu di sana.
Yang lain mengatakan hal yang sama pada guru pembinanya. Dewi memberikan dua bungkusan besar yang isinya nasi uduk untuk anak-anak. Ia membeli 50 bungkus nasi uduk untuk anak-anak putra maupun putri. Anak-anak Pramuka makan dengan lahapnya. Selesai makan Dewi menanyakan siapa yang akan menjadi pembawa obor inti nanti malam, mengingat Ajeng yang biasa menjadi petugas itu tidak ikut berkemah. Setelah bermusyawarah dengan anak-anak akhirnya diputuskan kalau Sari yang akan menggantikannya. Kemudian dipilih lagi dua orang untuk ikut serta menjadi pembawa obor yang akan membacakan Dasa Darma Pramuka. Sisanya dari sekolah lain.
Hari ini semua anak-anak sibuk mencari ranting kayu untuk persiapan api unggun nanti malam. Sari dan 10 anak lainnya dibimbing oleh panitia berlatih di dekat gedung serba guna karena akan menjadi petugas dari acara. Sementara itu Ratna dan Yura ada di semak belukar mencari ranting kayu bersama anak-anak lain.
"Itu yang dipake Sari jaket siapa? Perasaan semalem dia nggak pake jaket?" tanya Yura.
"Jaketnya si Romi. Aku pinjemin semalem pas sepupuku itu datang ke kelas."
"Loh, kok aku nggak lihat ada kak Romi datang?"
"Gimana mau lihat, orang kamunya udah ngorok kok!"
Yura mengulum senyum, malu. "Masa' sih aku ngorok? Eh aku nggak pernah ngorok kok."
"Buktinya semalam kamu ngorok! Kuat banget lagi."
"Hihihi, maklumlah aku capek' banget semalem tuh!"
Mereka berdua terus mengobrol sambil bercanda. Romi dan anak-anak dari sekolah lainnya mengumpulkan ranting dan kayu ke tengah lapangan. Senior dari SMA langsung menegakkan kayu paling besar setinggi kurang lebih tiga meter, lalu disusun kayu-kayu lainnya di sekitarnya. Tak lupa ranting-ranting kecil juga mereka susun di sana. Ban-ban bekas mobil berukuran besar juga sudah ada tak jauh dari lokasi perkemahan. Ban itu akan digunakan untuk mempermudah proses pembakaran kayu yang sedikit lembab nanti malam.
***
Jam sebelas malam. Anak-anak dan semua panitia sudah memakai pakaian lengkap berkumpul di lapangan. Mereka sudah berbaris rapi membentuk sebuah lingkaran yang di tengah-tengahnya kumpulan kayu berukuran hampir tiga meter berdiri, yang siap menjadi api unggun malam ini. Sari sudah berdiri dengan membawa obor yang menyala di dekatnya. Suasana hening, tak ada yang bersuara. Kemudian suara nyanyian Sari memecah keheningan dengan gerakan khusus yang sejak siang diajarkan.
"Dari satyaku yang teguh
Darma baktiku yang penuh
Semoga tanah airku
Indonesia jaya
Aman dan sentosa
Bersatu rakyatnya
Makmur sejahtera
Anggun unggul wibawanya
Giat pramukanya .... "
Kemudian Sari berdiri mematung. Ia berteriak dengan lantang.
"Dasa Darma Pramuka, Pramuka itu!"
Masuk seorang anak laki-laki sedikit berlari menuju ke arah Sari dengan membawa sebuah obor. Ia berhenti tepat di depan Sari, lalu menyalakan obor yang mati pada obor milik Sari, sehingga menyala juga obor yang dipegangnya. Setelah itu ia berbaris yang tak jauh di samping Sari.
"Satu! Takwa kepada Tuhan yang Maha Esa!" teriaknya lantang.
Masuk orang kedua, hanya saja kali ini anak putri dan ia melakukan hal yang sama. Ia berbaris di samping anak yang membacakan Dasa Darma Pramuka yang pertama, lalu berteriak lantang.
"Dua! Cinta alam dan kasih sayang sesama manusia!"
Masuk anak ketiga, seorang anak putra.
"Tiga! Patriot yang sopan dan kesatria!"
Dilanjutkan masuk anak ke empat, seorang anak putri dan seterusnya ....
"Empat! Patuh dan suka bermusyawarah."
"Lima! Rela menolong dan tabah."
"Enam! Rajin, terampil dan gembira."
"Tujuh! Hemat, cermat dan bersahaja."
"Delapan! Disiplin, berani dan setia."
"Sembilan! Bertanggungjawab dan dapat dipercaya."
Hingga pembacaan Dasa Darma Pramuka yang ke sepuluh
"Sepuluh! Suci dalam pikiran, perkataan maupun perbuatan."
Setelah selesai kesebelas anak itu, termasuk Sari sudah berbaris membentuk lingkaran dan siap melempar obornya ke tengah di mana kumpulan kayu yang sudah disiram dengan bensin akan menyala. Sari memberi aba-aba kepada semua dan secara serentak mereka melempar obor mereka masing-masing ke arah kayu dan ....
Wush!
Api itu menyala sangat besar. Sari dan yang lain langsung berlari keluar dari sana. Mereka bergabung bersama anak-anak yang lainnya. Para panitia melempar ban-ban yang sudah disiapkan sehingga api terlihat seperti menjilati langit. Suasana yang tadinya dingin dan gelap, menjadi hangat dan terang. Banyak warga berdatangan untuk melihat jalannya acara. Setelah acara inti saatnya acara hiburan. Setiap sekolah harus menampilkan pertunjukan untuk menghibur teman-temannya. Berbagai tingkah lucu dan unik ditampilkan. Ada yang menampilkan tari piring, ada yang bernyanyi sambil memainkan gitar, ada juga yang menyanyikan lagu yang berjudul suara hati, tapi mereka tak menyanyikan apa-apa. Saat ditanya, katanya mereka hanya bernyanyi di dalam hati saja yang sontak membuat semua anak tertawa terbahak-bahak.
Dalam semaraknya acara, pandangan mata Sari tak lepas dari sosok Romi. Posisi mereka berseberangan. Sari terus memperhatikan gerak gerik anak laki-laki itu. Bicaranya, senyumnya, tawanya dan semua yang ada pada Romi terlihat sempurna di mata Sari. Anak laki-laki itu berdiri dengan tubuh yang dipenuhi cahaya kekuningan, akibat terkena cahaya api yang ada di tengah-tengah mereka. Dia asik bercanda bersama teman-temannya. Romi tak pernah sadar, ada sepasang mata yang melihatnya dengan sorot mata yang sendu. Gadis itu tak pernah berhenti berharap, semoga suatu saat sorot mata mereka bisa saling bertemu.
Api sudah mengecil. Anak-anak diminta kembali ke tenda mereka masing-masing. Banyak anak-anak memilih membeli jajanan di sekitaran lokasi lapangan. Sari, Ratna dan Yura duduk di depan tenda mereka. Asik bercanda dan mengobrol seperti biasa. Tanpa sengaja Sari melihat Romi yang sedang berdiri di depan tendanya bersama seorang wanita. Ia langsung mengalihkan pandangan. Ternyata Ratna juga melihat hal yang sama, dan ia tertarik untuk membahasnya.
"Lihat tuh si Romi. Udah beda lagi ceweknya."
Diam-diam Yura menjawil pinggang Sari.
"Dia playboy, ya?" tanya Yura.
"Mungkin sama yang kemarin kurang cocok. Kalau yang kemarin sama-sama kelas dua, kali ini dia dekat dengan kakak kelas. Namanya Reka, dia anak kelas tiga."
Yura menganggukkan kepala. Sari pura-pura menunduk memainkan rumput.
"Eh, kita beli snack yuk, sambil makan di sini. Sebentar lagi jam satu malam, pasti panitia memeriksa ke tenda, untuk menyuruh kita tidur."
"Sudah jam satu kali, Na. Mana sempet. Yuk ah, tidur!" ajak Yura.
Sari ikut masuk ke dalam tenda ketika kedua temannya masuk. Yang lain sudah berbaring lebih dulu. Ada yang masih mengobrol, ada yang lagi asik berkaca dan sebagian sudah mimpi indah. Sari tidur terlentang, menatap bagian atas dari tenda. Bayangan kebersamaan Romi dan wanita barusan masih mengganggu pikiran. Ia memaksakan diri untuk memejam, berusaha tidak mengingat sesuatu yang seharusnya tidak diingat.
Jam tiga dini hari semua anak dibangunkan secara mendadak oleh para seniornya. Mereka diajak ke tengah lapangan dengan mata yang ditutup oleh dasi mereka masing-masing. Setelah itu dibariskan dan didudukkan di tengah-tengah lapangan. Salah satu panitia bertugas menyampaikan nasihat, untuk renungan malam dan itu berhasil membuat kesemua anak menangis histeris, bahkan ada yang sampai pingsan karena menyesal selama ini sudah sering berbuat salah terhadap orang tuanya.
"Apa yang selama ini kalian lakukan terhadap ibu dan bapak kalian di rumah? Kalian dengan entengnya membentak, marah bahkan tak segan membantah perkataan orang tua! Bayangkan pulang dari sini kedua orang tua kalian sudah menjadi mayat! Dingin dan kaku! sementara kalian belum melakukan apapun untuk mereka! bayangkan!! Ingatlah, Nak!! Tidak ada kesempatan kedua untuk berbakti kepada orang tua. Kalau bukan kita yang lebih dulu, maka mereka. Jadi mulai saat ini jadilah anak yang baik! Anak yang taat! Anak yang berbakti! Sebelum semuanya terlambat .... "
Suara panitia terdengar sangat lantang di malam itu. Semua anak, termasuk Sari, Ratna dan Yura. Mereka menangis sesenggukan ingat akan dosa kepada kedua orang tuanya. Sejak malam itu, semua anak-anak Pramuka menyadari kesalahannya dan bertekad akan memperbaiki diri setelah pulang dari berkemah. Mereka berjanji pada diri mereka masing-masing akan menjadi anak yang jauh lebih baik lagi setelah ini.