Chereads / 10 Years Of Feeling / Chapter 10 - Hujan Lebat di Bumi Perkemahan

Chapter 10 - Hujan Lebat di Bumi Perkemahan

Sari langsung digendong oleh seniornya menuju posko. Semua orang yang ada di sana jadi ikut sibuk mengurusnya. Ratna menciumkan aroma minyak kayu putih ke hidung Sari berulang kali, sedangkan Yura memijat leher dan kepala sahabatnya itu dengan telaten. Sementara yang lain ikut panik melihat salah satu anggotanya ada yang pingsan. Selang beberapa menit Sari sadar. Ia langsung beringsut duduk seraya memegang keningnya. 

"Sar, masih pusing?" tanya Ratna, Sari mengangguk. "Kamu pasti belum sarapan nih!"

"Iya, tadi pagi cuma minum teh anget," sahutnya lemah.

"Kenapa nggak makan? Minum dulu, ya!"

Ratna menyodorkan air mineral kepada Sari. Ia lupa kalau tadi pagi mereka tidak memakan nasi goreng yang sudah dimasak oleh Novi dan teman-temannya karena tragedi air liur. Sari menerima air minum itu, lalu langsung meminumnya. Setelah minum, botolnya kembali diberikannya pada Ratna. 

"Tadi pagi nggak jadi makan, soalnya ...."

Belum Sari menjawab, Novi langsung memotongnya.

"Soalnya lagi nggak selera aja kayaknya. Duh, lain kali sarapan dulu lah Sari, supaya nggak lemes dan pingsan kayak gini lagi." 

Dengan mata yang masih sedikit terpejam Sari hanya tersenyum tipis. Senior yang menjaga posko meminta Sari dibawa ke lokasi perkemahan saja, karena di sana ada ambulan yang siap sedia merawat anak-anak pramuka yang sakit dan terluka, tapi Sari menolak. Ia merasa masih kuat berjalan. Melihat wajah Sari yang pucat dan tubuhnya masih lemah, Ratna dan Yura melarang ia melanjutkan perjalanan yang disetujui oleh yang lainnya.

Akhirnya mereka melanjutkan perjalanan tanpa Sari. Anak itu dijaga oleh senior dari sekolah menengah atas sembari menunggu jemputan, karena salah satu dari mereka menelepon panitia supaya menjemput Sari di posko itu. Tidak berapa lama datang seorang laki-laki mengendarai sepeda motor berhenti di posko itu. Mereka terlibat obrolan singkat, lalu Sari diminta naik ke bagian belakang sepeda motor itu untuk dibawa ke lokasi perkemahan. 

Di posko p3k lokasi perkemahan.

"Darahmu rendah sekali, Dek. Tadi pagi gak sarapan, ya?" tanya seorang wanita berkulit putih pada Sari di sebuah tenda yang di sebelahnya ada mobil ambulan. Ia menyimpan alat yang biasa digunakan untuk menensi darah orang itu ke dalam tas berwarna hitam. 

"Tadi pagi minum teh hangat saja, Kak."

"Kenapa nggak sarapan? Lain kali sarapan, ya. Tensi darahmu rendah, bisa makin drop kalau tidak diisi perutnya. Makan, lalu minum obat, ya."

Sari yang sejak tadi terbaring dibantu duduk oleh wanita itu. Ia mengangsurkan sepotong roti pada Sari, juga segelas teh hangat. Sari memakan roti itu perlahan. Sesekali kepalanya berkeliling memperhatikan sekitar. Setelah makan roti dan minum teh, Sari baru meminum obatnya. Karena ia merasa sudah jauh lebih baik, gadis itu pamit untuk pulang ke tendanya sendiri. Di Tenda teman-temannya yang bertugas menunggu kaget dengan kedatangan Sari. Ia menceritakan kalau sempat pingsan dan dibawa ke posko p3k untuk diobati, lalu mengatakan kalau semuanya sudah jauh lebih baik.

Kedua temannya meminta ia istirahat saja, supaya lekas sehat, tetapi Sari malah memilih ikut memasak untuk mempersiapkan makan nanti malam. Karena Sari bersikeras ikut memasak meskipun sudah dilarang, akhirnya teman-temannya itu memperbolehkan. Sepulang dari hiking, banyak yang melihat keadaan Sari dan mereka lega, karena Sari sudah baik-baik saja. Guru pembina juga datang untuk mengecek keadaan dan mengingatkan Sari untuk menjaga kesehatan. 

Jam lima sore, langit terlihat sangat gelap.

"Kayak mau hujan, ya?" celetuk salah satu anak dalam tenda.

Sari dan yang lainnya bersiap akan mandi sore. Tubuh Sari sudah benar-benar sehat. Ia juga sudah kembali ceria dan wajahnya pun sudah tidak lagi pucat. 

"Kalau hujan ya nggak apa-apa, kita juga dalam tenda. Siapin selimut aja, supaya nggak kedinginan," sambung Billa. 

"Besok malam api unggun, biasanya akan dipilih salah satu anak putri sebagai pembawa obor inti untuk upacaranya." Novi mengalihkan pembicaraan.

"Biasanya kan dari sekolah kita, ya. Si Ajeng, tapi dia nggak ikut kali ini."

"Jadi kira-kira nanti diganti siapa, ya?"

"Kamu aja, Bil."

"Nggak PD aku. Biar nanti Bu Pembina saja yang milih."

Ratna, Yura dan Sari bersiap untuk mandi. Mereka sudah membawa handuk, sabun dan peralatan mandi lainnya.

"Mau mandi kalian?" tanya Putri.

"Iya, Kak. Udah mau magrib soalnya."

"Aku nggak berani mandi, cuaca dingin banget soalnya," kata Novi yang disoraki semua orang. Novi hanya nyengir, lalu berkata. "Eh, kambing itu nggak pernah mandi dan harganya mahal loh!"

Semakin ramai orang menyoraki yang membuat Novi dan lainnya terpingkal. Sari dan kedua temannya meninggalkan tempat masih dengan senyum di wajah akibat ulah Novi. Mereka menumpang mandi di rumah warga sekitar. 

Angin kencang, gemuruh terdengar di atas langit yang menghitam. Sari yang sedang menunggu kedua temannya mandi jadi gelisah. Bagaimana kalau hujan? Mengingat mereka tidak membawa payung saat keluar dari tenda. Ratna dan Yura telah selesai, mereka bertanya mengapa Sari terlihat gelisah.

"Aku takut kita kehujanan," jawabnya sambil menatap hitamnya langit di atas sana.

"Hujan? Kenapa takut, paling juga basah. Tinggal ganti baju aja nanti di tenda."

"Iya, sih, tapi ... aku itu takut petir."

Kedua sahabat Sari tertawa mendengar pengakuan polos gadis itu. 

"Sama petir aja takut, kayak anak balita tau!" 

Mereka berdua terus saja tertawa. Setelah Sari selesai mandi, ia mengajak kedua temannya untuk pulang. Perjalanan kembali ke lokasi perkemahan, angin bertiup sangat kencang, hingga menerbangkan handuk yang di ada di leher Yura. Ia bahkan sampai berlari untuk mengejar handuknya yang terbang melayang. Di lokasi perkemahan, angin tersebut sampai menerbangkan tenda-tenda yang ada di sana. Bahkan beberapa tenda ada yang ambruk tak berbentuk.

Sari dan kedua sahabatnya berlarian ketika hujan lebat mengguyur bumi. Dari kejauhan terlihat semua orang sibuk membetulkan tenda mereka masing-masing karena rusak diterjang angin. Mereka telah sampai dan langsung sibuk membantu membetulkan tenda yang rusak sana-sini bersama yang lainnya. Semakin lama hujan turun semakin kencang. Tikar yang biasa dipakai untuk alas tidur anak-anak sampai basah karena lokasi juga kebanjiran air hujan. Semua tas dan alat-alat makan juga berhamburan dan terendam air.

"Beras!! Mana beras?!" teriak Romi dari luar tenda.

"Kenapa, Rom?" tanya Novi balas berteriak.

"Selamatkan beras kalian, soalnya bisa membusuk kalau terendam air!" 

Romi mengingatkan dengan tubuh dan baju yang sudah basah kuyup dari luar tenda. Semua anak-anak putri yang ada di dalam tenda itu berdiri sambil memegangi beberapa bagian tenda yang terus saja terbang ditiup angin.

"Ya ampun! Beras kita mana?!" teriak Billa, sementara sebelah tangannya masih sibuk memegangi tenda.

"Ada di baskom belakang, dekat kompor!" sambung Sari yang diiyakan oleh Putri. 

Sebagian pakaian anak-anak putri di dalam tenda itu sudah basah, tetapi mereka masih bertahan.

"Bawa ke gedung sekolah kita saja, karena gedung serba guna sudah penuh oleh anak-anak pramuka dari daerah lainnya!" 

Romi berlari ke tenda anak-anak putra, lalu memanggil beberapa untuk membantu mengangkut barang-barang anak putri agar dibawa ke gedung sekolah. Menit berikutnya mereka sudah sibuk saling membantu mengangkut barang ke gedung sekolah di bawah derasnya hujan dan angin kencang.