Mayla meletakkan ponselnya di atas meja. Jemarinya memijat pelipis yang tidak berhenti berdenyut semenjak nomor barunya terdeteksi oleh keluarganya di Indonesia. Ratusan kilometer menjauh pun tidak mampu untuk menjauhkan Mayla dari masa lalu.
Tring!
Lonceng kecil gantung yang Mayla pasang di atas pintu berbunyi kencang, perempuan peranakan Cina-Indonesia masuk tergesa-gesa. "May, May." Perempuan itu sampai mengetuk meja kasir di bakeri Mayla berkali-kali.
"Gue denger, Nat. Kenapa sih?" Mayla memaklumi kelakuan sahabat perempuannya ini. Selalu heboh dengan suatu hal.
"Kama…bentar narik napas dulu." Natasya sedikit membungkuk meletakkan kedua tangannya di lutut, menarik napas dalam-dalam, dan menyeka bulir-bulir keringat yang keluar dari pori kulitnya. "Minum gak ada nih? Bengek lari dari tadi."
Mayla berdecak pelan, ia berjalan ke arah dapur. Tempat ia mencurahkan seluruh kreativitasnya untuk membuat berbagai macam kue, sesuai dengan pesanan pelanggan. Mayla membawa segelas air untuk diberikan kepada tuan putri kesayangan mami.
Belum sampai tangannya menyerahkan gelas itu ke Natasya. Preman Surabaya ini mengeluarkan perkataan yang membuat Mayla menjatuhkan gelas ke lantai. "Kama kumat di taman biasa."
"Ya anjir kenapa gak ngomong dari tadi, Sundal!" Mayla melepaskan apronnya, lalu menyambar ponsel dan slingbag-nya dari area kasir. "Buru! Pake minta minum segala lu." Mayla memencet tombol off pada saklar lampu, memutar tanda buka menjadi tutup, dan mengunci bakerinya.
"Lu kesini tadi lari?" Mayla memasukkan kunci tokonya ke slingbag dengan langkah cepat. Kama sialan, kenapa hanya dia yang diberitahu cara menyembuhkan penyakit laki-laki itu. Masih ada dua orang manusia yang gila tapi tidak bodoh untuk menangani penyakit yang suka tidak kenal tempat dan waktu.
"Hooh." Natasya kesulitan mengimbangi langkah Mayla yang berjalan seperti dikejar warga satu kelurahan, padahal tubuhnya lebih tinggi daripada Mayla.
"Ada mobil bukan dipake, otak lu kadang-kadang." Mayla memencet tombol penyeberangan, menunggu dengan gelisah.
"Bangke, anak gue sampe gue tinggalin di taman. Gak jamin gue si Nendra bakal jagain." Natasya mendongak sedikit ke arah lampu merah penyeberangan. Saat tanda orang jalan berubah menjadi warna hijau, Natasya menarik tangan Mayla. Menyuruh satu-satunya penyembuh Kama berlari.
Setibanya di taman setelah 30 menit berlari, Mayla menghampiri Ganendra, sahabat laki-lakinya yang sedang menggendong Issac, anak lelaki Natasya hasil dari perbuatan bejat salah seorang sahabat orang tua Natasya .
Ganendra langsung menunjuk salah satu pohon rindang, yang di bawahnya Kama meringkuk ketakutan.
"Ngapain sih bawa Kama ke tempat rame kayak gini, repot tau gak." Mayla berdecak kesal tetapi melangkah mendekati Kama. Ia berdiri dihadapan Kama, memperhatikan sudah sampai separah apa Kama bereaksi atas penyakitnya.
Mayla berjongkok, meraih kedua tangan Kama, "Ka it's okay, I'm here."
"La…" Alih-alih memanggil Mayla dengan sebutan May seperti orang lain memanggilnya, laki-laki ini punya panggilan lain untuk Mayla. "Tadi Issac nyaris ketabrak sepeda. Gue pengen ngelindungin, malah gue yang diserempet. Gue bego, ya?"
Mayla meringis sebal dengan tingkah Kama, merajuk seperti bocah lima tahun padahal usianya beberapa bulan lagi kepala tiga. "Gak, lo gak bego. Nendra aja yang blo'on, gak bener jagain Issac." Mayla akhirnya hanya bisa mendesah pelan. Menghadapi Kama harus berkepala dingin. Entah sejak kapan Kama yang ia kenal sebagai laki-laki periang, berani menghadapi apa pun, dan selalu menyukai kegiatan menantang berubah menjadi Kama yang lemah, penakut, tidak mampu berbaur dikerumunan, dan mempunyai hobi untuk berjalan tengah malam saat semua orang terlelap dalam mimpi.
"Bangke, gue disalahin. Dia aja yang sok jadi pahlawan, padahal ini jalur emang biasa dilewatin orang naik sepeda." Ganendra dan Natasya menyusul, laki-laki jangkung dengan kulit kecoklatannya tidak terima dengan penghinaan Mayla.
Mayla malas meladeni, dia sedang fokus menenangkan Kama. Tangannya mengusap peluh yang muncul di dahi Kama. "Lo hebat Ka, udah dong cemennya. Nanti muka gantengnya ilang." Mayla memberikan afirmasi positif ke Kama, salah satu cara agar penyakit social anxiety disorder-nya hilang untuk sementara waktu.
Kama menatap netra hitam Mayla, kedua ujung bibirnya tertarik ke atas. Memunculkan senyuman menawan khas Kama.
"Nyengir lo, ada Mayla aja kumat tebar pesonanya." Ganendra menyindir tingkah Kama yang selalu senang dipuji Mayla, pintar mencari sensasi untuk menarik perhatian Mayla.
Kama mengambil ranting kecil di dekatnya dan melempar ke arah Ganendra, sayang tubuh atletis Ganendra sigap menghindar. "Bangsat lo, kalo lo bener jaga Issac gak akan begini kejadiannya. Lo pikir gue gak malu, nangis kayak bocah."
"Nah itu lo tau. Besok-besok jangan drama, please." Kali ini suara Natasya yang berseru. Hanya tiga orang dihadapan Kama yang berani mencela penyakitnya.
"Haa Ka, gue tuh butuh tambahan uang. Harus buka toko biar dikata weekend juga. Kasih tau juga dong ke Nendra sama Nat, gimana cara nanganin penyakit lo." Mayla merogoh satu botol berwarna oranye dari saku jaket Kama. Ia memutar tutup botol ke kiri, mengeluarkan satu pil untuk 'menyenangkan' tubuh Kama. "Kan gue gak bisa terus-terusan di samping lo kayak dulu. Masa gue ikutan nongkrong di meja kerja lo." Mayla mengulurkan tangannya, menyerahkan obat penenang ke pemiliknya. "Kantor Nendra deket sama kantor lo."
"Lo capek La, bantuin gue?"
"Gak gitu, Ka…" Mayla menghela napas, "Lunch, it's on me?" Mayla berdiri, melihat tiga sahabatnya bergantian. Kalau dia harus bercerita tentang masa lalunya, tempat mereka sedang berbicara saat ini bukanlah tempat yang tepat.
Ini tahun kelimanya setelah kepindahan Mayla ke Los Angeles menyusul Ganendra dan Natasya yang sudah lebih dulu kabur dari masalah mereka di Indonesia. Mayla yang awalnya enggan ikut lari diyakinkan oleh Kama untuk ikut bersamanya.
"Gue tau lo capek di Jakarta. Mimpi lo punya bakeri sendiri di Los Angeles masih bisa lo wujudin. Gue gak jadi pindah ke Seattle deh kalo lo ikut pindah. Gue siap jadi babu lo di sana," ucap Kama saat itu.
Ganendra menyalakan pemantik untuk membakar ujung rokok putihnya, "Terus ada cerita apaan?"
Mayla mengadah ke atas, mengembuskan asap nikotin perlahan. "Bajingan mana sih yang ngasih nomor baru gue ke keluarga gue? Dua minggu gue diteror."
Baik Kama dan Ganendra mengedikkan bahu, setelah pindah ke Los Angeles mereka semua seolah lupa dengan masalah yang mereka tinggalkan di Indonesia.
"Jangan-jangan keluarga lo sewa detektif, May?" Natasya menyusul masuk ke area outdoor sembari meletakkan nampan berisi pesanan mereka berempat. Mayla tertawa mendengar ucapan Natasya. Ia melirik ke arah ruangan Indoor. Tempat di mana Issac sengaja di dudukkan di dalam lengkap dengan Nintendo portable, agar bocah itu tidak bosan. Alasannya? Karena ibunya sendiri akan menikmati nikotin bersama tiga manusia yang belum ada niat bertobat dari barang candu ini.
"Uang dari mane? Gue jamin nyokap ngejilat sana sini biar dikasih duit." Mayla sangat tidak bermasalah untuk memberikan uang pada keluarganya tetapi ibu, ayah, dan dua adiknya menjadikan Mayla seperti mesin ATM. Bertumpu pada Mayla untuk urusan modal usaha, arisan, uang sekolah, dan kuliah.
"Terus, lo masih ngelunasin utang Abi ke rentenir?" Kama memutar ujung rokok miliknya ke asbak, mematikan kepulan asap.
"Masih, kan dulu gue yang bego. Semua jaminan ke rentenir atas nama gue. Daripada mereka nyari keluarga gue dan makin panjang masalahnya, mending gue yang tanggung jawab. Sisa dua tahun lagi." Mayla mengambil sepotong kentang goreng dari atas piring. "Makanya Ka, gue gak bisa terus-terusan ngangon lo. Gue harus kerja tiga kali lipat sekarang. Ada keluarga gue, utang Abi, belum lagi cicilan rumah di sini."
"Kita masih tinggal serumah La. Cicilan rumah juga masih bagi dua sama gue. Apa bulan ini jatah lo gue kurangin?"
"Gila, demi Mayla masih bisa ngasuh lu ya." Natasya menggelengkan kepala, "Mentang-mentang baru naik jabatan. Gak sekalian, jadiin si Mayla bini?"
"Emang Mayla mau?" Nada suara Ganendra tiba-tiba meninggi. Natasya menghela napasnya kasar. Mayla hanya bisa tersenyum kaku. Kama menyandarkan tubuhnya ke sandaran bangku, menunggu reaksi Mayla atas pertanyaan Ganendra.
"Ka, lu kan udah fwb-an mulu dari dulu. Emang gak ada partner yang cocok?" Mayla belum bisa membalas perasaan Kama. Dia tau sahabatnya sudah menaruh hati sejak mereka masih duduk dibangku SMP.
"Lah partner yang cocok cuma sama lo, gimana dong?" Kama tidak pernah segan untuk mengutarakan perasaannya pada Mayla. Perempuan yang selalu mampir di ranjangnya hanya untuk penyenang hati sesaat.
"Emang lo berdua ngapain aja?" Ganendra tidak bisa meredam rasa penasarannya. Sama seperti Kama, berulang kali ia berpacaran sampai menikah ternyata hatinya belum berubah. Masih untuk Mayla.
"Kagak ngapa-ngapain, ya. Mabok aja ini anak masih balikin gue ke kamar gue sendiri." Mayla membela diri, tidak ada yang pernah ia lakukan sebatas memeluk Kama.
"Iya tapi diapa-apain sama Abi mau. Disiksa, ditipu, dimanfaatin, lo rela." Natasya sangat berharap Mayla dan Kama bisa menjalin cinta, agar rencananya bisa berjalan lancar. Memiliki Ganendra seutuhnya.
Mayla menunjuk wajah Natasya dengan telunjuknya, "Don't ever mention that name again. Dia udah mati buat gue. Urus masalah lo sendiri. Kita semua di sini kabur dari masa lalu. Pikirin tuh anak lo kalo suatu saat nanya siapa bapaknya."
"Sialan!" Natasya mengumpat sebelum membakar benda kecil yang terselip di antara telunjuk dan jari tengahnya.
—--------------------------------------------------------------
FWB = Friend with Benefit
Social Anxiety Disorder = Social anxiety disorder atau fobia sosial; bisa disebut kecemasan sosial berlebihan. Akan mengalami ketakutan yang begitu ekstrem dalam suatu situasi sosial yang melibatkan performa tertentu.