Darah menetes dari dua lubang hidungnya.
Darah keluar dari luka terbuka dipelipisnya.
Bunyi tulang belikat yang remuk.
Memar merah kebiruan tidak tahu berapa banyak lagi menghiasi wajah dan tubuh.
Mulutnya terus merapalkan ampun.
"Udah mukulnya…" Kama 11 tahun mengunci pintu kamar mandi. "Kama tidur di sini aja gak apa-apa."
Kama tersentak bangun dari tidurnya. Mengontrol napas putus-putus karena efek asupan oksigen yang berkurang masuk ke paru-paru. Setiap sel saraf otaknya berkedut, memaksa Kama untuk segera sadar dari mimpi buruknya.
Ada uluran tangan menyeka peluh di dahi dan leher Kama. Menyodorkan satu pil Prazosin, obat untuk meredakan mimpi buruk serta segelas air putih.
"Mayla biasanya ngapain, Ka?"
"Gak ngapa-ngapain, Ce. Udah lebih sering di kamar masing-masing kalo di atas jam 11 malem. Kecuali ada yang belum balik, pasti nungguin di ruang tamu." Kama meletakkan gelas pemberian Natasya di nakas setelah meminum obat milik Natasya yang sama dengan punyanya.
"Terus kalo lo mimpi kayak tadi?" Sungguh Natasya penasaran dengan cara kerja berteman tapi mesra ala Kama dan Mayla.
"Ngirim pesen ke Mayla. Kalo dia belum tidur, diresponnya ada dua." Kama bersandar pada headboard tempat tidur, tersenyum mengingat semua hal yang dilakukan Mayla. "Pertama, dia pasti nanya gue mau gila apa udah gila? Itu kode. Mau gila berarti masih bisa dikontrol, kalo udah gila cuma dia yang paham nyembuhin gue pake cara dia sendiri."
"Emang treatmentnya gimana?" Natasya sampai duduk bersila, bersiap mendengar cerita Kama.
"Kalo mau gila, dia video call. Ngehina gue dulu baru ngobrol apa aja sampe gue tidur. Nah, pas gue bilang udah gila. Dia bawa puppet finger ke kamar gue. Abis itu persis guru TK ke murid, ngedongeng macem-macem. Ada lo, Nendra, mamih, papih, Anya, Kia, Issac, Jordan, dan gue berbagai macam umur." Kama mengeluarkan sesuatu dari saku celananya, satu puppet finger yang mirip Mayla. "Gue suka ngerasa bersalah setelah itu. Mayla cuma tidur paling lama tiga jam, abis itu bikin sarapan, berangkat lebih pagi buat ngejar naik Metro. Setiap mampir ke bakerinya, gak pernah ngeliat Mayla istirahat. Udah dua bulan terakhir Mayla selalu balik jam 11 kurang." Panjang lebar Kama menceritakan tentang Mayla dengan berbagai macam ekspresi.
Natasya bisa melihat seberapa besarnya rasa sayang Kama pada Mayla. Definisi cinta sesungguhnya yang tidak pernah ia dapatkan. "Makasih ya Ka, beberapa hari ini nemenin gue di apartemen. Mayla layak kok lo perjuangin."
"Lebay, gue tau rasanya di datengin mimpi buruk tuh kayak apa. Santai aja, Ce. Tapi, besok gue balik ke rumah, ya. Kalo rumah bedebu bisa abis di gorok Mayla." Baru Kama ingin mengajak Natasya kembali tidur, ponselnya di atas nakas berbunyi. Mata Kama membulat saat tahu siapa yang menghubunginya.
"Ka, udah mau gila apa udah gila?" Mata Kama memanas, terserah mau dibilang cengeng. Laki-laki boleh menangis, kan?
"La, udah mau gila lo gak ada kabar sampe empat hari. Lo di mana? Gue jemput ya." Kama girang bukan main mendengar suara Mayla.
"Gak usah, temenin aja dulu cece. Dia lebih butuh lo. Gue lagi butuh waktu sendiri," hela napas Mayla terdengar begitu menyakitkan di telinga Kama.
"La, are you okay?" Nada khawatir Kama membuat Natasya ikut menoleh. Terakhir kali berbicara dengan Mayla itu berakhir buruk. Mayla tidak bisa dihubungi, bakerinya tutup, dan Ganendra sangat tidak kooperatif untuk memberitahu keberadaan Mayla.
Mayla mengubah saluran phone call menjadi video call yang segera diterima oleh Kama. "La, lo kenapa? Gak lucu, Njir."
Mayla tersenyum kecut setelah melihat posisi Kama saat ini. "Lagi di kamar Cece, ya? Hai Nat, thank you for taking care of Kama. Kebetulan kalo gitu, gue mau ngomong sama kalian." Nampak Mayla berpindah ruangan ke arah balkon yang tidak dikenali Kama dan Natasya serta perbedaan cuaca yang sangat mencolok. Sebelum melanjutkan pembicaraannya, Mayla mengambil sebatang rokok mentholnya dan membakar ujung gulungan nikotin dengan pematik api. "Gue lagi liburan, penat banget kepala nyari duit. Hasilnya juga bukan buat gue. Tadi siang gue nemu tempat yang cocok buat ngembangin usaha gue." Mayla menghisap terlalu dalam nikotin hingga paru-parunya terasa penuh oleh asap.
"Gue mau pindah dari LA ke sini, mau cari suasana baru. Jadi, gue mau kalian…"
"LA!! Gak lucu, liburan kemana lo? Gue samperin," napas Kama kembali memburu, detak jantungnya berdetak lebih cepat.
Mayla menggeleng, "Dengerin dulu. Kalian butuh satu sama lain, ayolah gue udah liat jatoh bangunnya kalian berdua. Ka, cece juga sering dapet mimpi buruk, cukup nemenin sambil meluk dia. Jangan sampe Issac tau mamanya kenapa-napa." Mayla mengalihkan pandangannya ke Natasya. "Nat, puppet finger ada di kamar gue. Besok diambil aja ke rumah…"
"May sumpah gak lucu ya. Lo apa-apaan sih, bilang gak lo di mana?" Reaksi Natasya sama seperti Kama, ucapan Mayla seperti orang ingin mengucapkan kata perpisahaan.
"Ceritain apa pun tentang yang seru. Pake buku cerita Issac juga gak apa-apa. Kalian berdua…" Tidak mengacuhkan perkataan Natasya, Mayla terus mengoceh apa yang harus mereka lakukan.
"La, maaf La. Please pulang gue butuh lo." Tubuh Kama mulai bergetar, pandangannya mulai kabur tertutup oleh genangan air mata. Terulang lagi, Kama kembali kehilangan sandaran hidup. Kama 18 tahun yang lalu kehilangan ibunya saat perempuan itu memutuskan untuk pergi dan meninggalkan Kama seorang diri bersama bapaknya yang tempramental. Sekarang, 18 tahun kemudian. Bukan hanya cintanya tetapi 'obat' penenang untuk Kama juga pergi.
"Kalian berdua harus saling jaga pokoknya. Obat gak boleh ada yang ketinggalan pas pergi. Oya, Nat jangan heran kalo Kama suka jalan tengah malem, dia lebih tenang kalo beres jalan keluar, tungguin aja gak perlu disamperin. Kalian harus menghindar dari pemicu masa lalu pas lagi gak bareng." Pesan Mayla tidak lagi terdengar oleh Kama. Apa yang lebih hancur dari seorang laki-laki yang berulang kali dikecewakan oleh dunia? Kama tertawa kencang mendengar semua ucapan Mayla.
Natasya merebut ponsel Kama dari pemiliknya, "May, ini salah gue. Sampe sekarang Kama ada di sini karena gue. Jangan limpahin marah lo ke Kama, dia gak salah. Lo emang gak sayang sama Kama?"
"Sayang Nat, sayang banget makanya gue yang mutusin keluar dari hidup Kama. Gue gak mau repotin dia lagi."
"Lo repotin gue apa, sih? Cuma bantuin lo aborsi, gak sebesar perbuataan lo yang berulang kali nyelametin idup gue. Please La don't give up on me." Kama benar-benar memohon sekarang. "Pulang La jangan kayak nyokap gue."
"Ka…"Mayla terlihat setengah mati menahan semua perasaan yang tengah menyerangnya belakangan ini. "Makasih ya, Ka. Maaf gue mesti pergi, ada hal lain yang mau gue kejar. Nanti sisa cicilan rumah gue transfer ke rekening lo. Di sana masih jam 12, tidur gih. Take care." Semudah itu Mayla memutuskan apa yang terbaik buat Kama dan Natasya. Tidak memikirkan berantakannya hidup Kama selama empat hari ini tanpa Mayla.
"Gue cabut dulu bentar." Kama menyibakkan selimut, bergegas keluar dari apartemen Natasya. Menjalankan rutinitas seperti biasanya. Berjalan tanpa arah hanya untuk meratapi betapa tidak adilnya Tuhan membiarkan dia masih tetap hidup sampai saat ini.
"Ka, Ibu di sini jagain kamu. Sabar, kita pergi dari ayah secepatnya." Ibunya mengecup kening Kama lembut.
"Gue di sini, Ka. Jangan begitu lagi, ada gue yang jagain. Sabar, kita obatin." Mayla tidak tahu siapa pembuat luka trauma Kama tapi dia tetap menyelamatkan Kama dari percobaan menyakiti diri sendiri.
Kilasan balik bersahutan masuk ke setiap sel saraf otak Kama. Semakin cepat langkahnya untuk mengenyahkan pikiran-pikiran keji yang sangat berani kembali masuk.
"Maafin Ibu, Ka. Ibu udah gak sanggup, gak ada lagi yang bisa Ibu perjuangin." Perempuan bertubuh kurus penuh luka karena selalu membela anak laki-laki semata wayangnya, melepaskan pegangan tangan Kama dari kedua kakinya.
"Makasih ya, Ka. Maaf gue mesti pergi, ada hal lain yang mau gue kejar." Layar ponsel Kama berubah menjadi bentuk pesan setelah dimatikan secara sepihak oleh Mayla.
Kama menghentikan langkahnya, suara-suara sandaran hidupnya memukul dadanya keras-keras. Dia pikir dua perempuan yang berotasi di sekitarnya akan selalu ada untuknya. Sekarang semuanya pergi, Kama tidak tau harus bagaimana. Pijakan hidup, alasan dia berjuang untuk hidupnya meninggalkan Kama untuk hancur.
"Trauma adalah peta topografi yang ditulis pada diri teman kamu dan butuh seumur hidup untuk membacanya." Mayla ingat jelas ucapan psikiater Kama, saat ia bertanya tentang kondisi sahabatnya. Seumur hidup? Mayla tidak setangguh itu untuk menjadi obat penawar Kama. Ada beban masalah yang harus ia selesaikan juga.
"Budapest gak bikin masalah lo beres, kan? Apa sih alesan lo sebegitu marahnya sama mereka?" Ganendra berdiri di dekat pintu balkon, menghampiri perempuan yang menariknya untuk ikut pergi berlibur sekaligus mengecek negara berpotensi untuk mengembangkan usaha Mayla.
"Gue kecewa, Dra. Nat anggep hidup gue sempurna gak ada salah. Kama…" Mayla mengembuskan napas kasar. "Saat gue mulai terbuka untuk dia, gue pikir dia gak akan berani main sama sahabat gue sendiri, sahabat dia. Capek Dra selalu jadi tumpuan hidup orang lain."
"Ck, lo nolak gue mentah-mentah demi cinta lo sama Kama. Sekarang tindakan lo begini, gunanya buat idup lo apa?"
"Cinta itu egois, Dra. Gue balikin sekarang ke elo. Kenapa ngotot banget pertahanin perasaan lo sama gue? Sedangkan lo pernah dapet cewek secantik Ajeng, ada Natasya yang manis plus tajirnya bisa nyeimbangin gaya hidup lo. Kenapa lo malah kasih semua hati lo buat gue?" Mayla menantang Ganendra untuk menjawab pertanyaannya. Hening. Tidak ada jawaban dari Ganendra. "Egois, kan? Lo juga mau hidup lo sempurna gak ada celah untuk dihina. Dapetin semua yang lo mau. Sama, gue juga begitu."
"Berengsek, gak percuma dulu lo ikut eksul Public Speaking. Gak bisa berkelit gue. Siap-siap sono, katanya mau liat calon toko baru." Ganendra segera menyadarkan Mayla akan tujuan utamanya ke Budapest.
—------------------------------------