Juli 2001
Dari kejauhan terdengar suara peluit Sari. Sesekali ia berteriak lantang memimpin jalannya latihan gerak jalan di SD Negeri 10. Anak-anak itu nampak kompak mengayunkan kaki dan tangan dibawah teriknya matahari. Peluh dan lelah sudah pasti mereka rasakan, tapi demi mengharumkan nama sekolah mereka rela.
"Berhenti! Gerak!"
Kemudian secara serempak anak-anak berhenti. Mereka berkumpul menjadi satu di halaman sekolah, menunggu instruksi lanjutan. Karena biasanya, jam 11.30 siang mereka diistirahatkan karena menjelang istirahat. Nampak seorang pria bercelana training dan berbaju olahraga berlari kecil menghampiri.
"Yang jadi pemimpin gerak jalannya siapa ini?"
Sari yang berdiri di antara kerumunan anak-anak lainnya segera mendekat. Masih terlihat jelas tetes-tetes keringat yang berjatuhan dan mengalir dari dahi ke wajahnya karena kelelahan. Gadis kecil berambut ikal sebahu itu mengelap keringatnya dengan sapu tangan.
"Saya, Pak!"
Santoso menoleh, lalu memperhatikan gadis kecil itu dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.
"Oh, kamu." Guru penjas itu lalu memperhatikan pakaian yang dipakai oleh Sari. "Tapi tidak pakai baju ini kan untuk lomba nanti?"
Seketika Sari memeriksa seragam putih merahnya. Sejak kelas 1 SD Sari belum pernah membeli baju baru. Ia selalu memakai baju turunan dari saudara-saudaranya. Mengingat 4 bersaudara perempuan semua. Gadis kecil itu baru sadar kalau ternyata seragam yang ia pakai warnanya sudah menguning, mungkin sudah terlalu lama tidak ganti. Baju seragam itu milik saudaranya yang bernama Ida, kemudian turun ke Eva, turun lagi ke Nia, barulah sebagai anak bungsu kini turun ke dia.
"Eh, saya akan usahakan, Pak."
"Beli baru aja, lagian baju ini sudah kuning banget, nggak cocok lagi buat baju sekolah." Pria itu mengalihkan pandangan pada anak-anak lainnya. "Oke latihan hari ini sampai di sini, mulai saat ini saya yang akan melatih kalian karena Bu Purwanti sedang pergi keluar kota, sampai bulan depan."
"Baik, Pak!" sahut anak-anak SD Negeri 10 serempak.
Setelah mengatakan itu Pak Santoso pergi. Sari terdiam, ia kembali memperhatikan pakaiannya. Bulan depan lomba gerak jalan 17 Agustus akan digelar dan semua sekolah sudah pasti mengirimkan perwakilan untuk mengikuti berbagai lomba, termasuk lomba gerak jalan. Sejak dulu ia selalu menjadi pemimpinnya, tapi anak itu pasrah jika tahun ini ia harus digantikan. Sudah pasti Sari tidak akan bicara perihal ini kepada orang tuanya, mengingat orang tuanya kesusahan mencari uang. Ia takut menjadi beban dan membuat orang tuanya bersedih.
"Masuk, yuk!" ajak Royani, sahabat Sari.
Sari mengangguk, kemudian tersenyum samar. Royani adalah sahabat Sari. Ia juga menjadi salah satu anggota yang akan mengikuti lomba gerak jalan ini.
Satu bulan kemudian di pinggiran jalan raya ramai masyarakat menonton jalannya pertandingan termasuk anak-anak sekolah. Mereka menunggu jagoan mereka perwakilan dari beberapa sekolah, beberapa RT dan lain sebagainya. Anak-anak sekolah dasar dan sekolah menengah pertama membawa bendera berukuran kecil, lalu mengibar-ngibarkannya sambil bernyanyi iyel-iyel dari masing-masing sekolah. Satu diantara ratusan anak yang berbaris di pinggir jalan adalah Sari. Wajahnya tetap ceria dan antusias menyaksikan lomba itu, meskipun ia memutuskan mengundurkan diri karena tak memiliki baju yang baru. Posisi digantikan oleh Royani sebagai pemimpin menggantikannya. Anak itu tetap bahagia, toh selama ini ia sudah berjuang mengharumkan nama sekolah dan beberapa kali menang. Kali ini ia menyerahkan tanggung jawabnya sebagai pemimpin pada sahabatnya, Royani.
"SD Negeri nomor 10! Oke oke yes!" teriak Sari dan anak-anak lainnya memberi semangat saat barisan perwakilan dari sekolahnya melintas.
***
"Beli es nya 6 bungkus, ya!"
Sari bergegas melayani beberapa anak laki-laki yang baru saja selesai bermain bola di lapangan yang dekat dengan rumahnya. Karena rumahnya memiliki warung yang kecil, sehingga setiap hari anak-anak itu pasti mampir untuk membeli es dan jajanan ringan.
"Sudah lima, satu lagi siapa?" tanya Sari.
Majulah anak laki-laki mengenakan kaus khusus mendekat ke arah warung. Pria berkulit hitam manis dengan lesung pipi yang dalam itu berdiri di depan warung, sementara teman lainnya sudah menikmati bungkusan es yang mereka terima.
"Punya saya belum."
"Oh, iya. Tu ... tunggu sebentar."
Sari langsung melayani anak laki-laki itu. Ia tak bisa mengatur detak jantungnya yang entah mengapa. Sejak kelas 3 SD, Sari sudah terbiasa memperhatikan anak itu bermain bola di lapangan. Bibirnya sering kali tersenyum dan melompat kegirangan setiap kali anak laki-laki itu berhasil mencetak gol di lapangan.
"Romi, masuk SMP mana?" tanya temannya yang berdiri tak jauh darinya.
"SMP Negeri 1 lah, SMP unggulan. Mamaku tak mau menyekolahkanku kalau tidak masuk ke sana."
"Wih, keren. Aku masuk swasta, karena nilaiku tidak mencukupi."
Sari mendengarkan dengan seksama, lalu memberikan satu bungkus es kepada lelaki yang bernama Romi itu.
"Makasih," ucapnya yang dijawab senyuman oleh Sari. setelah semua membayar, mereka pergi melanjutkan perjalanan untuk pulang. Sari menatap rombongan anak-anak itu dengan hati berbunga.
"SMP Negeri 1? Aku harus masuk SMP itu!" tekadnya seraya tersenyum.
Sejak hari itu Sari terus belajar supaya bisa masuk ke SMP unggulan di mana Romi bersekolah. Ia tak segan bertanya pada ketiga saudaranya jika mendapatkan kesulitan. Hingga test masuk ke sekolah itu akhirnya tiba. Sari dengan penuh percaya diri datang ke sana, lalu mengisi jawaban dengan mudahnya. Ia yakin pasti masuk ke SMP Negeri itu, mengingat selama ini ia belajar dengan sungguh-sungguh. Hari pengumuman pun tiba, Sari sangat bahagia karena dinyatakan lulus dan bisa masuk ke sana. Ia bahkan sangat antusias menyiapkan peralatan sekolah.
"Ini baju mbak masih bagus, nggak usah beli, Ibu nggak punya uang," seloroh Nia saat adiknya sibuk menyampul buku.
"Sepatu Mbak juga masih bagus, udah nggak muat di kaki Mbak," sambung Eva, saudaranya yang nomor dua.
"Tas punya Mbak masih bagus, kan mbak udah tamat sekolahnya." Kali ini Ida yang nyeletuk, saudara Sari yang pertama.
"Oke, makasih mbakku semuanya."
Sari berdiri lalu memeriksa barang-barang pemberian dari ketiga saudaranya. Ia bahagia semuanya masih bagus dan bisa dipakai.
***
Juni 2002
Hari pertama masuk sekolah. Kegiatan orientasi sekolah berlangsung. Siswa-siswi sudah mengenakan pakaian sesuai arahan dari sekolah. Sari menguncir rambutnya dengan tali rafia berwarna merah. Ia juga melingkarkan rangkaian kalung yang terbuat dari tutup botol seperti yang lainnya. Sekilas ia menangkap bayangan tubuh Romi yang melintas di sana, ternyata ia menjadi salah satu senior yang menangani kegiatan ini. Sari tersenyum tipis, lalu menunduk malu.
"Hai, salam kenal, kamu dari mana?" sapa seseorang.
Sari menoleh dan mendapati seorang wanita dengan rambut pendek tersenyum dengannya.
"Hai, aku dari desa Bangun Jaya."
"Oh, lumayan jauh ya! Ke sini naik apa?"
"Jalan kaki."
Gadis itu mengangguk, lalu mengulurkan tangan. "Oh ya, kenalin, aku ... Ratna, dari Gang Ciwaweh nomor 4."
"Dekat ternyata, ya." Ratna mengangguk. "Semoga kita sekelas!"
"Aamiin. Kamu di sini ada saudara?" Ratna lanjut bertanya.
"Ada, kelas tiga namanya Nia. Kalau kamu?"
"Ada, kelas dua, dia juga ikut menangani kegiatan ini."
"Oh, ya? cewek, ya?"
"Nggak, cowok. Namanya Roma dan Romi. Mereka kembar, rumah kami pun bersebelahan."
Sari terdiam, namanya mirip dengan anak laki-laki yang selama ini dikaguminya.
"Hai, Ratna!"
Tiba-tiba seseorang menepuk pundak Ratna yang membuat Sari melongo tidak percaya.
"Hai, Roma! Mana Romi?"
"Ada, lagi ke kantin sepertinya."
Sari menatap Roma tanpa berkedip, dia bahkan mengira kalau anak laki-laki di depannya ini adalah Romi. Nampak Ratna dan Roma berbincang cukup lama, setelah itu Roma pamit pergi dari sana. Ratna heran melihat Sari yang terdiam.
"Kenapa? itu sepupuku, kembarannya Romi."
"Oh, iya." Sari tersenyum samar.
"Kamu kenal?"
"Nggak, aku nggak kenal."
"Kirain kenal, eh itu Romi!" seru Ratna. "Romi, sini!" teriaknya.
Mata Sari melotot tidak percaya. Degup jantungnya seolah melambat, ia tidak menyangka Ratna akan memanggilnya. Dan ia pun tidak pernah mengira akan berteman dengan sepupu dari orang yang selama ini sangat ia suka. Romi datang menghampiri Ratna. Mereka juga berbincang seperti Roma sebelumnya.
"Oh iya, ini teman baruku, namanya Sari."
Romi yang sejak tadi menatap ke arah Ratna, kini beralih menatap Sari.
"Halo Sari." Anak laki-laki itu sedikit menunduk untuk memperhatikan wajah gadis itu. "Kayak pernah lihat, di mana, ya?"