Malamnya hujan masih terus turun, tapi tidak begitu deras. Anak-anak pramuka khusus dari sekolah SMP N 1 Ulu Timur diungsikan ke dalam kelas-kelas di gedung sekolah, karena tenda mereka ambruk dan basah, begitupun tempatnya, banjir dan becek. Sari dan teman-teman menempati salah satu kelas yang dekat dengan perpustakaan.
Sementara anak-anak pramuka putra, menempati kelas di sebelahnya. Karena hujan, listrik pun padam, sehingga penerangan kelas hanya menggunakan lilin-lilin kecil saja. Beruntung dari awal sudah diantisipasi supaya masing-masing anak membawa 2 buah lilin selain beras, sehingga dalam keadaan seperti ini mereka tidak lagi kebingungan untuk mencari sumber penerangan.
Semua meja di kelas itu disusun untuk menjadi pengganti ranjang. Satu anak memakai, satu sampai dua meja untuk tidur malam ini. Sari, Yura dan Ratna berjajar di posisi paling depan. Lilin-lilin kecil itu disusun di pinggiran jendela kelas.
"Ada selimut nggak malam ini?" tanya Ratna.
Gadis itu sudah berbaring miring. Kepalanya diganjal dengan tas sebagai pengganti bantal. Yura yang sedang menyisir rambutnya menoleh. Beberapa anak yang ada di sana juga ada yang sudah terlelap dengan selimut tebal menutupi tubuhnya.
"Selimutku basah," sahut Yura.
"Sama," sambung Sari singkat yang duduk menyandarkan punggungnya ke dinding.
Ia duduk miring sembari melempar pandangan ke luar jendela. Menatap rintik-rintik hujan yang berjatuhan dari atas langit.
"Aku tinggal sisa sehelai kain ini, karena selimutku juga basah, jadi gimana nih? Kain ini memang panjang, tapi kecil, nggak lebar, jadi nggak bisa dibagi tiga. Aku nggak enak kalau pake selimut sendirian."
"Ya nggak apa-apa juga kali, Na. Lagipula aku masih pake jaket kok." Yura menjawab.
Ia masih sibuk dengan rambutnya, kemudian saat sadar kalau Sari tak punya apa-apa, mereka berdua sama-sama menatap Sari. Anak itu hanya diam. Asik memainkan jemarinya pada kaca jendela yang dilapisi embun karena hujan dan udara yang dingin.
"Kamu gimana, Sar. Pake jaketku aja, ya! Tapi ... lembab." Ratna menawarkan.
"Yang ada nanti dia sakit perut."
Yura mengingatkan. Sari menghentikan gerakan tangan, lalu menoleh ke arah sahabatnya seraya tersenyum.
"Santai aja. Aku nggak apa-apa kok. Lagi pula, dibalik baju pramuka ini, aku masih mengenakan kaos oblong berwarna hitam, jadi cukuplah untuk menghangatkan badan."
"Serius?"
Yura kurang yakin yang dijawab anggukan kepala oleh Sari.
"Syukurlah. Nanti sebelum tidur perutmu olesi dengan minyak kayu putih, ya. Biar nggak sakit."
"Oke makasih, ya!"
Yura selesai menyisir rambutnya. Ia langsung berbaring di atas meja. Seharian ikut hiking membuat tubuhnya lelah. Jam sembilan malam hujan reda. Lampu juga sudah menyala. Yura terlelap di atas meja dengan mulut menganga. Melihat itu membuat Ratna tertawa dan ingin mengerjainya. Saat ia mengajak Sari untuk memasukkan sebutir garam yang sudah diikat dengan benang, Sari menolak dan melarang. Sari beranggapan Yura pasti kelelahan, sehingga merasa kasihan apabila dibangunkan. Karena Sari menolak, Ratna mengurungkan niatnya. Mereka berdua duduk menghadap ke luar jendela di mana banyak para orang tua, wali dari beberapa murid yang berdatangan. Ada yang membawa makanan, selimut dan lain sebagainya.
"Enak ya jadi mereka." Ratna memulai obrolan.
Sari menarik napas panjang. "Sepertinya, iya."
Dari banyaknya anak-anak yang ikut kegiatan Pramuka, di kelompok putri, hanya mereka bertiga yang tidak dikunjungi orang tua. Terlihat Novi sedang makan bersama ibu dan bapaknya di depan kelas. Putri yang sedang dipakaikan selimut dan dibawakan roti oleh saudaranya. Ada juga Billa yang sedang asik mengobrol dengan ayahnya yang tak jauh dari kelas itu dan lain sebagainya.
"Ibumu mana?" Ratna kembali bertanya.
"Sibuk cari uang. Ibumu?"
Ratna mendengus tertawa. "Sibuk juga."
Kemudian hening.
"Ternyata kita senasib."
"Itulah saat ini kita dipertemukan dan dijadikan teman, supaya bisa mengisi kekosongan dan kesepian dari diri kita masing-masing."
Mendengar Ratna mengatakan itu Sari menoleh.
"Kamu kesepian?" Ratna mengangguk. "Kamu?"
"Kadang ... iya. Kedua orang tuaku terlalu sibuk cari uang. Soalnya, kami orang susah, kalau mereka tidak cari uang, kami tidak bisa makan dan bersekolah." Ratna hanya diam.
"Dari SD, aku sering menjadi peringkat pertama di kelas, tapi ibu ataupun bapak tidak pernah bertanya soal itu. Sementara anak yang lain, masuk 10 besar saja orang tuanya sudah bahagia sekali. Yang sering kasih motivasi malah om-ku. Setiap kali aku juara kelas, aku akan dibelikan buku, atau boneka baru."
Kali ini Ratna menoleh, ia menyandarkan kepalanya ke bahu Sari dan kembali menatap ke luar jendela. "Barangkali bagi orang tuamu, kalian sehat saja sudah cukup, mereka tidak menuntut anaknya menjadi apapun. Mereka juga tidak sempat memikirkan yang lain karena sudah sibuk memikirkan isi perut."
"Bisa jadi. Kalau kamu?"
"Entah. Bagiku, ibuku pahlawanku. Ayahku anggota DPR. Kami diberi apapun yang kami mau, tapi ... "
"Tapi apa?"
"Sudahlah jangan dibahas, intinya, setiap keluarga punya cobaannya masing-masing. Yang kita lihat enak, belum tentu beneran enak. Semua orang pikir kami ini enak, karena berkecukupan, tapi nyatanya .... "
Ratna menggantung kalimatnya. Kembali Sari menarik nafas panjang.
"Bersyukur saja dengan apa yang kita punya. Karena yang terlihat oleh mata kadang masih menipu. Barangkali tanpa kita sadari, kita lebih beruntung dari orang lain."
"Yup. Berpikir seperti itu akan lebih baik."
Tiba-tiba ada yang memanggil Ratna dari arah pintu masuk. Gadis tomboy itu menoleh, lalu tersenyum. Sari ikut menoleh ke arah sumber suara. Di dalam kelas yang mereka tempati lampu dimatikan karena beberapa anak yang tidur di dalam sana, menolak lampu dihidupkan.
"Oh, Romi. Kenapa, Rom?"
Sari langsung merapikan rambut dan pakaiannya melihat siapa yang datang. Romi melangkah mendekat, lalu sedikit melompat untuk duduk di atas meja. Kini sosok Romi benar-benar ada di hadapan Sari yang membuat gadis itu menjadi kikuk.
"Lapar, ada makanan nggak?"
Ratna turun dari meja, lalu memeriksa tasnya.
"Yah, rotiku abis."
"Ya udah deh!" Baru saja Romi akan pergi, Sari memberanikan diri untuk mengatakan sesuatu.
"Tunggu, Kak!" Romi menoleh ke arahnya, menunggu apa yang akan dikatakannya. "Ehh, mie instan, mau? Aku masih ada dua bungkus."
"Boleh."
Sari buru-buru turun dari meja, lalu mengambil tasnya. Ia mengambil sebungkus mie goreng instan, lalu mendekati Romi yang berdiri di dekat meja tidurnya. Setelah dekat, Sari mengangsurkan mie itu ke arahnya.
"Ini."
Romi menerimanya. "Makasih, ya!"
"Sama-sama."
Ratna yang melihat Romi memakai jaket dan sarung jadi berpikir untuk meminjam satu untuk Sari.
"Rom, pinjem sarung atau jaketmu, boleh?"
"Buat apa?"
"Malam ini Sari nggak punya selimut. Kasian, kan dingin."
Laki-laki itu langsung melepas jaketnya. "Boleh. Jaket ini aja, mau?"
Sari mengangguk ragu dan Romi memberikan jaketnya pada Sari, setelah itu laki-laki itu langsung menjauh. Malamnya di saat Ratna dan teman lain sudah terlelap, Sari masih terjaga. Sesekali bibir anak itu tersenyum jika ingat kedatangan Romi. Ia berbaring miring, berkali-kali menatap jaket berwarna hijau yang kini dipakainya. Entah sudah berapa kali ia mengeratkan jaket itu ke tubuhnya, dengan hati yang dipenuhi bunga.