Sari langsung berusaha menguasai diri. Ia berdehem beberapa kali, lalu memberanikan diri untuk menjawab pertanyaan Romi.
"Aku nggak gugup kok, Kak. Kebetulan, setiap kali berhadapan dengan Kakak, apapun yang kupegang jatuh. Seperti pena waktu itu dan batu ini. Bukankah, tupai yang pintar melompat saja bisa jatuh kapan saya, apalagi aku yang hanya seorang manusia. Pegangan tanganku hanya kurang kuat memegang apa yang harusnya aku pegang dengan erat."
Romi kembali menatap ke arah kayu yang akan dia pukul menggunakan batu besar. Sepertinya jawaban Sari cukup menghilangkan rasa penasarannya.
"Bukunya Roma ada di kamu?"
"Iya, ada, Kak."
"Aku mau pinjam. Nanti malam lombanya dan aku belum belajar sama sekali."
Bergegas Sari menuju ke belakang tenda dimana semua tas, miliknya dan teman-teman dikumpulkan. Ia mengambil tasnya, lalu membuka resletingnya. Diambilnya buku bersampul coklat yang ada di dalam tas itu, kemudian memberikannya pada Romi. Anak laki-laki itu menerima buku dari Sari, kemudian menggulungnya dan memasukkannya ke dalam saku celana.
"Kamu sudah belajar?"
Belum Sari menjawab, seseorang memanggil Romi dari arah tenda anak pria, yang membuat anak laki-laki itu menoleh, lalu menjauh. Gadis yang beranjak remaja itu terdiam. Perlahan ia menyentuh dadanya sendiri, merasakan detak jantungnya yang seolah bertabuh. Tidak berapa lama datanglah Adi—teman pramuka Sari yang juga seorang laki-laki. Ia membantu memasang kayu itu. Setelah tenda sudah berdiri kukuh, Sari dan yang lainnya menyusun semua tas di dalam tenda.
Mereka juga mengumpulkan dua canting beras yang mereka bawa dari rumah masing-masing, dan diletakkan ke dalam sebuah baskom yang berukuran besar. Tak lupa kompor, piring dan juga gelas mereka kumpulkan dan susun jadi satu di bagian belakang tenda. Sari berdiri di belakang tendanya, lalu menoleh ke arah tenda anak-anak pria. Senyumnya menyungging tipis melihat Roma dan Romi yang sedang bercanda.
"Udah sore, mandi mandi! Ayo gantian!" teriak Novi, salah satu senior yang ada di sana.
Di tenda itu ditempati oleh lima belas orang, delapan orang anak-anak baru, sisanya senior semua. Sari kebingungan mendengar perintah dari Novi, sehingga ia bertanya pada Ratna yang saat itu sedang menyiapkan peralatan mandinya di dalam tenda. Ternyata mandinya menumpang di rumah warga, atau ke kamar mandi yang ada di sekolah mereka. Yura juga sudah siap untuk mandi, melihat itu Sari bergegas mengambil handuk dan peralatan mandi dari dalam tasnya. Setelahnya mereka bertiga ijin pada senior untuk mandi lebih dulu.
***
Terdengar suara adzan Magrib dari arah gedung serba guna yang ada di depan lapangan. Di tengah lapangan sudah digelar karpet-karpet untuk sholat berjamaah semua orang. Sari, Ratna, dan Yura pun yang lainnya sudah bersiap-siap. Ada lima orang yang menunggu di tenda. Tiga diantaranya sedang datang bulan, sedangkan yang lainnya non muslim. Sari dan teman-teman segera menuju ke lapangan sudah mengenakan mukena. Mereka berbaris rapi bergabung dengan anak-anak dari sekolah lainnya.
Di bagian depan, sudah berbaris rapi rombongan anak laki-laki yang sebagian besar memakai sarung dan kaos oblong biasa. Sari mengedarkan pandangan, lalu matanya menangkap sosok yang entah Roma atau Romi sedang duduk menunduk. Anak itu sedang khusyuk mendengarkan adzan yang sedang dikumandangkan. Pandangan mata Sari tak lepas darinya. Apalagi dengan sarung dan kemeja, plus peci kupluk berwarna hitam yang anak itu kenakan, menambah kharisma ketampanan yang selama ini sudah ia punya.
"Hei!" Novi menyenggol lengan Sari, reflek anak itu menoleh.
"Iya, Kak?"
"Udah belajar untuk lomba cerdas cermat nanti malam?"
"Udah, Kak. Insya Allah."
"Bagus, kita bawa pulang pialanya! Tahun–tahun sebelumnya, sekolah kita selalu mendapatkan juara 3 dan pasti bawa piala, jangan sampai kali ini kita gagal."
"Insha Allah, Kak."
"Semangat!"
"Semangat!" sahut Sari tak kalah bersemangat.
Novi tersenyum. Menit berikutnya mereka sudah khusyuk dengan shalatnya. Selesai shalat ada siraman qalbu sejenak, sehingga semua orang mendengarkan seorang ustadz berceramah di tengah-tengah lapangan. Sambil mendengarkan ceramah, sesekali Sari melirik Roma atau Romi. Entahlah siapa, karena ia masih susah membedakan jika saudara kembar itu tidak mengenakan seragam sekolah, sedangkan Ratna dan Yura nampak sibuk bercerita yang entah apa dengan cara bisik-bisik supaya tidak mengganggu jalannya acara.
"Makan apa kita malam ini?" tanya Billa sepulang dari salat, salah satu senior yang juga ada di sana. Nampak yang lain sedang melipat mukena dan memasukkannya ke dalam tas masing-masing.
"Tadi si Putri sama Sundari masak, Kak!" sahut salah seorang yang ada di situ.
"Masak apa kalian?" Kali ini Novi yang bertanya.
"Masak nasi, tumis kates muda, sama goreng telur."
"Udah masak semuanya?"
"Kalau sayur udah, tinggal nunggu nasinya. Ini lagi dikukus kayaknya bentar lagi masak."
"Oke. Oh iya untuk besok, siapa yang tinggal di tenda? Besok kegiatannya hiking sampe sore." Billa bertanya.
"Nanti malam ajalah kita musyawarahkan lagi." Novi menyarankan.
"Baiklah, kalau gitu kita siap-siap makan dulu."
Semua anak-anak sibuk mencari peralatan makannya, setelahnya makan bersama-sama di belakang tenda. Selesai shalat Isya Novi mengajak Billa dan Sari menuju ke salah satu tempat di mana lomba cerdas cermat akan diadakan. Mereka bertiga memakai pakaian lengkap menuju ke sana. sudah ada Roma, Romi dan Candra yang menunggu.
Di sana, Roma meminta tolong pada Novi untuk memakaikan dasi. Sari yang melihat itu hanya tersenyum tipis saat Candra meledek Roma modus melakukan semua itu. Sementara Billa, Candra dan Romi saling bercanda. Sari hanya diam, barangkali ia merasa canggung karena anak baru, berbeda dengan lainnya yang senior.
"Sekarang giliran SMP dari daerah Peliung, bentar lagi kita maju," kata Candra.
Mereka ber-enam duduk di bawah pohon akasia di pinggiran lapangan sedang menunggu giliran. Dimana ada pos khusus untuk lomba cerdas cermat. Sudah ada panitia juga di sana.
"Gimana buku kemarin, sudah dipelajari?" tiba-tiba Roma bertanya pada Sari.
"Sudah, Kak."
Mendengar pertanyaan Roma, yang lain jadi menghentikan percakapannya dan menyimak obrolan Sari dengan Roma. Anak laki-laki itu menatap wajah Sari sesaat, lalu kembali bertanya.
"Siapa nama bapak pandu sedunia?"
Sari diam saja, ia mencoba mengingat semua yang sudah dibacanya. Melihat Sari hanya diam, Romi tertawa sinis seraya mengalihkan pandangan.
"Sir Robert Stephenson Smyth Baden Powell of Gillwell."
Roma tersenyum, sedangkan Romi yang tadinya seperti meremehkan Sari, kini kembali fokus menatapnya.
"Lulusan manakah Baden Powell tersebut?"
"Charterhouse school."
Novi juga mulai tertarik, ia jadi ikut bertanya pada Sari.
"Siapakah nama saudara-saudara BP?"
"Warrington, George, Augustus, Frank, Penrose, Agnes, Henrietta, Jessie dan Baden Fletcher."
Novi menoleh ke arah Billa, dan seniornya satu itu juga memberikan pertanyaan.
"Patung apakah yang sering dinaiki para pandu untuk bermain di gilwell park?"
"Patung singa."
"Dimanakah kantor pusat biro kepanduan dunia?" Kali ini Romi ikut bertanya karena penasaran.
"Jenewa, Swiss."
Baru saja Candra ingin mengajukan pertanyaan Romi memberi aba-aba dengan tangan, supaya Candra tidak bertanya, karena ia masih penasaran dan masih ingin bertanya.
"Organisasi apa yang menjadi latar belakang gerakan pramuka?"
"Boedi Oetomo."
"Kapan Boedi Oetomo didirikan."
"20 Mei 1928."
Romi terus saja bertanya dan Sari dengan lancar menjawabnya. Senior lainnya bahkan ada yang sampai membuka buku untuk memastikan jawaban Sari benar atau salah. Setelah puluhan pertanyaan diberikan ternyata Sari berhasil menjawab semuanya. Novi dan Billa tampak antusias menyaksikan tanya jawab antara Romi dan Sari. Hingga pertanyaan terakhir pun Sari mampu menjawabnya.
"Gimana Rom menurutmu?"
Romi terdiam, lalu menoleh ke arah teman-temannya.
"Sepertinya kita akan membawa piala juara satu kali ini."
Dan jawaban itu berhasil membuat Novi dan Billa bersorak senang. Sari hanya tersenyum saat kedua seniornya memeluknya sembari memberikan semangat untuk maju dalam perlombaan. Dalam kebahagiaan Novi dan Billa, Sari melirik sekilas ke arah Romi. Seniornya itu melempar senyum padanya yang membuat hatinya menjadi hangat.