Chereads / 10 Years Of Feeling / Chapter 5 - Main ke Rumah Ratna

Chapter 5 - Main ke Rumah Ratna

Sari menulis di papan tulis dengan tenang. Kakinya terlindungi oleh kaus kaki dan sepatu milik Ratna, sedangkan Ratna mencatat dengan kaki telanjang di tempat duduknya. Ketika jam istirahat, Sari memilih tetap di kelas, karena sepatunya belum kering. Karena Sari hanya di kelas, Ratna memutuskan membeli beberapa snack, lalu memakannya di kelas. Beberapa anak duduk di tangga, di mana tempat pergantian kelas, antara kelas yang satu dengan yang lainnya. Salah satunya Sari dan Ratna. Saat mereka sedang asik berbincang, tanpa sengaja melihat beberapa temannya tersenyum saat melintas di belakang kelas. Ratna penasaran, sehingga bertanya.

"Ada apaan sih?"

"Di belakang kelas 2.3 ada orang pacaran."

"Oh, ya. Siapa?"

"Senior kita. Kak Roma."

Sari dan Ratna saling bertatapan. Ratna tertawa, sedangkan Sari hanya tersenyum. Bergegas Ratna berdiri, lalu ikut melihat ke belakang kelas itu.

"Mau kemana, Na?"

"Gangguin Roma. Tunggu bentar, ya!"

Sari tidak menjawab. Ia mengalihkan pandangan. Kemarin ia melihat Romi, bahkan sakitnya masih terasa. Hari ini ia mendengar Roma. Tidak berapa lama Ratna kembali, sembari tertawa puas. Ia menceritakan kalau habis mengganggu sepupunya itu. Sari pura-pura ikut tertawa, padahal hatinya kembali terluka. Gadis itu bahkan bingung, sebenarnya yang mana yang ia suka. Karena wajahnya sama, sehingga ia merasa menyukai keduanya.

***

Pulang sekolah Sari bukannya langsung pulang. Ia malah duduk di pinggir rawa sendirian. Sesekali melempar batu ke tengah-tengah rawa itu. Hatinya sedang tidak baik-baik saja. Gadis itu menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya secara perlahan. Sari berdiri, lalu melepas sepatu. Sementara sepatunya tergeletak di jalan yang kering, dia memilih bermain di jalanan yang berair. Sari menunduk, menatap wajahnya sendiri pada pantulan air. Wajah pacarnya Roma dan Romi melintas di benaknya, kemudian membandingkan keduanya pada dirinya sendiri. Sari sadar, ia tidak secantik gadis-gadis itu.

Kulitnya, pakaiannya, sepatu dan tasnya, semua terlihat mahal. Sedangkan dia, semua yang ia pakai dari ujung kaki ke ujung kepala adalah turunan dari saudara-saudaranya. Sari mengoret-ngoret pantulan wajahnya sendiri yang ada di air dengan ranting kayu yang ada. Setelahnya membuang ranting kayu itu jauh-jauh. Ia mengusap wajah kasar, lalu buru-buru mendekati sepatu untuk memakainya. Setelah terpakai gadis itu berlarian menuju ke rumah menembus angin yang saat itu sedang kencang.

"Dari mana? Ini sudah jam berapa, mengapa baru pulang?" tanya Eva.

"Tadi mampir ke rumah teman dulu, ada kerja kelompok."

"Nggak bisa pulang dulu? Jangan jadi kebiasaan, ya! Yang di rumah nungguin kamu pulang, sementara kamu bisa setenang ini pulang telat nggak bilang-bilang. Untung ibu dan bapak lagi nggak ada, kalau ada mereka bisa khawatir, Sar!" omel Eva.

Sari mengerucutkan bibirnya. Ia tidak tahu kalau terlambat pulang bisa membuat saudaranya sampai marah. Ia tidak menjawab, langsung masuk ke kamar dan menggantung tas, setelahnya mengganti pakaian. Nia yang sedang berbaring sambil membaca sebuah buku cerita anak-anak, melirik sekilas ke arah adiknya. Meskipun mereka satu sekolah, tapi saat pulang biasanya mereka pulang secara terpisah.

"Makan, sana! Biasa aja mukanya."

Sari diam saja, ia tidak menjawab teguran Nia. Gadis itu langsung naik ke ranjang atas, lalu berbaring menelungkupkan badan dengan memejamkan mata. Melihat tingkah adiknya, Nia hanya bisa menghela napas seraya menggelengkan kepala.

Sorenya.

"Sholat Ashar woy!" 

Nia melemparkan handuk dari bawah ke ranjang atas tepat ke wajah adiknya yang baru saja bangun dari tidur siang. Jam sudah menunjukkan pukul 16.30 sore.  Nia baru saja selesai mandi dan berganti pakaian.

"Mbak Eva mana?" tanyanya. Sebenarnya Sari takut mau keluar kamar dan bertemu sang kakak, mengingat ia sudah membuat satu kesalahan yang membuat sang kakak marah.

"Ada, kayaknya motongin rumput di halaman sebelah rumah. Minta maaf sana!"

Sari menjauhkan handuk dari tubuhnya, lalu turun tangga dari ranjang atas. Ia memutuskan untuk mandi terlebih dahulu, untuk menjalankan salat Asar, setelahnya baru menemui Eva. Setelah shalat, ia keluar rumah mendekati Eva yang sedang memotong rumput jepang di samping rumahnya. Ragu-ragu Sari duduk berjongkok di belakang tubuh sang kakak, ikut memotong rumput-rumput yang panjang, lalu mencoba bicara.

"Mbak .... "

"Apa?" sahutnya ketus.

"Maaf, ya. Tadi aku main air dulu di rawa, jadi pulangnya telat."

Eva melirik ke belakang, lalu menghembuskan napas berat.

"Lain kali nggak usah begitu. Ibu sama bapak itu sudah susah cari uang. Kamu jangan sampai buat kepala mereka makin pusing."

"Iya, Mbak. Tapi memangnya aku kenapa buat kepala ibu dan bapak jadi pusing?"

"Huft!" Eva berbalik menghadap ke arah adiknya. "Kalau kamu hilang? Emang nggak bikin pusing kepala? Pasti pusing lah kepala ibu dan bapak. Lain kali pulangnya barengan sama Nia, jangan sendirian. Dengar?!"

"Iya, Mbak."

"Niaa!" Eva berteriak.

"Iya, Mbak?"

"Ngapain kamu di dalam? Keluar sini, bantuin Mbak potong rumput!"

"Iyaaa!"

***

Hari minggu, Sari sudah berjanji pada Ratna untuk main ke rumahnya. Sebenarnya gadis yang sudah beranjak remaja itu hanya ingin tahu di mana rumah anak laki-laki yang selama ini ia kagumi. Dia juga sangat ingin melihat wajah kedua orang tua dari Roma dan Romi. Setelah berpamitan pada kakak-kakaknya dan berjanji tidak akan pulang sore, Sari pergi kesana dengan mengendarai sepeda. Gadis itu mengenakan pakaian terbaiknya. Pakaian yang belum lusuh warnanya dan celana jins berbentuk jubray bawah pemberian dari kakaknya yang sudah tidak muat lagi dipakai oleh mereka. Sari telah sampai ia menyandarkan sepedanya ke dinding rumah Ratna.

"Assalamu'alaikum. Ratna! Ratna!"

Tidak berapa lama pintu terbuka. Nampak seorang wanita dengan garis wajah yang sama membuka pintunya. Hanya saja wanita itu kulitnya jauh lebih putih dan bersih. Ia juga lebih tinggi dari Ratna dengan model rambut yang sama.

"Wa'alaikumsalam. Cari siapa, Dek?"

"Ratna ada, Mbak?"

"Oh temennya Ratna. Ada, masuk yuk!"

Sari tersenyum, lalu dengan kikuk masuk ke dalam. Wanita itu mempersilahkan Sari duduk di depan TV. Mata Sari kebingungan melihat isi rumah Ratna. Begitu banyak pintu di sana, karena rumah ini adalah tempatnya kost-kostan para polisi yang kantornya ada di dekat sini. Salah satu pintu terbuka, lalu Ratna berteriak kecil melihat kedatangan temannya.

"Jangan heran, ya! Rumahku ini dijadikan kost-kostan sama ibuku," ujarnya seraya mendekat.

"Oh gitu. Pantes banyak pintu." 

Mereka sama-sama tertawa.

"Duduk di luar aja yuk! Kita naik ke dak atas. bisa ngobrol sambil makan buah jambu air yang ada di sana."

Sampai di luar Ratna mengambil tangga, lalu menyandarkannya ke bagian depan rumahnya. Tepat di depan rumah Ratna ada pohon jambu air yang sangat lebat buahnya. Mereka duduk di dak atas, lalu mengobrol sambil memetik buah jambu sesukanya, karena sebagian rantingnya mengarah dan menjuntai ke sana. Ratna bercerita kalau rumah Roma dan Romi ada di samping rumahnya. Ternyata Sari melewati rumah itu, dan ia sedikit tersenyum setelah mengetahuinya. Ratna juga menceritakan kalau Roma dan Romi memiliki lima saudara, dan mereka berdua adalah anak pertama.

"Eh, bulan depan kita mengadakan kemah di lapangan, samping sekolah. Kamu mau ikut nggak?"

"Kemah dalam rangka apa?"

"Tanggal 14 Agustus kan hari pramuka. Kata Roma, nanti kita berkemah selama empat hari tiga malam. Ada api unggunnya, ada hikingnya dan ada lomba cerdas cermat. Pulangnya dapet piagam dari sekolah dan bisa menambah nilai di raport kelak."

"Oh ya, lomba cerdas cermat itu tanya jawabnya soal apa?"

"Pasti soal pramuka lah. Nanti hari jumat kita dikasih materi sama mereka, dan kita diminta belajar. Akan ada tiga perwakilan dari sekolah kita untuk ini. Bagi yang menang, akan mendapatkan piala untuk sekolah. Kamu mau ikut?"

Sari tersenyum. "Kalau kamu ikut, aku juga ikut dan kita akan bawa pulang piala ke sekolah."

"Wis semangatnya ... aku suka nih! Janji ikut, ya!"

Sari tersenyum penuh keyakinan. Sambil berjabat tangan dengan Ratna dia berkata. "Janji!"