Chereads / 10 Years Of Feeling / Chapter 6 - Berkemah

Chapter 6 - Berkemah

"Bu, kalau aku ikut kemah nanti bulan depan gimana?"

"Ya nggak apa-apa, asal ada uangnya. Ibu nggak punya uang mau kasih kamu uang saku, jadi dari sekarang menabunglah untuk itu."

"Iya, Bu. Sari memang sudah menabung sejak lama. Sudah terpakai juga untuk beli buku LKS, ini mau nabung lagi untuk persiapan berkemah nanti."

Nur yang sejak tadi sibuk mengecek barang dagangan di rumah menoleh ke arah anak bungsunya. "Ibu percaya kamu bisa kayak mbak mbakmu. Mereka semua mandiri dan tahu apa yang harus dilakukan supaya bisa sekolah sampai akhir. Nanti kalau ada biaya yang tinggi baru bilang sama ibu, supaya bisa ibu carikan uangnya."

"Baik, Bu."

"Kerja keras yang bagus."

Mereka sama-sama melempar senyum. 

**

Sejak hari itu Sari tidak pernah lagi pergi ke kantin di sekolah, ia menabung uangnya untuk mempersiapkan perkemahan bulan depan dan untuk membeli perlengkapan pramuka seperti dasi, topi dan lain sebagainya. Lama-lama ia mengenal banyak teman sesama anggota pramuka. Bahkan kini ia memiliki seorang teman yang tempat tinggalnya bersebelahan desa dengannya, sehingga setiap hari jum'at siang, mereka akan berangkat sama-sama untuk menghadiri kegiatan pramuka dengan mengendarai sepeda.

Namanya Yura, ia adalah anak kelas lain yang dikenal Sari karena sama-sama ikut kegiatan ekstrakurikuler ini. Jum'at siang ini mereka sedang berboncengan menuju ke sekolah untuk mengikuti kegiatan pramuka. Minggu ini adalah minggu terakhir sebelum berkemah, sehingga ada pembekalan untuk persiapan sebelum hari itu.

Yura dan Sari nampak asik berbincang. Yura fokus pada jalan yang dilewati, sedangkan Sari nampak santai duduk di belakang sambil berpegangan pinggang. 

"Menurutmu, siapa senior paling cakep dari semua senior yang ada?" tanya Yura.

"Siapa, ya? Kayaknya semuanya cakep deh."

"Jujur ajalah, meskipun kita belum lama kenal, tapi aku tau kamu suka sama salah satu dari senior kita."

Sari tersenyum samar. "Oh ya? Nggak ada kok."

"Udah jangan ngelak. Boleh nebak?"

"Si ... siapa?"

"Romi."

Mendadak Sari terdiam dan  senyum samar di wajahnya menghilang yang membuat Yura tertawa. Temannya itu menjelaskan kalau sikap Sari selama ini sangat memperlihatkan kekagumannya pada Romi. Sahabatnya itu sering memergoki Sari seringkali mencuri padang pada anak laki-laki itu. Yura juga sering mendengarkan pembicaraan Ratna dan Sari mengenai saudara kembar itu dan wajah Sari nampak berseri-seri setiap kali nama Romi disebut. Meskipun Ratna tak pernah menyadari kejanggalan itu, tapi Yura secara cepat bisa menangkap sinyal kalau Sari tertarik pada Romi hanya dalam hitungan hari.

"Ngaku ajalah. Suka sama senior itu hal yang wajar kok. Asal jangan kelewatan aja, Sar."

"Maksudnya?"

"Kamu tahu si Puriyana?" Sari mengangguk. "Kabarnya dia juga suka sama salah satu senior kita dan malah sudah menyatakan perasaannya secara langsung. Kamu jangan gitu. Perempuan kalau kelihatan terlalu tergila-gila sama pria, mudah dimanfaatkan. Kalau ada apa-apa kita sebagai perempuan yang rugi."

"Ya, aku paham kok, Ra. Lagipula, selama ini aku menggunakan perasaanku untuk memotivasi diriku sendiri supaya jadi yang terbaik."

"Yang terbaik buat siapa? Buat kak Romi? Cie cie cie."

Sari mencubit pinggang Yura karena temannya itu terus saja menggoda. Sepanjang jalan perjalanan dua sahabat itu terus saja bercanda. Sari meminta pada Yura untuk menyimpan rahasia tentang perasaanya rapat-rapat, karena ia malu jika sampai ada orang lain yang tahu selain mereka berdua. Sampai di sekolah, Ratna, Yura dan Sari duduk di bangku bagian paling belakang. Saat Romi yang menjadi pengisi acara di kegiatan itu membuat Yura sesekali menoleh ke arah Sari hanya untuk menaikkan kedua alis. Sari hanya tersenyum sambil melempar kertas untuk membalas kejahilan temannya. Di jam istirahat, mereka bertiga duduk di kantin belakang. 

"Duduk di kelas aja yuk!" ajak Yura.

"Yuk, lagian kantinnya juga tutup semua," sambung Ratna.

Mendengar kedua temannya mengatakan itu, Sari langsung berdiri diikuti teman-temannya yang lain. Ketika akan masuk ke kelas, salah seorang senior memanggil mereka. Tiga sahabat itu menoleh ke arah sumber suara. Ternyata rombongan Roma yang baru saja memanggil. Ratna langsung menemui mereka, sedangkan Sari dan Yura mengekor dari belakang.

"Kenapa, Rom?"

"Duduk sini dulu. Ada yang mau ditanyakan soalnya."

Ratna mengajak kedua sahabatnya untuk duduk di hadapan Novi, salah satu senior di situ.

"Minggu depan kita sudah berkemah. Kira-kira siapa yang akan maju ikut perlombaan cerdas cermat mewakili sekolah kita. Untuk tim cowoknya aku, Romi sama Candra nanti."

"Nah untuk tim cewek, kita kekurangan satu." Novi menjelaskan.

"Kamu aja, Na," usul Roma.

"Aku nggak jago nginget materi."

"Kalau temannya kamu kira-kira siapa yang pintar?" Ratna langsung menoleh ke arah Sari. "Dia nih pintar. Di Kelas juga jadi kesayangan guru-guru."

Kali ini mata Roma tertuju pada Sari. Gadis itu hanya menunduk. "Siapa namanya?"

"Sari, Kak."

"Oh iya, lupa terus. Maaf. Ikut lomba cerdas cermat nanti, ya. Kalau mau nanti aku pinjamin bukunya. Catatanku lengkap."

Sari sedikit mendongak, lalu mengangguk seraya tersenyum. Melihat itu Yura pun mengulum senyum. Pulang dari kegiatan pramuka Yura membawa sepedanya dengan kecepatan yang cukup tinggi. Anak itu terus saja menggoda Sari yang nampak tersipu saat di sapa oleh Roma.

"Tak ada Romi, Roma pun jadi. Aku suka banget liat kamu malu-malu, Sar. Hahaha!"

Sementara Yura terus menggoda, Sari terlihat kesal dan malu duduk di belakang. Beberapa kali ia mencubit pinggang temannya dan protes dengan apa yang dikatakannya.

"Ra, udahlah nanti ada yang denger! Maluu!" teriaknya.

Malamnya Sari tidak bisa tidur karena memegang buku milik Roma. Ia mengamati tulisan yang cukup rapi di buku itu. Tertera nama Roma Anjaya di bagian depannya. Sari berbaring sambil terus menatap buku itu, sesekali ia tersenyum, lalu memeluk buku itu hangat. 

"Aku harus menang, harus bawa piala untuk sekolah. Bismillah .... " 

Tekadnya, sebelum memejamkan mata sambil terus memeluk buku milik Roma dengan segaris senyuman. 

***

Sari nampak sibuk menyiapkan banyaknya barang yang akan dia bawa. Ini pertama kalinya gadis itu mengikuti kegiatan berkemah. Ibu dan bapaknya memberikan nasihat dan masukan sebelum ia pergi pun membawakan bekal yang tidak sedikit. Kedua saudaranya membantunya untuk packing. Menyiapkan bantal, selimut dan lain sebagainya. 

"Udah semua?" tanya sang bapak.

"Sudah, Pak."

"Jangan lupa makan, dan jangan terlalu lelah." 

Kali ini ibunya yang berkata.

"Iya, Bu."

Nur memberi ongkos untuk naik kendaraan umum menuju ke sekolah, karena Sari menolak saat diberi uang saku untuk hidup selama beberapa hari disana, dengan alasan dia sudah menyiapkan semuanya. Keluarga kecilnya mengantarkan sampai di depan rumah, di mana Sari naik angkot untuk menuju ke sekolah. 

Sampai di sekolah Sari berkumpul di halaman bersama yang lainnya. Karena lokasi tempat berkemah tepat berada di samping sekolahnya, sehingga mereka menuju ke sana bersama-sama dengan berjalan kaki. 

Sampai di lokasi lapangan, langsung dilakukan apel untuk pembukaan. Setelah apel, setiap sekolah mencari lokasi yang sudah ditentukan untuk menegakkan tenda. Semua anggota pramuka terlihat sibuk, bergotong royong satu sama lain. Begitu juga Sari, ia sibuk memukul tongkat yang akan dijadikan penopang tenda untuk anak perempuan. Sedangkan Ratna sibuk menyapu sekitaran tempat, dan yang lain pun sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Kelompok Pramuka putra telah selesai, mereka bergegas mendekati lokasi Pramuka putri, untuk membantu. 

"Bisa?" tanya seseorang. 

"Susah, sampe sakit ini tangan," sahut Sari tanpa melihat siapa yang datang. 

"Sini, Kakak bantuin." 

Anak laki-laki itu berjongkok. Sari mendongak dan baru menyadari siapa yang menawarkan bantuan. 

"Mana batunya?" Sari diam saja, ia masih menatap dalam-dalam wajah Romi di hadapannya. Melihat Sari yang hanya diam Romi mengulang kata-kata. "Batunya mana yang buat mukul kayu ini?"  

Sari gelagapan. Batu besar di tangannya jatuh ke tanah. 

"Maaf, ini, Kak!" sahutnya mengambil kembali batu itu. 

Romi yang sejak tadi tertunduk karena hendak menancapkan kayu ke tanah, kini menatap Sari yang duduk di hadapannya. 

"Kenapa sih, setiap berhadapan denganku kamu kayaknya gugup?"