Pulang dari pramuka tanpa sengaja Sari melihat Romi duduk di pinggir jalan dengan seorang wanita cantik. Gadis itu coba mengingat siapa wanita itu, karena wajahnya tidak asing. Ia yang baru saja keluar dari gerbang menghentikan langkah.
"Kenapa, Sar?" tanya Ratna yang menoleh ke belakang karena menyadari Sari tak ada lagi di sampingnya.
"Eh, nggak apa-apa."
Sari tersenyum samar. Gadis itu menunduk, kemudian mereka kembali berjalan beriringan. Ratna menyapa Romi saat melintas di depannya, sementara Sari sesekali mencuri pandang ke arah dua sejoli itu. Ratna bertanya mau naik taksi atau jalan kaki, Sari menjawab mau berjalan kaki saja, mengingat ia tak punya ongkos yang cukup untuk naik kendaraan umum itu. Di jalan wajah Sari terlihat muram. Selain rasa sakit yang ia rasakan pada tulang pipi, ia juga terus terbayang kebersamaan Romi dan gadis tadi.
"Sar."
"Em .... "
"Tau nggak yang sama Romi tadi siapa?"
"Nggak. Siapa itu?"
"Itu namanya Mirna, dia pacarnya Romi. Mereka baru jadian bulan ini. Cantik, ya!" Sari mengangguk, dengan memaksakan diri untuk tersenyum. "Tinggi, putih, pinter pula. Dia selalu jadi juara umum setiap semester."
"Oya?" Ratna mengangguk.
"Romi itu bukan cuma suka sama cewek yang cantik, dia juga suka sama gadis yang smart."
Rasa sedih menyeruak di hati gadis itu, tapi ia berusaha terlihat baik-baik saja di depan sahabatnya. Untuk pertama kalinya Sari melihat kebersamaan Romi dengan pacarnya dan itu cukup menyakitkan. Bertahun-tahun menyimpan rasa, Sari tidak pernah tahu jika ternyata menyakitkan saat tahu, orang yang ia suka sudah menjalin hubungan khusus dengan orang lain.
***
Malamnya, Sari mengompres luka di wajahnya dengan air hangat. Saudara-saudaranya bertanya mengapa ia bisa terluka. Gadis itu mengatakan kalau tidak sengaja terjatuh saat berlarian. Untung tidak ada ibu dan bapaknya di rumah, karena saat itu sedang keluar kota untuk berjualan. Jika ada bisa-bisa telinga gadis itu bisa memerah karena diceramahi oleh sang Ibu, akibat kecerobohannya. Selesai mengompres luka, Sari belajar di meja belajarnya yang sudah reot dengan cahaya lampu remang-remang. Bapaknya sengaja memasang lampu watt kecil untuk setiap kamar, supaya bayaran listrik tidak terlalu besar setiap bulannya. Sesekali gadis remaja itu menguap, karena mengantuk. Eva dan Nia yang melihat adiknya memaksakan diri untuk belajar menyapa.
"Kalau ngantuk tidur, jangan dipaksain," kata Eva.
Sari tak menggubris kata-kata Eva.
"PR sekolah, ya?" lanjut Nia.
"Bukan, belajar biasa."
"Tumben banget. Biasanya kamu belajar kalau pas besok ulangan. Besok kan belum ulangan," lanjut Nia.
Nia dan Eva hafal betul tabiat adiknya. Ia paling malas belajar, tapi rela begadang sampai pagi jika besok adalah ujian sekolah. Mendengar perkataan Nia, Sari tak mau ambil pusing. Ia memaksakan diri memelekkan matanya, lalu kembali membaca dan mempelajari buku yang ada di hadapan. Kedua saudaranya memutuskan untuk tidur tanpa bertanya lebih jauh. Di gendang telinga Sari, ucapan Ratna terus terngiang-ngiang.
'Romi bukan cuma suka sama cewek yang cantik, dia juga suka gadis yang pintar.'
Jam 1.30 dini hari, Sari menutup bukunya. Matanya sudah benar-benar berat. Kantuknya tak bisa lagi ia tahan, akhirnya gadis itu langsung menyandarkan kepala ke meja belajarnya. Ia malas untuk naik ke ranjang bagian atas untuk tidur. Sementara Eva dan Nia sudah mendengkur halus di ranjang bagian bawah. Tekad gadis itu bulat, ia ingin menjadi gadis yang pintar, supaya bisa menjadi salah satu wanita yang disukai oleh Romi di sekolah.
***
Pagi-pagi sekali setelah shalat subuh, Sari kembali membuka buku, yang berhasil menyita perhatian kedua kakaknya. Eva dan Nia sibuk membuat sarapan, sedangkan gadis kecil itu malah sibuk belajar.
"Cuci piring dulu, belajarnya malam aja!"
Nia protes karena melihat cucian piring yang menggunung di dekat sumur.
"Mbak, nanti pasti aku cuci tenang aja.
"Lagian kenapa sih, tiba-tiba berubah. Kemasukan jin pintar kamu?" Kali ini Eva yang bersuara.
Nampak saudara kedua dari empat bersaudara itu sibuk menyiapkan sarapan di meja makan. Sari memilih diam, dia enggan terjadi keributan. Ditutupnya buku, lalu ke sumur untuk mencuci piring-piring kotor.
Sembari berjalan ke sekolah, Sari masih terlihat sibuk membaca bukunya. Nia yang saat itu berangkat bareng adiknya, tak jarang sesekali menatap sang adik dengan tatapan heran. Mengapa adiknya berubah secara tiba-tiba. Sejak SD ia sudah terbiasa mendapatkan peringkat tiga besar di sekolah, rasanya bukan hal yang sulit untuk meraihnya di SMP, tapi kenapa sang adik terkesan 'ngoyo' kali ini. Dalam keluarga mereka, Nia dan Sari yang memiliki kemampuan lumayan, karena mereka berdua sering mendapatkan peringkat dalam kelas, berbeda dengan saudara pertama dan keduanya, yang memiliki kemampuan standar di bidang akademik, barangkali mereka memiliki kemampuan pada bidang lainnya. Saat menyeberangi rawa, Sari sampai lupa melepas sepatu, sehingga ia menerobos begitu saja jalan yang terendam air, yang menyebabkan sepatunya basah. Melihat itu teman-teman lainnya tertawa, sedangkan wajah Sari memerah menahan tangis.
"Makanya fokus! Belajar itu di rumah, bukan di jalan, kalau udah gini gimana? Mana udah jauh lagi dari rumah."
Nia terus saja mengomeli adiknya. Mereka berdua duduk di pinggiran rawa karena ditinggal oleh teman-teman yang lainnya. Lama-lama karena tidak tahan dengan omelan sang kakak Sari menangis. Akhirnya mereka melanjutkan perjalanan, sambil terus memeras sepatu Sari, berusaha mengeluarkan semua air dari dalamnya, dan berharap sepatu yang basah kuyup itu segera mengering.
"Gini ajalah. Nanti sampai sekolah lepas aja sepatunya. Jemur di samping kelas. Bukannya kelasmu paling ujung?"
"Nanti kalau kena marah guru gimana?"
"Bilang aja banjir, terus jatuh nggak sengaja. Rokmu basahin dikit supaya gurunya percaya."
Sampai di sekolah, Sari benar-benar melakukan masukan dari Nia. Ia menjemur sepatu dan kaus kakinya di pagar sekolah, lalu masuk ke dalam tanpa alas. Beruntung meja tempat ia duduk ada di urutan nomor 3 dari depan, sehingga tidak kelihatan jika guru tidak memperhatikan. Pelajaran kewarganegaraan pun dimulai. Masuklah guru yang bernama Aini. Ia menjelaskan di depan kelas. Matanya fokus menatap wajah anak-anak di dalam kelas itu. Sari menyembunyikan kakinya di bawah meja. Ia bahkan duduk lebih menjorok ke bagian dalam supaya tidak terlihat. Sialnya setelah memberikan soal, guru itu meminta tolong pada Sari untuk mencatat di papan tulis. Sari terdiam, kaki telanjangnya berusaha mencari perlindungan, saat Bu Aini menghampiri ke mejanya.
"Sari, tolong catat ini, ya. Dari halaman 22-24. Ini untuk bahan ulangan harian minggu depan."
Sari diam saja, wajahnya tampak pucat pasi.
"Sari, bisa?"
"Bi ... bisa kok, Bu."
"Oke, Ibu tunggu di depan, ya."
"Baik, Bu."
Bu Aini berjalan ke depan lebih dulu, Sari memejamkan matanya takut kena marah. Tiba-tiba Ratna menawarkan diri untuk mencatatnya di depan.
"Permisi, Bu. Bagaimana kalau saya saja yang mencatat ini?"
Bu Aini terdiam, ia menatap Sari dan Ratna secara bergantian.
"Memangnya kenapa kalau saya minta Sari yang mencatatnya. Apakah Sari keberatan hingga meminta Ratna yang menggantikan?"