Chereads / 10 Years Of Feeling / Chapter 2 - Banjir

Chapter 2 - Banjir

Sari hanya menjawab dengan senyuman saat Romi mengajak kenalan. Bermimpi Pun ia tidak pernah, kalau bisa bertegur sapa dengan pria pujaannya, tapi ini malah kenyataan ditegur oleh Romi. Melihat Sari hanya tersenyum Ratna menyikut tangannya. 

"Ditanya kok diem, Sar?" 

Sari gelagapan. Ia langsung berpikir mau menjawab apa. 

"Oh, i ... iya. Aku juga merasa tidak asing dengan wajah Kakak." 

Mereka kembali bicara banyak hal setelahnya. Tidak berapa lama terdengar suara seseorang memanggil Romi dari kejauhan. Anak lelaki yang kini duduk di kelas 2 SMP itu bergegas menuju ke sana. Melihat Sari yang seperti salah tingkah membuat Ratna tersenyum. Saat ditanya mengapa, Sari hanya mengatakan tidak apa-apa. Hari itu kegiatan orientasi berjalan dengan mulus. Sari bisa mendapatkan tanda tangan para senior dengan mudah, karena bantuan dari Ratna. Bersyukurnya saat pembagian kelas, Ratna dan Sari masuk ke kelas yang sama. Mereka Pun memutuskan untuk duduk di satu meja. 

"Which pen do you like, the blue or the red one?" 

Miss Nurmini sedang asik menjelaskan pelajaran bahasa Inggris di depan kelas. Sari dan teman satu kelas nampak dengan seksama memperhatikan, kecuali Roki--anak itu dengan santainya tidur tanpa mempedulikan guru yang bersusah payah menyampaikan materi di depan kelas. Guru-guru sudah bosan menegurnya, tak jarang anak laki-laki itu melawan dan mengajak beberapa guru pria berduel di luar. 

"Oke, sepertinya sampai disini dulu pelajaran kita. Sari, jangan lupa tugasnya dikumpul semua dan bawa ke meja Ibu, ya!" 

"Baik, Bu!" 

Miss Nurmini membereskan meja, kemudian memakai tasnya, setelahnya keluar dari sana. Sari maju ke depan kelas, kemudian meminta teman-temannya supaya tertib mengumpulkan tugas di meja. Satu persatu mereka mengumpulkan buku, kecuali Roki. Anak itu masih tidur dengan nyenyaknya. Selesai mengantar buku ke ruang guru, Sari kembali ke kelas. Sebelum jam istirahat, masuk beberapa senior dan berdiri di depan.

"Assalamualaikum, adik-adik. Kami dari kegiatan Pramuka mengajak adik-adik. Bagi yang ingin ikut kegiatan ekstrakurikuler Pramuka di sekolah, bisa datang besok, hari Jumat jam 2 siang." 

Sari yang baru saja duduk di bangkunya terpaku menatap Romi dan Roma yang juga ikut berdiri di depan kelas. Mereka berpakaian Pramuka lengkap dengan atributnya. Awalnya Sari tidak ingin mengikuti kegiatan apapun, mengingat jarak rumah dan sekolah cukup jauh. Tetapi melihat ada Romi dan Roma di sana, ia jadi ingin menjadi bagian dari kegiatan itu. Rombongan senior keluar dari kelas setelah mengumumkan kegiatan itu. 

"Mau ikut nggak?" tanya Ratna. 

"Nggak tau." 

"Kok nggak tau? Ikut aja yuk! Asik loh ikut Pramuka, ada heking nya, ada api unggunnya kalau pas berkemah, ada juga naik gunung." 

"Ehh."

"Kata Romi, seru banget tau!" Ratna bersemangat. 

"Ya udah, deh. Aku ... ikut." 

Ratna tersenyum, ia langsung merangkul Sari saat terdengar suara bel sekolah berbunyi dua kali, tanda jam istirahat sudah tiba. Ratna mengajak Sari untuk jajan ke kantin. Saat ke kantin mereka melintas di kelas 2.1 di mana kelas Roma berada. Sekilas gadis itu menoleh dan mendapati Roma sedang duduk di kursi bagian depan bersama teman-temannya. Bibir gadis yang beranjak remaja itu tersenyum tipis, ada rasa bahagia sudah melihat pria itu di sana. Padahal yang dilihatnya adalah Roma, bukan Romi, tapi entah mengapa Sari tetap saja merasa bahagia setiap kali melihat pria yang mirip dengan lelaki yang dikaguminya. 

***

"Sari, gimana sekolahnya?" tanya Bu Nur malam itu. 

Sang ibu nampak sibuk mencatat belanjaan di warung sambil mengajak ngobrol putri bungsunya. 

"Baik kok, Bu."

"Nggak ada masalah? Soalnya waktu itu ibu nggak sempet daftarin kamu ke sekolah. Di jalan ibu kepikiran, takut kamu nggak bisa daftar sendiri." 

Sari tersenyum kecil. "Nggak ada masalah apapun kok, Bu. Buktinya, Sari sekolah dan baik-baik saja kan sampai sekarang?" 

"Iya, Alhamdulillah. Kalau ada apa-apa bilang aja sama Ibu." 

"Baik, Bu." 

Sari kembali merapikan barang-barang yang ada di warung ibunya. Sementara ketiga saudaranya, ada yang di kamar, ada yang mencuci piring, dan si sulung Ida sudah bekerja di luar kota, sehingga jarang pulang. Pak Musri--bapaknya Sari terlihat asik membungkusi es yang akan dijualnya besok. Usai membantu ibunya, Sari menuju ke kamarnya. Ia duduk di ujung kasur, lalu menjawil kaki Nia. Menerima perlakuan jahil dari adiknya, Nia menggerutu. Ia berpindah dari ranjang bawah menuju ke ranjang atas, karena ranjang di kamar Sari dua tingkat. Atas dan bawah. Melihat itu Sari hanya tertawa sambil menggelengkan kepala.

***

Pagi itu Sari berangkat ke sekolah bersama beberapa teman dan saudaranya Nia. Semalam hujan deras, sehingga salah satu jalan yang mereka lewati banjir karena posisinya ada di tengah-tengah rawa. Mereka semua melepas sepatu dan kaus kaki, barulah menyeberang satu persatu. Usai menyeberang tidak lupa mereka membilas kali yang penuh lumpur dengan air rawa yang ada di situ, setelahnya kembali memakai sepatu. 

"Mbak, kita kok nggak naik taksi aja sih? Kalau banjir gini kan repot!" Protes Sari masih sibuk memakai sepatu dengan posisi berdiri. 

"Kalau nggak kasihan sama ibu, ya silahkan. Uang saku kita cuma dua ribu, kalau seribu untuk ongkos naik taksi, ya tinggal sisa seribu. Beli soto nasi di warung Mbah Surip aja masih kurang," ketus Nia. 

"Kalau banjir begini kan susah, Mbak." 

"Halah, ini baru jalan berlumpur, bagaimana nanti waktu di akhirat saat kita melewati jembatan sirotol mustaqim?" Sari mendengus kesal mendengar ocehan saudaranya. "Baru segini ngeluh. Mbak udah tiga tahun lewat sini, biasa aja." 

Sari telah selesai. Bibirnya mengerucut karena tidak terima kena ocehan sang kakak. Saat semua orang berjalan, Sari memilih diam, ia malas jalan beriringan dengan Nia. 

"Udah jam berapa ini? Ini ayo cepet!" Sari masih mematung. Nia terlihat kesal, ia mendekati adiknya dan menarik tangan sang adik sedikit kasar. "Cepat!" 

"Ish! Iya, iya! Aku bisa jalan sendiri!" 

Sari melepas tangan Nia, lalu berjalan cepat meninggalkan saudaranya. Melihat itu Nia hanya membuang napas kasar. Sampai di sekolah ternyata semua anak sudah berbaris hendak melakukan senam pagi di halaman sekolah. Sari, Nia dan yang lainnya buru-buru berlari sebelum gerbang ditutup oleh penjaga sekolah. Mereka bahkan tidak sempat meletakkan tas di kelas, sehingga meletakkan tas mereka di sudut halaman, karena takut terlambat. 

"Baris yang rapi! Senam sebentar lagi kita mulai. Ayo, yang biasa memimpin di depan, maju." 

Perwakilan dari beberapa kelas maju ke depan. Sari berbaris di barisan paling belakang, sementara Nia entah di mana. Nafasnya masih ngos-ngosan karena kelelahan berlari. Tiba-tiba seorang anak laki-laki berdiri di sampingnya. Ia juga nampak kelelahan karena terlambat datang. Sari menoleh di saat anak laki-laki itu juga menoleh ke arahnya. Wajah gadis itu merona, malu, karena bertatapan dengan Romi. Senyum manis yang menunjukkan lesung pipi yang dalam menghiasi wajah anak lelaki itu. 

"Temannya Ratna, ya? Telat juga?"