Bagaikan ayam yang lepas dari kandangnya, rombongan anak-anak pramuka baik pria dan wanita dari SMP N 1 Ulu Timur berlari menuju ke tenda kelompok putri setelah apel pagi. Perut mereka semua sudah keroncongan karena lapar dan ingin sarapan. Nasi goreng sudah di masukkan ke dalam baskom yang besar, asapnya masih mengepul di bagian atasnya. Tampilannya juga begitu menggoda dengan taburan bawang goreng, telur dadar yang sudah diiris tipis-tipis dan taburan kerupuk yang renyah. Piring-piring juga sudah disusun dengan rapi di sampingnya.
Sari dan Ratna duduk di bagian paling belakang dari tenda. Sepertinya mereka berdua memilih tidak sarapan pagi ini, karena tidak berselera, begitu pula dua yang lainnya. Rombongan sudah datang, anak laki-laki yang lebih dulu sarapan, disusul anak-anak perempuan. Sari, Ratna, Putri dan Deka hanya minum segelas teh hangat di hadapan mereka. Novi memilih ikut sarapan, hanya saja sesekali melirik ke arah teman-temannya yang menyaksikan tragedi saat memasak tadi. Novi sangat takut, salah satu temannya keceplosan menceritakan hal itu.
Setelah mengambil nasi, ia mendekati empat orang itu. Novi menyuapkan nasi ke dalam mulutnya sembari terus melirik mereka. Baru saja nasi akan masuk ke dalam mulut, Novi mengurungkan niatnya untuk makan.
"Ayolah makan, jangan membuat semua orang curiga," rengek Novi.
"Ya gimana, ya. Kita semua kenyang, Nov," sahut Putri yang di balas tawa oleh yang lainnya, sementara Novi hanya manyun mendengar jawaban mereka, lalu melanjutkan sarapannya.
"Hay hay hay hay! Makan yuk!" seru Yura langsung bergabung di tengah-tengah mereka dengan membawa sepiring nasi goreng di tangan.
Sari dan Ratna saling bertatapan. Jauh didalam lubuk hati mereka, ingin sekali berterus terang, tapi sorot mata Novi yang meminta diberikan belas kasihan membuatnya tidak tega. Pandangan ke empat orang yang menjadi saksi sebuah tragedi itu berkeliling, mereka melihat betapa lahapnya semua orang makan pagi itu.
"Sar, nanti kamu kasih tahu Yura deh, aku juga mau kasih tahu Roma dan Romi," bisik Ratna.
"Tapi nggak enak sama Kak Novi."
"Nunggu dia pergi. Bisikin aja, ajak ke hutan nanti si Yura."
"Oke."
"Tapi jangan kelamaan, keburu habis makanannya, kan kasian."
Sari mengangguk mengerti. Novi telah selesai makan, Sari mengajak Yura ke hutan, alasannya minta ditemani untuk buang air kecil, sedangkan Ratna langsung menemui Roma dan Romi. Yura bahkan meletakkan piring nasi gorengnya, untuk menemani Sari yang sedikit memaksa.
"Loh, katanya mau ke kamar mandi di gedung serba guna di depan sana, kok malah ke sini?"
Yura kebingungan karena Sari mengajaknya ke hutan, karena di pinggiran lapangan yang luas ini masih banyak semak belukar.
"Yura, jadi sebenarnya ... tadi waktu kami masak, Kak Novi nggak sengaja meneteskan setitik air liur ke dalam kualinya karena tertawa terbahak-bahak."
"Maksudmu nasi goreng yang aku makan tadi tercampur sama ... air, liur, kak Novi?"
Sari mengangguk dengan wajah prihatin. Wajah Yura langsung memerah menahan tekanan yang berasal dari dalam perutnya, lalu ....
"Huekk!Huekkk! Huekk!"
Di tempat lain Ratna mendekati Roma dan Romi yang sedang makan di dekat gedung serba guna. Romi sedang asik mengobrol dengan anggota Pramuka dari kota lain, nasi goreng di piringnya masih utuh, sedangkan Roma terlihat asik dengan makanan itu. Ratna mendekati Roma, lalu memperhatikan sepupunya itu yang makan dengan lahapnya.
"Na, udah sarapan?" Ratna menggeleng. "Tumben kesini sendirian, temen kamu mana?"
"Ada yang mau aku kasih tahu ke kalian."
"Soal apa?"
"Soal nasi goreng."
Roma menghentikan kegiatan makannya. Ia menatap Ratna dan Nasi goreng secara bergantian. Anak laki-laki jadi penasaran.
"Kenapa, nasi gorengnya habis, terus kamu mau minta punyaku?"
"Bukan."
"Terus?"
Romi telah selesai mengobrol, ia mendekati adik dan sepupunya. Mencoba mencermati apa yang mereka bicarakan. Ratna ingin mengatakan langsung, tapi di sekitar sedang ramai, sehingga ia memutuskan untuk berbisik ke telinga Roma, dan Romi pun ikut mendekat. Detik berikutnya Roma sudah ada di kamar mandi, memuntahkan isi perutnya, sementara Ratna dan Romi menunggu di luar. Romi terus saja tertawa, sedangkan Ratna merasa kasihan.
**
Anak-anak pramuka semuanya sudah berangkat untuk hiking perkelompoknya. Hanya ada masing-masing dua orang yang diperbolehkan menunggu tenda. Sari dan kelompoknya berjalan di bawah teriknya sinar matahari. Sesekali gadis itu mengusap keningnya yang penuh keringat dengan punggung tangan. Sari merasa tubuhnya sedang tidak baik-baik saja, tapi ia mencoba tersenyum setiap kali ada temannya yang mengajak ngobrol di jalan.
"Kita sudah melewati berapa pos?" tanya Novi, sembari membetulkan topi yang dipakainya.
"kayaknya udah tiga pos deh," sahut Billa.
"Pos bagian keempat, pertanyaannya soal apa nanti, ya?"
"Kayaknya simpul." Novi menoleh ke arah Sari. "Sar, masih inget soal simpul?"
"Masih, Kak."
"Bagus, yang lupa nanya-nanya ke Sari, ya."
Yang lain mengangguk.
"Kenapa nggak ke Kak Novi nanyanya?" tanya Yura.
"Itu, aku suka lupa soalnya. Dari pada nanti jawabannya kurang memuaskan lebih baik ke Sari saja," sahut Novi sambil nyengir.
"Sar, simpul yang biasa dipakai untuk jangkar dan pembuat tenda itu biasanya pake simpul apa sih?" tanya salah seorang teman yang berjalan di samping Yura.
Sari meringis, menahan rasa tidak nyaman pada perut dan ulu hati. Ia meraba perut hingga ke dadanya, setelahnya menarik napas panjang dan berusaha terlihat baik-baik saja.
"Simpul pangkal."
"Oh iya, lupa. Makasih, ya!"
Sari hanya menjawab dengan senyum tipis. Mereka kembali berjalan melewati setiap rute yang ada pada peta yang mereka pegang. Sampailah di pos empat. Terlihat beberapa senior sudah menunggu di sana. Para senior itu berasal dari berbagai sekolah menengah atas. Sari dan kelompoknya berbaris di hadapan mereka, lalu satu persatu senior itu memperkenalkan diri. Satu persatu kelompok itu sudah diberikan pertanyaan, hingga giliran Sari. Seorang senior laki-laki berdiri di hadapan Sari, tapi gadis itu terus memejamkan matanya. Sari berusaha bertahan dengan rasa sakit pada ulu hati dan kepalanya yang mulai terasa pusing.
"Kamu, siapa namamu?"
Sari masih diam, ia tidak menyadari kalau ia yang ditanya oleh seniornya. Ratna yang melihat itu menyikut tangan sahabatnya. Sari membuka matanya, lalu melihat seorang pria sedang memperhatikannya dengan seksama.
"Sa ... saya, Kak?"
"Iyalah, masa' dia."
Laki-laki itu menunjuk Ratna yang membuat semua tertawa. Sari kembali memejamkan matanya karena merasa pusing. Ia memaksakan diri untuk membuka matanya lagi, tapi semakin lama penglihatannya semakin gelap, hingga ia jatuh ke depan. Kepala gadis yang beranjak remaja itu jatuh tepat di dada anak laki-laki yang baru saja menanyakan namanya.
"Eh eh eh, loh kok jatuh? Tolong! Tolong! Kayaknya pingsan ini!"