Langkah kaki yang sedang berlari di atas mesin olahraga, terdengar semakin kencang saat Ganendra menaikkan kecepatan treadmill hingga batas nyaris maksimal. Dengan berlari ia bisa mengalihkan segala masalah pelik yang kembali membelitnya. Tidak pernah ia menyangka, kalau keluarga yang selalu dibela dan diurusnya setelah kejadian sembilang tahun lalu, bisa berubah menjadi keluarga yang menyebalkan.
Dia hanya ingin dimengerti, padahal masalah utang piutang yang membuat keluarganya terpuruk sampai merangkak pun sulit, bukan salahnya. Salah kedua orang tuanya terlalu percaya kepada temen mereka.
Ganendra menurunkan kecepatan treadmill, ia meraih tumblr dari cup holder di pegangan treadmill. Bukan smoothies yang ditenggaknya, hanya berisi americano. Damn, dia butuh asupan nikotin saat ini. Ganendra menyelesaikan aktifitas olahraga paginya. Handuk yang ia letakkan di sofa bergetar karena ponsel Ganendra di bawah handuk berbunyi nyaring.
"Ke taman biasa sekarang, Njing!"
Ganendra memutar bola matanya kesal, "Gak usah unjang anjing. Gue sibuk mau ngapain sih?"
"Mayla lo umpetin di mana?" suara protektif Kama terdengar penuh amarah. Tidak bisa menyalahkan, setiap Mayla ada masalah di antara mereka berempat. Tempat pelariannya pasti Ganendra. Paham kan, kenapa perasaan terhadap Mayla tidak bisa begitu saja Ganendra hilangkan. Ada Mayla yang selalu ingin ia lindungi.
"Emang gue LAPD, laporan orang ilang larinya ke gue? Mana gue tau, Mayla gak ada hubungin gue." Ganendra memilih untuk bersikap netral. Bukan salah dia kalau Mayla tidak bisa terdekteksi oleh radar Kama.
"Dra, ke taman sekarang. Ini semua karena lo." Setelah ponsel Kama direbut, suara Natasya menjadi penanda berakhirnya sambungan telepon tidak jelas pagi hari ini. Ganendra sedang malas berurusan dengan masalah pelik sahabat-sahabatnya ini. Tangannya secepat kilat membuka aplikasi pesan, mengetuk nomor Kama.
"Gue males ke taman. Lo bedua aja ke apartemen gue, buru jangan pake lama. Ada meeting jam 10."
Seen
"Banyak alesan lo berengsek!"
Seen
Ganendra melempar ponselnya ke sofa setelah membaca pesan balasan dari Kama. Lihat? Bukan hanya keluarga, dua sahabatnya ini pun menyalahkan dia. Lagi-lagi, bukan karena salahnya.
Ganendra mempersiapkan dirinya sebelum adu mulut dengan Natasya dan Kama. Bukan dengan membasuh seluruh tubuhnya yang sudah banjir keringat, tetapi dengan sarapan. Makanan, kopi, dan rokok adalah paket lengkap untuk selalu membangkitkan gairahnya menjalani aktifitas sebagai 'budak korporat' di Oaktree Capital Group LLC, sebuah perusahaan ekuitas swasta terbesar dan paling terkenal di Los Angeles. Fokus utama perusahaan ini adalah industri hiburan dan media. Ya, Los Angeles kota terbesar kedua di Amerika. Posisi kota pasifik ini menjadi jalur pusat keuangan, terutama industri hiburan yang bernilai milyaran dolar.
Apakah Ganendra senang? Tentu saja, Penthouse 40 adalah sebuah apartemen impian bagi orang Amerika. Gaya hidup mewah dan eksklusif ada di apartemen ini. Ganendra bisa melihat seluruh kota Los Angeles. Ada tiga kamar tidur, empat kamar mandi, perpustakaan, dan teras balkon yang luar biasa luas.
Bukan tanpa alasan Ganendra membeli apartemen ini. Dulu, lima tahun lalu, ada seorang istri dan dua anak yang menjadi tanggung jawabnya. Lalu mereka ke mana? Kembali ke Indonesia setelah Ganendra setuju untuk membubuhkan tanda tangannya di selembar kertas. Senang karena mampu memenuhi hidup eksklusifnya tetapi tetap ada rasa kosong saat ia sendiri di apartemen ini.
Bunyi interkom apartemen Ganendra berbunyi, ada panggilan dari meja resepsionis. Ganendra mematikan kompor listriknya sembari menjilati ujung ibu jari dan telunjuknya yang terkena saus hollandaise. Ia bergerak ke dekat pintu masuk dan memencet tombol accept.
"Mr. Adhyaksa there are two people down here. Do you expecting guests?"
"Yes, let them in."
Tak berapa lama bunyi bel unit apartemen Ganendra berbunyi. Ada dengusan terusik keluar dari mulut Ganendra. Baru ia membuka pintu, tatapan kesal juga terlihat dari dua manusia yang berdiri, menatap Ganendra dengan tatapan heran.
"Lo katanya mau meeting jam 10, ini udah jam delapan kurang tapi belum siap-siap juga. Makin jago ngibulin orang." Natasya mendorong pintu lebih lebar agar bisa masuk tanpa perlu dipersilahkan masuk.
"Yahh ketauan deh gue bo'ong. Lagi males sebenernya ketemu lo berdua. Mau apaan aja, ambil di dapur. Gue mau nelpon Ajeng." Ganendra mengambil piring berisi sarapannya, ponsel yang tergeletak di sofa lalu berjalan menuju teras balkonnya.
Ia membuka kaus tanpa lengan dari tubuh atletisnya. Menampilkan dada bidang serta perut yang terbentuk enam kotak. Ganendra membuka kontak telepon dari benda pipih di tangannya. Mengetuk satu nomor bernama 'mantan bini'. Semoga perempuan ini belum tertidur, mengingat Jakarta sudah pukul 10 malam dengan perbedaan waktu 14 jam.
"Hai Dra, kenapa baru nelfon? Anya sama Kia udah tidur," suara manis yang pernah singgah menggantikan posisi Mayla, masih terdengar begitu merdu ditelinga Ganendra.
"Terus kenapa kamu belum tidur? Abis bikin project anak baru?" Iya, Ajeng, mantan istrinya sudah menikah lagi dua tahun setelah mereka resmi bercerai.
"Gak, aku masih nunggu dia pulang." Ganendra tertawa setelah mendengar jawaban Ajeng. "Why? Funny? Setidaknya Satya gak kayak kamu, pulang malem karena masih nongkrong sama gebetan dan temen-temennya." Ah benar, Ajeng sangat membenci tiga sahabatnya bahkan dulu saat pesta pernikahan mereka. Kama, Mayla, dan Natasya sengaja tidak diundang oleh Ajeng. Hanya Ganendra yang menyampaikan berita bahagia itu pada tiga orang sinting yang habis menghinanya selama dua bulan penuh.
"Chill sayang, tau kok Satya sejuta kali lebih sempurna dibandingkan aku." Nope, Satya di bawah standar Ganendra. Ia hanya ingin menyenangkan telinga Ajeng. "Jadi aku perlu transfer berapa? Uangnya buat Anya dan Kia ya, not for your second honeymoon di Maldives." Ganendra menahan tawanya agar tidak pecah. Bersama Ganendra, perempuan ini bisa memenuhi hasrat liburan mewahnya tanpa perlu takut kehabisan uang.
"Dra, Satya masih mampu ya buat bawa aku liburan."
"Really?" Ganendra menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. "Aku lagi baik nih, kemaren baru dapet bonus. 50 juta cukup kan? Masih ada sisa buat kalian liburan ke Singapore lah."
Natasya dan Kama yang baru muncul, saling memandang. Tidak percaya dengan apa yang baru mereka dengar. Nyaris, Kama menyiram Ganendra dengan kopi panas dari cangkir yang sedang digenggamnya kalau tidak ingat peliknya berurusan dengan Ajeng.
Ganendra memutuskan sambungan teleponnya dan bergulir ke mobile banking untuk mengirimkan sejumlah uang yang telah diminta oleh orang-orang di Jakarta. Baru Natasya ingin berbicara, tangan Ganendra menahan agar perempuan itu tidak berbicara dulu. Ia kembali menghubungi Laura, adik perempuan Ganendra.
"Bilang ke nyokap, 300 juta yang dia minta udah gue transfer ke rekening bokap." Dan, semudah itu Ganendra mengeluarkan 350 juta dalam sepersekian detik.
"Lo gak cape idup kayak gini terus, Dra?" Kama benar-benar tidak percaya dengan aksi sinting yang baru saja dilakukan Ganendra hanya untuk mantan istri yang sudah bersuami dan satu keluarga yang masih mampu menghasilkan uang.
Ganendra menyuapkan sarapannya, "Gak dong. Kan kayak cece bilang ke Mayla. Kalo gue dan dia gak kayak kalian yang punya sejuta masalah. Idup gue sama May lurus-lurus aja."
"Bangsat! Berarti lo udah ketemu Mayla, kan? Di mana lo umpetin dia?" Kama geram mendengar jawaban santai Ganendra yang masih sibuk dengan makanan di depannya.
"Cerita aja dulu, kenapa pacar baru lo bisa ngomong gitu ke Mayla." Enteng sekali bukan reaksi Ganendra. Ya, karena dia memang tidak peduli, bukankah ini malah memudahkannya untuk mendapatkan Mayla?
"Dra jaga mulut lo, ya. Gue sama Kama gak ada hubungan apa-apa." Natasya ikut keki, ada ambang kesabarannya yang tidak tahan akan sikap Ganendra.
"Ada juga gak apa-apa. Cerita aja Ce, gue beneran abis sarapan mau cabut ke kantor." Ganendra masih santai menjawab, menunggu cerita dari dua manusia yang sudah membuat Mayla-nya carut marut sejak kemarin. Ganendra menikmati sarapan paginya dengan tenang. Sambil sesekali menyeruput kopi. Makanan dan kopi kombinasi terbaik untuk menjadi 'obat' pelariaan Ganendra dari semua jenis masalahnya.
Kurang lebih 20 menit Kama dan Natasya bergantian menceritakan apa yang sudah terjadi. Hingga ucapan Natasya berikutnya membuat Ganendra tersedak kopinya sendiri.
"Aborsi? Wah setan lo, Ka. Bajingan juga lo simpen ini masalah sendirian." Ganendra menahan diri agar tidak menghajar wajah Kama. "Tai emang lo bedua, trauma aja jadi senjata. Inget apa pengorbanan Mayla buat kita semua dan beraninya lo Ce nuduh Mayla gak punya beban apa-apa. Siapa yang ngurus Issac sampe lo mau anggep dia sebagai anak kandung lo." Benar, semua ucapan Ganendra benar.
Mayla satu-satunya di antara mereka bertiga yang mau bersusah payah mengurus semua masalah hidup tiga sahabatnya. Selalu penjadi penenang untuk Kama ketika penyakitnya kambuh. Ibu kedua bagi Issac saat Natasya mengatasi traumanya. Teman pendengar dan penyemangat untuk Ganendra, ketika laki-laki itu terjebak dengan masalah utang keluarga dan kehancuran rumah tangganya.
Ganendra tidak mengatakan apa pun lagi, sudah cukup mendengar apa yang terjadi dari pihak Mayla serta pihak Natasya dan Kama. Ganendra segera bangkit untuk bersiap pergi ke kantornya. Ia akan menyelesaikan urusan kantor secepat mungkin sebelum mencari jawaban tentang kasus aborsi Mayla.
Ganendra orang yang mampu memisahkan antara pekerjaan dan urusan pribadi. Ia akan tetap bersikap profesional, meskipun kepalanya penuh dengan Mayla. Tepat pukul lima sore, setelah melewati badai kepadatan kota Santa Monica. Ganendra tersenyum lega melihat perempuan yang tidak pernah memiliki rasa lelah, sedang bergoyang mengikuti musik latin dari penyanyi favoritnya, Sebastian Yatra.
"Udah sembuh, May?" Ganendra menghampiri Mayla di meja dapur apartemen Mayla. Oh ya, Ganendra boleh bersenang hati. Hanya dia yang tau tentang apartemen ini. Walaupun masih menyewa, setidaknya Mayla punya tempat untuk dirinya sendiri. "Kerja mulu lo, bingung ntar ngabisinnya." Bukan tanpa sebab Ganendra menyindir, meja dapur sekarang berantakan karena aksi Mayla menyulap sebuah kue menjadi bentuk koper tiruan.
"Beban setan di pundak gak mau ilang-ilang nih. Ngelamar di kantor lo aja apa, ya?" Mayla cengengesan menanggapi ucapan Ganendra.
"Boleh, makin sering deh gue ketemu lo." Ganendra menarik bangku agar bisa duduk di samping Mayla. "May, kenapa gak jadiin aja anak lo sama Abi?"
Pertanyaan Ganendra membuat tangan perempuan itu berhenti mewarnai fondant-nya. Embusan kasar keluar begitu saja. Sudah menduga, pasti Natasya dan Kama sudah bercerita tentang rahasia kotornya itu."Takut. Kasian kalo nurun kelakuan bapaknya." Mayla tertawa kaku, "Kalo gue jadiin pasti lucu ya kayak Anya dan Kia." Mayla menoleh ke Ganendra, perasaan bersalah menghilangkan nyawa anaknya masih bersarang dihati Mayla.
Ganendra menarik tangan kanan Mayla, menggenggam lembut tangan perempuan yang selalu menjadi nomor satu untuknya. "Kenapa cuma manggil Kama? Kenapa gak cerita ke gue, May? Lo cuma sayang sama Kama, ya?" Mayla hanya diam sambil menatap mata Ganendra intens.
"Secantik-cantiknya Ajeng, semanis-manisnya Natasya. Gue cuma sayang sama lo, May. Gak ada kesempatan buat gue? Lo gak sayang sama gue?"
Mayla tersenyum, menarik tangannya keluar untuk membelai rambut hitam Ganendra, "Sayang kok."
"Terus?"
"Tapi Kama yang ngobatin luka gue dari Abi." Mayla menubrukkan tubuhnya untuk memeluk Ganendra. Meski awalnya enggan membalas, nyatanya kedua tangan Ganendra bergerak untuk merapatkan tubuhnya ke Mayla.
15 tahun Ganendra selalu mengalah, dan memang dia sudah kalah bahkan sebelum berlari dari titik awal untuk mendapatkan hati Mayla.
—----------------------------------------------------------------------------
Perusahaan Ekuitas Swasta adalah perusahaan investasi yang berupaya mengambil alih dan mengendalikan perusahaan target untuk mendapatkan potensi pengembalian tinggi. Perusahaan ini mengubah perusahaan-perusahaan target tersebut menjadi perusahaan swasta dengan tujuan menjalankannya dengan baik dan kemudian membawa mereka ke publik atau menjualnya dengan untung.