Seseorang tergeletak dengan tubuh yang sudah berlumuran darah. Dia belum sepenuhnya kalah, tubuhnya masih berusaha untuk bangkit, dengan mulut yang terus berkomat-kamit. Dengan cepat, pemandangan itu membuat langkah seseorang bergerak mendekat. Tangan itu mengangkat kepalanya, membiarkan pakaiannya ikut basah karena cairan berbau amis.
"Aku bakalan bawa kamu ke rumah sakit. Tolong bertahanlah!" pintanya.
Sekuat tenaga dia berusaha mengangkat tubuh itu, tetapi gadis dalam dekapannya hanya bisa menggeleng. Dengan tenaga yang masih tersisa, gadis itu menahan lengannya, berusaha untuk menahan. Dia menggeleng pelan. "Aku baik-baik aja, Ersha."
"Bodoh, siapa yang bisa mengatakan hal itu dengan keadaan seperti ini," timpal Ersha.
"Aku tahu ini sakit. Jangan berbohong, biarkan aku membawa kamu, ya. Aku akan mengobatinya."
Tangan itu kembali menahan Ersha, seakan dia tahu kalau apa yang akan dilakukan Ersha hanya akan sia-sia. "Alvaro," lirihnya.
"Siapa, El?"
"Alvaro," ucapnya lagi dengan sisa tenaga.
Alvaro?
Siapa Alvaro?
Ersha berpikir sejenak, di saat itu tiba-tiba tubuh Elysia terasa ringan. Ersha tahu apa yang terjadi saat ini, dia hanya bisa menahan air matanya yang hendak jatuh, lantas mencoba untuk tidak terisak.
Ersha tidak pernah suka menangis. Dia tidak suka terlihat lemah di depan siapa pun. Walaupun kini, kekuatannya telah pergi. Elysia, saudari kembarnya sendiri kini sudah tidak ada. Siapa lagi yang bisa memahami Ersha sekarang?
"El, bangun!"
"Elysia!" teriak Ersha dengan air mata yang mulai membasahi pipinya.
Tangannya gemetar memeluk Elysia yang sudah tidak lagi bergerak. Cairan merah itu tidak berhenti keluar, membuat tubuh Elysia terlihat pucat. Ersha tidak tinggal diam, dia dengan sekuat tenaganya memangku tubuh itu. Berlari meminta pertolongan. Sayangnya dia berada di sebuah bangunan tua, yang mana jarang sekali orang lewat ke sana.
Keringat mulai bercucuran. Rasa lelah tidak membuat Ersha menyerah. Dia berusaha membawa kembarannya itu pergi. Berharap akan ada orang yang mau membantunya menyelamatkan Elysia.
"Queen!"
"Queen ...." Seketika mata bulat itu terbuka, tubuhnya sudah basah karena keringat.
Dia seperti seseorang yang baru sampai di garis finis, setelah mengikuti lomba lari maraton. Bukan. Tentu saja tidak demikian. Ersha terbangun dari mimpinya. Apa yang terjadi barusan adalah mimpi yang selalu menghantui Ersha selama ini. Sebuah kenyataan yang selalu terjadi dan menghantui tidurnya.
Ersha duduk dengan lemas, dia mengambil sebotol minuman dan menenggaknya. "Kenapa membangunkanku?"
"Maaf, kami hanya ingin menginformasikan kalau ada orang yang tengah mencari Anda."
"Siapa?" Laki-laki berpakaian serba hitam itu mendekat, dia memberikan amplop cokelat pada Ersha.
Tangan Ersha bergerak, mengisyaratkan agar orang itu keluar dari ruangannya. Ersha bangkit, dia mulai membuka isinya dan mendapati sebuah foto, juga beberapa potret aktivitas yang dilakukan orang tersebut.
Jantungnya mulai berdegup kencang saat dia melihat informasi mengenai orang tersebut. Seketika kepalanya menjadi pusing, semua bayangan mengenai apa yang terjadi pada kembarannya membuat tubuh Ersha melemas.
Namun, dia berusaha untuk tetap berdiri tegak dengan tangan yang kini meremas amplop informasi tersebut. Dia mengingat bagaimana tubuh Elysia digenangi darah. Banyak luka dan fatalnya, dokter mengatakan kalau kehormatan Elysia pun sudah direnggut secara paksa oleh pelaku. "Apa dia datang untuk mati?" tanya Ersha.
***
"Bodoh! Mana mungkin kalian tidak menemukan jejaknya sedikit pun. Kita datang untuk menghancurkannya!" seru seseorang yang tampak kecewa dengan kinerja anak buahnya.
Sekitar lima laki-laki bertubuh besar hanya bisa menunduk. Mereka memang tidak mendapatkan bukti apa pun. Mereka sudah berusaha sebisa mungkin, tetapi apalah daya, kemungkinan besar orang yang mereka cari cukup berkuasa di sana.
Plak ....
"Katakan apa kalian sanggup mencarinya atau tidak?!"
"Tuan, kami akan berusaha untuk ...."
"Untuk apa? Cepat cari sekarang atau kalian akan saya pulangkan!" ancamnya.
Ancaman itu cukup membuat mereka bergerak pergi. Tidak ada yang bisa membantah perintah seorang Alvero Rumi. Dia seseorang yang siap menghabisi siapa pun yang menolak keinginannya.
Alvaro datang ke Indonesia untuk mencari seseorang yang kini tengah menjadi perbincangan dunia bisnis ilegal. Seseorang yang menjadi pesaing dalam diam, tetapi mampu menguasai berbagai penjualan.
Tidak ada yang tahu siapa dia. Informasi yang didapatkan Alvaro, kalau orang tersebut merupakan pemimpin dari kolusi baru yang didirikan di Rusia. Dia kini mulai menguasai perdagangan di Indonesia, Black Bloody Rose. "Dasar brengsek, kenapa bisa-bisanya dia tidak bisa tercium seperti ini."
Alvaro berjalan keluar apartemennya. Dia baru datang beberapa hari, tetapi sudah dibuat frustasi dengan cara kerja anak buahnya sendiri. Tidak bisa tinggal diam, Alvaro bukan orang yang akan menerima hasil begitu saja. Dia akan berusaha sendiri menaklukan pemimpin kolusi itu dengan tangannya sendiri.
Kini dia kembali masuk, menatap dirinya di cermin. Sorot mata tajamnya kini berubah sendu, iris mata birunya seketika berubah menjadi cokelat terang. Seperti seseorang yang bisa mengubah dirinya. Senyuman pun tercipta, tetapi tidak manis seperti yang terlihat, justru itu seperti sebuah senyuman malaikat maut.
"Apa kalian siap untuk menjadi penonton?" Alvaro mengubah gaya rambutnya, ya dia hanya menyisir rambut coklatnya itu dengan jari.
"Tuan Alvaro, ada informasi baru mengenai Queen!" seru seseorang yang menarik perhatian Alvaro.
Saat dia berbalik, seketika orang itu menunduk saat dia menatap iris mata Alvaro. Ya, sosok yang kini berdiri di depan orang itu bukan lagi Alvaro Rumi.
"Tuan Saga!"
"Ya. Kau mengenaliku?" Orang itu mengangguk dan pemuda yang dipanggil Saga tersebut hanya bisa tersenyum.
Dia menatap takjub dirinya sendiri dari pantulan cermin. Walaupun itu tubuh Alvaro, tetapi dia sangat menyukai tubuh laki-laki tampan tersebut. "Dia memang sangat tampan," ucapnya sembari menyentuh wajah tampannya sendiri.
"Informasi apa yang kau dapat?"
"Malam ini, pemimpin Black Bloody Rose akan datang ke klub malam."
"Siapkan semuanya! Kita akan berangkat dan menghabisinya!" perintah Saga.
"Apa Anda yang akan memimpin?" Mendengar itu sontak Saga berbalik. Kalimat yang keluar dari mulut anak buahnya, seperti sebuah kalimat penghinaan untuknya.
Apa masalah jika dirinya yang bergerak?
Apa dia meragukan kinerja Saga selama ini?
Tatapan maut yang diberikan Saga membuat pemuda itu menunduk. "Maaf Tuan, Anda jauh lebih baik dari Tuan Alvaro. Maafkan saya!"
"Keluarlah atau kau akan habis!" ancam Saga.
"Tidurlah Al, biar saya yang mengurus semua ini," ucapnya pada pantulan di cermin.
Saga menatap tubuh Alvaro yang begitu sempurna. Namun, dia sangat tahu bagaimana rapuhnya putra Maldini itu. Saga sudah mengendalikan tubuh Alvaro sejak dulu. Sesaat setelah Alvaro berusaha bunuh diri. Saga yang mengambil alih dan membawanya pada situasi seperti sekarang ini. Sosok pendiam yang begitu baik, kini menjelma menjadi laki-laki kasar dan kejam. Semua itu ulah Saga dan Alvaro menjadi korban atas apa yang dilakukan imajinasinya sendiri