Kama mengangkat tangan kanannya perlahan dari kepala Natasya yang menjadikan tangan Kama sebagai bantalan untuk tidur. Kerongkongannya terasa kering. Ia bergerak perlahan turun dari tempat tidur agar tidak menganggu tidur Natasya.
"Mau ke mana?" suara serak Natasya menghentikan langkah Kama.
Kama berbalik, "Tidur lagi aja Ce. Gue mau ambil minum ke bawah."
Natasya malah bangkit dari posisi tidurnya, ia bergerak menyusul Kama. "Mau bikin apa sih? Susu? Kayak anak kecil deh, Ka." Natasya terus berjalan tanpa menghiraukan perintah Kama menuju pintu.
"Tau dari mana gue mau susu?" Kama berakhir mengekori Natasya keluar kamar dan menuruni tangga.
"Taulah, insting ibu," ucap Natasya sembari membuka pintu kulkas, mengeluarkan satu karton susu.
Kama menarik salah satu bangku dekat meja dapur. Duduk memperhatikan Natasya yang sedang menghangatkan susu, menaburkan sejumput cinnamon di atas panci kecil.
Kama senang ada Natasya, perempuan ini jauh lebih telaten mengurusnya dibandingkan Mayla. "Lah emang gue anak lo? Pake segala insting ibu."
"Sekarang kan gue punya dua anak. Ngomong-ngomong kemaren gue bales chatnya Mayla." Natasya meletakkan segelas air putih di depan Kama. "Buat lambung dulu, minum."
Kama tidak merespon ucapan Natasya sebelum menyerahkan air putih padanya. "Hubungannya ini air sama lambung apaan, ya?"
"Ih, haus tuh minum air dulu. Susunya nyusul, biar tidur lo pules." Mayla mematikan kompor listrik dan menuangkan susu hangat ke dua mug yang sudah ia siapkan. "Mayla udah balik ke LA, Ka. Ketemu yuk."
Kama membawa mug miliknya, menggeser kursi sedikit kasar hingga menyebabkan suara berderit nyaring. Malas, dia malas membahas Mayla. Percuma punya rasa bersalah tidak jelas kalau ternyata dia lebih memilih Ganendra.
Persetan dengan dua manusia yang mengaku sahabat. Setelah marah tidak jelas, mereka bisa pergi berdua tanpa memberitahunya.
"Lo kenapa sih?" Natasya mengikuti Kama yang berpindah ke sofa ruang tamu. "Kita harus minta maaf yang salah…"
"Bacot Ce. Salah apaan sih? Tuh orang bedua yang harusnya minta maaf. Tau gak lo, si berengsek Nendra kemana?" Natasya menggeleng. "Pergi beduaan sama Mayla! orang yang lo puja-puja jadian sama Mayla!" Kama menyalakan pematiknya kasar berulang kali, emosi setelah mendengar perkataan Ganendra dua hari lalu.
"Hah?"
"Apaan hah? Ganendra kesayangan lo jadian sama Mayla." Kama mengulang lagi ucapannya.
"Joke lo gak lucu." Natasya yang tidak siap mendengar berita itu, menganggap semua perkataan Kama hanya sebuah lelucon belaka.
Kama memilih untuk menyalakan rokoknya dibandingkan merespon ucapan Natasya. Ia juga berharap itu lelucon. Sayang, nada suara Ganendra dan Mayla terdengar tidak seperti bercanda. Hebat sekali dua sahabatnya itu, mati-matian ia di sini untuk berusaha hidup tanpa keberadaan mereka. Tanpa kehadiran Mayla, tetapi perempuan yang setengah mati selalu ia perjuangkan, memilih untuk bersama Ganendra.
Kama tidak bisa membohongi dirinya sendiri kalau kehadiran Natasya sebagai pengganti Mayla memang berdampak besar baginya. Natasya sangat baik menjadi 'obat' penenangnya. Mereka bisa saling melengkapi saat ketakutan masa lalu selalu datang. Natasya bisa menjadi teman cerita menyenangkan, baik ketika mereka berbicara maupun saat di ranjang. Kebutuhan jasmani itu bisa dipenuhi oleh Natasya.
Seolah ada Natasya, Kama seperti tidak memiliki masalah yang mengganggu mentalnya. Ia sedikit mudah berbaur di keramaian, begitu pun juga dengan Natasya. Ketakutannya dengan hubungan fisik, perlahan terkikis. Kama memperlakukan Natasya dengan baik, membuatnya tidak lagi merasa seperti barang bekas.
"Ka," tegur Natasya.
"Apa?"
"Jalan yuk ke depan," ajak Natasya.
"Issac ntar sendirian. Gue pergi sendiri aja." Kama berdiri, melangkah perlahan menjauhi Natasya ke arah pintu rumah. Sudah lima hari Natasya dan Issac menginap di rumah Kama. Issac rupanya lebih senang saat menginap di sini. Punya halaman luas katanya. Ia bebas bermain dengan anak anjing yang baru dibelikan Kama. Bisa mengundang Niki, teman sekolahnya untuk bermain di kolam air tiup tanpa perlu risih mendengar ocehan mamanya.
Kama merapatkan mantelnya, perlahan menyusuri jalan setapak. Mendadak titik jenuh muncul melingkupi perasaannya. Bosan pada pekerjaannya, padahal dia baru naik jabatan sebagai Asisstant Senior Video Editor. Bosan dengan penyakitnya, membuat sulit berbaur pada orang-orang meskipun itu di kantor. Ia lebih leluasa berada di ruangan 2x2 nya daripada menyapa teman-teman kantornya. Berkutat dengan berbagai macam video mentah.
Bosan menyimpan banyak rahasia yang ingin dikeluarkan tapi bibirnya selalu kelu.
Ada tangan kecil berkulit putih bersih merangkul lengan Kama. "Jalannya jangan jauh-jauh. Issac gue tinggal sendiri, tapi semua pintu sama jendela udah gue kunci kok."
Kama menoleh. "Jangan suka ninggalin Issac sendirian, Ce. Udah berapa kali lo ninggalin dia demi nemenin gue. Mayla kan udah bilang, biarin aja gue sendiri."
"Issac anak hebat. Lagian dari sini kalo lo jalan gak jauh-jauh, keliatan juga itu rumah. Itu rumah gak gede-gede amat ya, lo bukan selebritis." Tangan kanan Natasya merogoh saku mantelnya mengeluarkan sekotak bungkus rokok yang ia tawarkan pada Kama.
"Ya udah diem aja di sini kalo gitu." Kama menarik sebatang rokok penawaran Natasya.
Beberapa menit berlalu mereka berdua diam dalam keheningan malam. Menikmati sebatang rokok yang menemani.
"Lo kenapa suka jalan malem sendirian, sih?" Natasya bersuara memecahkan keheningan di antara mereka.
"Bille Joe Armstrong."
"Hah?"
"Vokalis Green Day."
"Terus?"
Kama tersenyum sembari menggelengkan kepala. Ada satu tarikan napas dalam sebelum Kama memulai ceritanya. "Cerita hidup gue agak mirip kayak Billie.."
"Dih sapa lo, Ka? Artis bukan kenapa bisa mirip?" Kama menonyor kepala Natasya sebal. "Iya iya lanjutin." Natasya mengekeh sebentar.
"Ya dia juga punya panic attack, setiap penyakit dia kambuh selalu kebangun tiap malem terus jalan-jalan sendiri gak tentu arah disekitar rumahnya. Dulu waktu bokap awal-awal suka mukul, nyiksa gue, gue sama persis kayak Billie, suka kebangun. Takut tiba-tiba bokap dateng terus nyiksa gue lagi."
"Suka mimpi gue lagi disiksa. Gue demen aja jalan sendirian di sekitar komplek rumah. Bedanya gue selalu tau mau kemana. Depan rumah Mayla, berharap Mayla bangun nemenin ngobrol."
"Lagu Boulevard of Broken Dreams jadi satu-satunya lagu favorit gue. Semua liriknya mengintrepretasikan idup gue. Laki-laki yang selalu merasa sendirian, gak jelas kenapa selalu sendiri. Mungkin karena depresi, takut, gak mampu bersosialisasi setelah siksaan demi siksaan dateng. Impian, angan-angan gue rusak karena kejadian di masa lalu."
Kama mengadah, melihat hitamnya langit. "Gue selalu berharap di setiap jalan yang gue lewatin ada orang yang ngerti gue. Sebelum masalah kita, gue pikir itu Mayla. Waktu milih rumah ini, gue nanya ke Mayla. Boleh gak yang semi kompleks, punya jalanan sepi. Untungnya Mayla ngerti, gak pake banyak nanya."
"Street, jalan. Sama kayak jalan di sini berliku-liku. Banyak belok gak tentu arah, sama kayak hidup dan mimpi gue yang berantakan."
Tanpa permisi, Natasya memeluk erat tubuh Kama. Memang tidak ada tangisan tapi terlihat jelas luka di sana. Kama menurunkan pandangannya. Merekuh tubuh ramping Natasya ke dalam dekapannya.
"Gue sayang sama lo, Ka. Kalo bukan Mayla, ada gue di sini." Natasya mendongak, melihat netra coklat Kama begitu dalam. Mungkin ini jawabannya. Dia menyukai Kama.
"Ce, gue ngeri lo jatuh cinta sama gue." Kama membalas tatapan itu, jahil.
"Kalo udah gimana?"
"Yah repot, gue belom siap jadi bapaknya Issac. Siap-siap aja lo nya saingan sama sister Mayla." Kama mengikik, gemas sendiri dengan Natasya.
"Mayla kan udah sama Nendra. Kenapa gue perlu saingan? Emang dua bulan gak nyaman sama gue?" Natasya mengurai pelukannya, sedikit mengambek, tidak siap kalau rasa sukanya bertepuk sebelah tangan, lagi.
"Nyaman pake banget, Ce. Tapi Mayla masih dominasi."
"Dih apa sih hebatnya Mayla semua orang suka sama dia." Natasya bersiap membalikkan badan sampai tangannya ditahan oleh Kama.
"Cemburu kok sama sahabat sendiri? Jalanin dulu, Ce. Gue nyaman kita yang begini. Ayo pulang, gue peluk sampe lo pules deh." Kama merangkul Natasya, tertawa dalam hati. Kenapa lucu sekali percintaan mereka berempat?
Keesokan paginya, Mayla yang tidak mendapatkan respon atas pesannya pada Kama, datang ke rumah. Ia berniat mengambil barang-barangnya. Sungguh bukan pemandangan pagi hari seperti ini yang ia inginkan, melihat Kama dan Natasya turun dari lantai atas sedang berangkulan mesra. Tangan yang sedang membawa sekotak kue dari bakerinya terjatuh, menyadarkan dua penghuni rumah.
"Sorry, sorry gue pikir gak gak ada orang di rumah." Buru-buru Mayla mengangkat kotak yang sudah mengeluarkan isinya.
"May.." Natasya melepaskan rangkulan Kama. Berjalan membantu Mayla memunguti cupcakes tercecer di lantai.
"Tadinya buat kalian, nanti gue kirimin lagi ya." Bohong, sebuah dusta terpaksa Mayla keluarkan. Cupcakes ini niatnya untuk Kama seorang, permintaan maaf Mayla.
Kama berjalan melewati Mayla, mengambil dua gelas di lemari. Menarik teko kopi dari mesin pembuatnya. Menuangkan kopi untuknya dan Natasya. Menganggap kehadiran Mayla tidak ada artinya.
"Eh, gak usah May." Natasya melihat itu, sebuah hubungan baik antara dua sahabatnya hilang begitu saja. Matanya menangkap ketika tangan Kama menyodorkan gelas kopi untuknya dan bergerak mengambil kotak kue yang sudah dirapikan Mayla ke arah tong sampah dapur.
Mata Natasya sangat jelas melihat remasan tangan Mayla menahan suatu emosi. Bergetar, tapi tidak mampu Mayla keluarkan. Natasya memang cemburu pada Mayla, semua perhatian selalu untuk perempuan ini. Namun, bersama Mayla ia seperti menemukan sebuah tempat untuk mengatakan Mayla adalah keluarganya.
"May, apa kabar?" Satu pertanyaan retoris meluncur dari mulut Natasya.
Mayla mengelap tangannya yang kotor terkena frosting cupcakes. "Baik, kalian apa kabar? Gue gak tau kalian sekarang tinggal bareng di sini." Mayla terpaksa mengambil gelas kopinya sendiri.
"Buat apa kita ngasih tau, lo aja pergi dan jadian sama Nendra gak ngasih kabar apa-apa ke kita." Sarkas Kama menohok hati Mayla.
Mayla tersenyum, entah apa artinya yang jelas Natasya tau sahabatnya ini tidak dalam keadaan baik-baik saja.