Chereads / Street of Broken Dreams / Chapter 2 - Housemate

Chapter 2 - Housemate

Gulungan fondant warna-warni, berbagai macam alat ukir kue, kuas, dan pipe bag bertebaran di atas meja besi panjang. Mayla terlalu berkonsentrasi mencetak dan memotong bagian kue yang tidak dibutuhkan, sampai ia tidak sadar ada seorang laki-laki yang masuk ke dapur.

"Bikin apaan, La?"

Mayla menoleh ke arah sumber suara, tersenyum hingga mata besarnya nyaris tertutup. "Tumben amat lo siang-siang kemari." Mayla menyusun potongan kue yang sudah ia buat ke atas stand cake.

"Baru selesai meeting, keinget calon bini pasti belom makan. Makanya gue bawain ini." Kama meletakkan satu paper bag berlogo salah satu fast food terkenal di atas meja kerja Mayla.

"Good job. Gak kumat dong penyakit lo." Mayla hanya sempat melirik tanpa menghentikan kegiatannya. "Come here, I made vanilla sponge cake with swiss meringue and strawberry buttercream." Mayla mencomot salah satu potongan kue yang tidak ia gunakan, mengarahkan tangan kanannya ke mulut Kama. "Enak gak?"

Kama mengacungkan dua ibu jarinya, sedangkan mulutnya sibuk mengunyah.

"Bos lo gak curiga sama penyakit kumatan lo, Ka?" Mayla mengambil gulungan fondant berwarna coklat, lalu mulai menggulungnya dengan rolling pin berukuran sedang.

"Selama ada obatnya sih gak masalah, lo gak tau aja keringet dingin gue tiap diajak meeting. Asli jantung gue mau copot." Menggebu-gebu Kama menceritakan hal yang selalu terjadi setiap ia harus berhadapan dengan orang banyak.

Mayla tertawa kecil mendengar penuturan Kama, setidaknya ia tahu laki-laki ini sudah lebih baik dibandingkan 10 tahun yang lalu, oh, bahkan tiga tahun lalu. Mayla menaruh hasil gulungan fondant-nya ke atas kue yang sudah dibentuk terlebih dulu. Ia ratakan dengan cake smoother, alat untuk meratakan fondant. Tangan Mayla mengambil salah satu alat ukir. Jemarinya sangat lihai membentuk croissant tiruan.

Melihat Mayla tenggelam dalam dunianya sendiri, Kama memutuskan untuk kembali ke kantor. "Gue balik kantor ya, La. Jangan pulang kemaleman nanti."

"Wait." Mayla melepas sarung tangan sintetisnya dan bergerak ke arah kulkas. Ia mengeluarkan sebuah kotak berukuran sedang berwarna toska dengan logo bakeri milik Mayla. "Buat di kantor, jangan lupa kasih ke Jordan. Bilangin makasih udah bantuin jaga sahabat kesayangan gue." Mayla kenal dekat dengan satu-satunya teman Kama di kantor. Mereka sengaja bertukar nomor ponsel, agar bisa saling memberitahu kondisi Kama.

"Widih, keenakan si Jordan. By the way, cuma sahabat kesayangan, La? Gak mau sebut suami kesayangan gitu?" Kama mengeluarkan cengiran jahilnya untuk menggoda Mayla.

"Ntar kalo lo udah keabisan stok cewek buat ditidurin. Baru gue daftar jadi bini lo, ya." Mayla menyerahkan kotak berisi cupcake ke tangan Kama dan mendorong laki-laki itu keluar dari dapur. Pekerjaannya masih bertumpuk, dia butuh uang cepat untuk mengirimkan banyak pundi-pundi ke rekening ibunya.

"Thanks for the lunch, hubby." Mayla menyelipkan satu kata yang langsung membuat kaki Kama lemas.

"Shit, bisa jantungan gue tiap hari lo ngomong begitu." Kama membalikkan badannya untuk memeluk Mayla. "Jangan lupa dimakan ya, Sayang." Tidak lupa Kama memberikan kecupan di dahi Mayla.

Mayla mengekeh, "Jijik lu, Ka. Udah sono balik lu ke habitat orang-orang stres." Mayla mengurai pelukan Kama. Bisa besar kepala Kama kalau dibiarkan menggodanya terus menerus.

"Berarti hari ini jatah gue dapet pijitan dari lo ya." Kama mengacak rambut Mayla sebelum beranjak pergi dari bakeri. Mayla menggelengkan kepala. Setelah keluar dari toko pun, Kama masih sempat-sempatnya membuat tanda 'love' dari uap udara yang ia embuskan ke kaca toko, lalu berucap 'I love you' sembari menunjuk Mayla.

"Heran, masih ada aja cowok modelan begitu." Mayla bergegas kembali masuk ke dalam dapur dan melanjutkan pekerjaannya.

Semakin tenggelam akan kegiatan yang menguras tenaga, Mayla melupakan waktu hingga matahari hilang berganti dengan bulan. Saat Mayla keluar dari dapur, langit sudah menghitam. Lampu-lampu kota menyala terang, kendaraan semakin ramai memadati jalan, dan jam sudah berdetik ke angka 10. Mayla meregangkan tubuhnya, menutup kuapnya karena rasa kantuk menyerang.

Secepat kilat ia merapikan bakeri dan menyimpan hasil karyanya ke dalam freezer. Bekerja 16 jam ternyata tidak pernah cukup. Setiap dolar yang ia hasilkan tidak pernah bisa membuatnya bernapas sejenak dari lilitan tanggung jawab untuk membayar utang serta kebutuhan keluarganya.

Namun, dibalik kesulitan hidupnya, Mayla merasa beruntung ada tiga orang yang peduli akan dirinya. Salah satunya, laki-laki yang masih setia menunggu Mayla pulang, meski ada raut lelah yang tercetak di wajah Kama.

"Kok belum tidur? Kangen banget sama gue?" Mayla menggantungkan kunci rumah, sling bag, dan mantelnya ke gantungan dekat pintu masuk.

Kama menurunkan kakinya dari atas meja ruang tamu, "Udah makan?" Mayla menggeleng. Mana sempat ia berpikir untuk makan, kalau pekerjaan di bakeri sudah menyita waktu dan pikiran. "Ada fish and chips kesukaan lo tuh di meja. Tadi udah gue angetin, lo gak balik-balik. Paling tuh ikan udah balik jadi wujud aslinya."

"Lo angetin lagi, dong. Gue mau mandi dulu, lengket nih badan." Mayla menautkan kedua tangannya, memohon agar Kama mau melakukan permintaan Mayla.

Malas-malasan Kama bangun dari sofa, berjalan ke arah meja makan untuk mengambil sepiring fish and chips yang akan dia hangatkan di dalam microwave.

"Gitu dong, cocok lo jadi suami idaman." Mayla melangkah ke kamarnya, "Makasih banyak Kamandaka Anandara, bangsat kesayangan aku."

"Gak usah pake bangsat. Gue matiin nih air panas kamar lo," teriak Kama sesaat sebelum Mayla hilang dari pandangannya.

45 menit menurut Mayla adalah hal wajar untuk mandi, melakukan perawatan tubuh, dan wajah. Tetapi, bagi Kama itu seperti 450 tahun. Terlebih dengan seenak jidatnya, Mayla menyuruh Kama untuk mengeringkan rambut panjangnya agar perempuan tengil ini dapat menyantap makan malamnya sambil menonton series favoritnya.

"Gila, ada ya perempuan yang setengah mati jatuh cinta sama laki yang bales cinta dia aja kagak." Mayla berkomentar setelah menamatkan satu episode.

"Ya ada, tuh buktinya si Nat. Kurang lama apa ngarepin Nendra balik suka sama dia?" Kama menggulung kabel hairdryer, meletakkan asal di atas sofa. "Makanya La, jadian aja sama gue biar si Nendra ngelirik Nat."

Mayla menaruh garpu di atas meja, memutar tubuhnya menyamping bertumpu pada tangan kanannya di atas sofa untuk melihat Kama. "Kita beresin dulu masalah kita masing-masing. Hidup gue gak tenang dikejar-kejar utang."

"Itu kan utang Abi, lagian keluarga lo masih mampu ngasilin uang. Apa gunanya dua ade lo?" Kama menerjang pernyataan tajam ke Mayla.

Mayla menaikkan tubuhnya ke atas sofa, memainkan rambut kecoklatan Kama dengan jemarinya. "Penyakit lo? Gue tau penyakit ini pasti mulanya dari keluarga lo. Lo gak mau…"

Kama menyentak tangan Mayla dari atas kepalanya, "Penyakit gue gak bakal ilang, lo denger sendiri dari mulut psikiater gue, kan?" Sorot mata Kama berubah gelap penuh amarah.

"Ka, buktinya di sini makin hari penyakit lo bisa dikendaliin. Persetan apa kata itu psikiater, lo bisa berobat di sini." Mayla tidak terpancing dengan emosi Kama. Dia tau laki-laki ini paling tidak suka membahas tentang masa lalu pemicu penyakitnya. Namun, Mayla ingin Kama kembali seperti dulu.

Kama terpaksa tertawa mendengar setiap kata Mayla. Tidak ada harapan untuk menyembuhkan luka yang sudah terbuka lebar. Kalau tidak ada Mayla sebagai obatnya, mungkin ia sudah gila menjalani hidup. "Udahlah, basi ngebahas ginian mulu. Gue mau jalan ke depan. Tidur aja duluan." Kama menjauhi Mayla, berniat untuk bangun tetapi tubuhnya ditahan oleh perempuan yang ikut bergerak naik ke atas pangkuannya.

Mayla mengalungkan tangannya ke leher Kama, "Marah? Gue tinggalin nih." Tanpa aba-aba, Mayla meletakkan kepalanya di tengkuk leher Kama. Bernapas seolah-olah tidak memberikan reaksi pada desiran hebat di tubuh Kama. Bau shampo dari rambut Mayla mengusik indera penciuman Kama. Tangannya mengelus rambut panjang dan hitam milik perempuan yang ia cintai, sedangkan satu tangannya menarik tubuh Mayla hingga menempel pada tubuhnya.

"We are all here for some special reason. Stop being a prisoner of your past. Become the architect of your future, Ka. I'm here for you." Mayla mencium leher Kama dan membenamkan dirinya dipelukan Kama. Dulu cara ini bukan untuk menenangkan Kama tapi untuk menyenangkan Abi ketika laki-laki itu frustasi akan keadaan. Dalam posisi ini, Abi selalu mengucapkan kata cinta pada Mayla. Membiarkan Mayla semakin tenggelam pada hubungan yang tidak sehat karena hal itu tidak akan berlangsung lama. Ketika pelukan Mayla melonggar, Abi kembali melakukan tindakan kasar padanya.

"Ka?"

"Humm?"

Mayla menahan tawanya saat merasakan sesuatu yang menggembung di bawah sana. "Posisi kita bikin batang lo naik?"

"Anjing! Gak usah dibahas." Kama menarik tubuh Mayla keluar dari pelukan berbahaya. "Turun lo ah, doyan banget ngegodain gue."

Mayla menurunkan kedua kakinya dari paha Kama. Kembali duduk di samping Kama, "Tumben lagian udah dua minggu gak ada cewek panggilan keluar dari kamar." Mayla tidak tahan untuk menyindir yang disertai tawa menyebalkan.

Kama langsung berdiri menahan malu, "Tunggu sampe lo yang keluar masuk kamar gue. Tidur lo, gue mau nyari angin." Kama berjalan ke arah pintu keluar rumah, mengenakan mantel, dan sepatu sandalnya.

"Angin dicari, duit lu kumpulin buat kawin."

"Udeh, tinggal nunggu calonnya aja mau gak gue kawinin." Kama menurunkan gagang pintu dan mendorong keluar. "Sweet dream, love."

Mayla tersenyum, "Tunggu ya, Ka. Just wait until my trauma heals," gumam Mayla.