Chereads / Street of Broken Dreams / Chapter 13 - Debt

Chapter 13 - Debt

Ganendra melempar jas kerjanya sembarang ke sofa, melepas satu kancing kemeja yang menyesakkan lehernya, dan melepas dasi yang selama satu hari ini menambah kesan mewah dari dirinya. Kepalanya penuh kilasan balik suara ibunya tadi, sepanjang jalan pulang.

"Bang, Bunda gak punya pilihan. Masih kurang uangnya buat lunasin utang bulan ini. Laura gak keluar kamar dari tadi siang."

Ganendra meremas setir mobil kencang-kencang. Setelah semua yang ia lakukan selama delapan tahun ini, ternyata laki-laki sialan itu masih terus mengganggu. Semua, yang bahkan sampai ia lebihkan, tidak bisa menjauhkan manusia itu dari keluarganya.

"Bun, Nendra udah lebihin uang ke rekening Laura. Masih kurang apanya sih?" Oh, Ganendra lupa, keluarganya ini juga semakin lama semakin melunjak meminta ini dan itu, yang terkadang tidak sanggup Ganendra penuhi.

"Abang kan tau Bunda sama ayah di sini juga lagi buka usaha. Kamu ikhlas gak bantu keluarga kamu sendiri?" Ikhlas? Kurang ikhlas apa dia dengan mengorbankan banyak mimpinya demi memenuhi semua kebutuhan keluarganya?

"Harus Nendra transfer berapa lagi? Bilangin sama laki-laki itu ya, jangan ganggu Laura atau suruh Laura tinggal di sini ajalah sama aku. Kerja di sini, mau ngapain dia banyak lembur kalo gak dibayar sesuai waktu." Ganendra mengembuskan napasnya kasar. Butuh berapa lama lagi dia terjerat dari masalah yang tidak pernah timbulkan.

"Kamu tuh kok kesannya sombong banget, ya. Lupa dulu kamu dari TK sampe kuliah siapa yang biayain idup kamu? Orang tua minta tolong aja banyak ngeluhnya." Nada suara ibu Ganendra terdengar tidak mau disalahkan.

"Ok sampe apartemen Nendra transfer lagi ke Laura. Minta tolong ya Bun, uangnya dipake bener-bener. Nendra juga ada tanggungan ke Anya dan Kia, gak ke keluarga kita aja." Ganendra berusaha meredam emosinya, jalanan padat tidak membantunya untuk berpikir jernih sekarang.

Bunda Rita, tertawa sejenak sebelum mengeluarkan kalimat sindirannya. "Mantan istri kamu tuh ya, gak tau malu. Udah dia yang minta cerai, kawin lagi. Kok masih bisa-bisanya masih minta uang tanggungan anak sama kamu. Kan dia yang minta-minta hak asuh, emang lakinya gak bisa…"

Ok percakapan ini melenceng terlalu jauh. Ganendra hanya mendengarkan semua ucapan ibunya tanpa perlu menyela. Percuma, semakin melawan yang ada semakin melebar pembahasan yang tidak masuk akal bagi Ganendra. Sambungan telepon ini berakhir, ketika Ganendra menyetujui untuk mentransfer sejumlah uang yang dibutuhkan.

Secangkir kopi espresso dan sebatang rokok putih menemani malam Ganendra di teras rumahnya. Apartemen seluas dan semewah ini percuma ia miliki kalau tidak ada orang yang bisa menemani di saat lelahnya seperti sekarang. Ganendra mengambil ponsel, membuka mobile banking dan menuntaskan kewajibannya sebagai anak sulung.

Berasal dari keluarga turunan Sumatera, Ganendra selalu ditempa untuk menjadi anak sulung yang sempurna. Anak sukses kebanggaan keluarga yang kalau merantau harus berhasil. Ganendra Adhyaksa Bidakara, nama belakangnya pun selalu menjadi bahan celaan tiga sahabatnya. Bidakara, Bank Indonesia Dana Pensiun dan Kesejahteraan Karyawan. Tidak salah memang, karena itu singkatan yang kebanyakan orang tau. Sama persis dengan nama salah satu gedung di Jakarta.

Ayah dan bundanya merupakan pensiunan Bank Indonesia. Sebelum tragedi penipuan investasi properti yang dilakukan oleh sahabat orang tuanya sendiri, Ganendra dan Laura menjadi anak yang memiliki privilege besar. Rumah mewah di bilangan Menteng, lima Asisten Rumah Tangga, tiga sopir pribadi, makanan berlimpah, kulkas yang tidak pernah kosong, tidak perlu pusing memikirkan dana pendidikan, dan sebutkan semua barang-barang branded yang dikenakan para selebriti. Ganendra dan Laura memiliki itu semua.

Sempat tinggal di Surabaya karena pekerjaan mutasi Ayahnya pun, keluarganya masih tinggal di wilayah Pakuwon City Residence. Kawasan orang-orang elit di Surabaya. Hanya saja, dulu Ganendra ingin merasakan sekolah di sekolah negeri. Ia memutuskan mengambil masa SMP-nya di sekolah yang sama dengan Natasya. Itu awal mulanya ia berkenalan dengan Natasya sebelum masa SMA-nya, ia dipertemukan oleh Mayla dan Kama. Kehidupan sosialita memudahkan Ganendra mendapatkan pekerjaan, semudah membalikkan telapak tangan.

Namun, setelah penipuan besar-besaran yang dilakukan oleh sahabat orang tuanya hingga triliunan, membuat roda kehidupan berputar 180 derajat. Bukan karena orang tuanya yang bodoh, tetapi penipu ini sudah menyusun rencana penipuan dengan sangat rapi. Ganendra kesal karena orang tuanya terlalu mudah percaya atas nama persahabatan.

Meminjam uang dari bank pun tidak menutupi jeratan utang yang semakin menumpuk. Semua aset properti, kendaraan, barang-barang mewah, dan simpanan emas milik keluarganya habis dijual dan disita oleh bank. Jangankan untuk berjalan, merangkak saja mereka sudah kesulitan. Ganendra sangat ingat bagaimana jeritan tangis bundanya saat mereka terlihat diusir oleh pihak bank.

Beruntungnya dulu ketika kemewahan itu masih ada, Ganendra dan Laura tidak pernah diajarkan untuk menjadi anak manja yang bergantung pada finansial orang tua mereka. Prinsip dua orang tuanya adalah tidak perlu pintar asal cerdas, pilihan karir kalau tidak mau menjadi PNS ya budak korporat. Karena sekali lagi menurut mereka itu adalah jaminan hidup yang pasti.

Memang pasti, tapi Ganendra punya mimpi untuk membuka usahanya sendiri. Selain menyukai Mayla, ia iri dengan kehidupan perempuan itu yang bisa menyusun mimpinya sendiri. Natasya dengan background keluarga yang tajir melintir pun diizinkan oleh mami papinya untuk menggapai mimpi. Di saat Ganendra sedang menata usahanya sendiri di dalam keterpurukan lilitan utang, seorang laki-laki yang sekali lagi mengatasnamakan teman dekat, datang menawarkan bantuan untuk membayar semua utang keluarganya. Seperti guyuran air segar pada awalnya, namun di zaman modern ini tidak ada yang gratis, teori take and give itu berlaku.

Utang lunas tapi Laura dijadikan jaminan untuk menjadi istri keduanya. Ganendra sampai menggebrak meja saat itu. Menyumpahi laki-laki tua bangka yang tidak berotak, meminta adiknya yang masih duduk di bangku SMA untuk menjadi istri. Cukup dirinya yang menjadi tumpuan tanpa tau kapan harus berhenti, tidak pada Laura. Masa depan adik perempuannya masih panjang.

"Kalau begitu apa yang bisa kamu tawarkan pada saya sebagai ganti adikmu?" Setelah tersenyum sinis, laki-laki itu mengajukan negosiasi pada Ganendra.

"Apa pun asal jangan adik saya. Bekerja menjadi bawahan Anda saya siap, menjadi kacung Anda saya tidak masalah, tapi buang jauh-jauh harapan Anda kalau ingin mengambil adik saya." Tegas Ganendra pada laki-laki hidung belang di hadapannya.

"Aduh Rizal, anak laki-laki kau tuh banyak tingkahnya. Memang dia sanggup kerja jadi anak buah saya?" Laki-laki ini tertawa penuh sindiran.

Ayah diam, bunda menangis, Laura ketakutan. Memang solusi dari Ganendra adalah harapan untuk keluarganya.

"Mau Anda apa?"

Laki-laki itu menggelengkan kepalanya tidak percaya, keras kepala juga bocah ingusan di depannya. "Kamu satu almamater dengan anak saya. Kenal Ajeng Prameswati?" Ganendra merasa tidak asing dengan nama itu. "Menikah dengan putri saya, cicil semua utang orang tuamu setiap tanggal 25. Terlambat satu hari saja, saya tidak segan-segan membawa adikmu dari rumah."

"Dua hari. Paling lambat saya bayar setiap tanggal 27." Ganendra tidak banyak berpikir yang terpenting satu masalah selesai.

"Ok dengan bunga 5% kalau begitu."

Detik itulah semua mimpi Ganendra hancur berantakan. Memang sudah berantakan semenjak kasus penipuan, tetapi kali ini seperti memang tidak ada harapan baginya untuk meraih mimpi. Kepindahannya ke Amerika pun karena paksaan Ajeng yang menyuruhnya bekerja di salah satu negara pemberi gaji karyawan tertinggi di dunia. Ganendra menurut, menjauhi semua kehidupannya di Indonesia untuk fokus terhadap karirnya yang dinilai lebih baik daripada hidup pas-pasan di Jakarta.

Ajeng memang berasal dari keluarga kaya raya, prinsip hidup perempuan ini kalau ada yang bisa menyenangkan hidupnya kenapa harus merasakan kesulitan.

Semua uang dari bapaknya untuk Ajeng, Ganendra bekerja untuk dirinya, Ajeng, dan keluarganya. Gaji besar sekali pun di Jakarta tidak bisa menutupi semua kebutuhan lima orang sekaligus.

Terakhir berlibur ke Makassar bersama tiga sahabatnya, ketika ia mengatakan akan pindah ke Amerika untuk hidup lebih baik memang benar. Di sini hidupnya jauh lebih merdeka tetapi kehidupan masa lalunya tetap mengikuti dengan sejuta harapan yang bertumpu pada Ganendra. Setelah delapan tahun, hidupnya tetap masih menjadi sasaran empuk laki-laki itu.

"Mikirin apa sih, Bi?" Mayla yang baru saja datang membuyarkan semua lamunan Ganendra.

"Mikirin kamu. Cukup gak ya uang buat nikahin artis terkenal?" Ganendra menggoda, perempuan ini seperti angin segar di sela-sela kerumitan hidupnya.

Mayla menoyor kepala Ganendra, "Dibilangin jangan suka ngegombal depan gue ya, Dra. Lagian artis apaan, Nyet? Lo kalo ngomong suka ngada-ngada aja."

"Yasalam dateng-dateng gue ditoyor, dicium kek, dipeluk kek. Ya artis baking sama aja, kan?" Ganendra menarik Mayla agar duduk lebih rapat dengannya.

Mayla menaikkan kedua kakinya ke atas sofa, memainkan rambut hitam sebahu Ganendra yang sudah dilepaskan dari ikatan rambut. "Gue bukan Kim Kardashian, artis dari mananya? By the way lagi pusing gak tuh kepala?"

"Kenapa? Jangan ngomong aneh-aneh, nyokap baru bikin pusing."

"Masalah duit lagi?" Ganendra mengangguk lemah. Memang masalahnya hanya duit. Mayla menurunkan kepalanya ke atas paha Ganendra, berbaring menatap hitamnya langit. "Gue mau balikin duit-duit lo yang buat bikin bakeri di Budapest. Gue gak yakin bisa setelah kejadian Abi kemarin."

Ganendra menunduk, tanpa aba-aba dia menyentil dahi Mayla berkali-kali. Otomatis Mayla langsung terduduk mengerang kesakitan sembari mengelus dahinya. "Aw!! Sakit goblok, apaan sih, Dra."

"Lo yang apaan. Mau sampe kapan masalah Abi ngehalangin mimpi lo, Njir? Bodo amat, gak bakal gue terima tuh duit balik. Perjanjiannya, lo balikin itu uang dalam bentuk keuntungan toko, ya." Ganendra meraih kotak rokoknya, berdecak kesal mendengar alasan dari Mayla.

Mayla merebut rokok yang hendak dinyalakan Ganendra, "Lo sayang gak sih sama gue? Kalo itu manusia dateng terus nyiksa gue lagi gimana?"

"Gak bakal, lo lupa sama surat perjanjian yang dia tanda tangan?" Ganendra mengambil sebatang rokok lainnya di dalam kotak, ia segera menyalakan sebelum direbut lagi oleh Mayla. "Udah deh May, mood gue lagi jelek jangan nambah-nambahin masalah."

Mayla menghela napas. Ia menyalakan rokok di tangannya. Bukan waktu yang pas untuk ia membahas masalah dirinya sekarang pada Ganendra.

"Dra, ada masalah apa lagi di rumah?" Saat ini fokusnya harus ke Ganendra. Mempersilakan laki-laki ini untuk mengeluarkan semua beban pikirannya.