Terlihat Ersha hanya menatap mawar putih itu, tanpa dia sadari tangannya justru meremas tangan berduri itu yang membuatnya terluka. Ersha tak menyadari jika lengannya mengeluarkan cairan merah berbau anyir.
Waktu terus berputar, tepat pukul 10 malam suasana di sebuah bangunan tua terlihat ramai. Pertanda jika malam itu ada pertarungan resmi seni bela diri. Yang mana biasanya orang-orang yang ada di atas ring adalah mereka yang memiliki aksi terbaik. Walaupun pertandingan itu diadakan secara ilegal, tetapi tetap saja orang yang mengikuti pertandingan tersebut bukanlah orang sembarangan.
"Menurutmu, dia akan menjadi lawan yang seimbang?"
"Kita belum menyaksikannya, jangan mudah berasumsi. Seakan kau meremehkanku, Janson." Mendengar pernyataan Queen, Janson hanya terkekeh.
Siapa yang meremehkan wanita iblis itu? Tentu saja tak ada. Hanya orang bodoh yang akan beranggapan demikian. Queen sudah terkenal sebagai ratu dari segala arah dunia hitam, dia menguasai semua sisi gelap dalam kehidupan yang memilukan ini.
Wanita itu mengenakan pakaian serba hitam, lengkap dengan topi dan juga masker yang menutupi wajahnya. Tak akan ada yang mengenalinya, selain anak buahnya sendiri yang memang pandai menghirup aroma tubuhnya itu. Orang asing? Tentu saja mereka tak akan pernah bisa mencium sosok Queen.
Dia memang sengaja menonton pertandingan dari kursi paling tengah. Sengaja berada di kerumunan untuk mengelabuhi para musuhnya. Tentunya karena keberadaannya di muka umum adalah makanan empuk para kolega yang ingin menghancurkannya. Kematian Queen adalah tujuan mereka berada di dunia bisnis ilegal semacam ini.
Seseorang mendekati Queen, dia berbisik pada wanita itu, "Alvaro ada di sini."
Queen masih memasang wajah datar, mencoba untuk tak bereaksi. Apa yang diucapkan anak buahnya adalah hal yang sudah dia baca sebelumnya. Aksi ini akan terjadi. Langkah selanjutnya, Alvaro pasti akan mencari Ersha.
"Pakaian Anda sudah ada di toilet nomor 4."
Queen hanya menggerakkan tangannya, memberi isyarat agar anak buahnya itu cepat pergi dari sisinya karena itu akan berbahaya bagi mereka. Queen dan Ersha adalah dua sosok yang berbeda, walaupun keduanya berada dalam tubuh orang yang sama.
"Anda akan tetap seperti ini?"
"Untuk sementara, skenarionya memang seperti ini." Janson yang mengerti pun langsung berpindah tempat. Di kerumunan itu, dia melangkah menjauhi Queen untuk mengantisipasi hal buruk. Walaupun sebenarnya, di sana hampir 40% penonton adalah anak buah Queen. Mereka tentunya tak akan menjadikan pemimpin mereka sebagai umpan yang empuk. Sekuat apa pun Queen, dia tetaplah seorang wanita, dia tetap butuh pengawalan dari mereka semua.
Semua mata tertuju pada Queen, juga pada orang di sekitar yang membuat mereka semua curiga. Aksi paling sederhana adalah melukai Queen di situasi ini dan fatalnya mungkin saja pembunuhan. Hal ini sudah sering terjadi dan tentunya adalah aksi yang selalu gagal terjadi juga. Sebelum mereka menyentuh Queen, maka mereka sudah lebih dulu masuk ke dalam neraka.
Mata Queen hanya fokus pada pertandingan. Dia mengamati bagaimana gerakan pemain di sana. Tentunya Queen mempelajari semuanya dengan detail, itulah yang membuatnya menjadi wanita satu-satunya yang tak pernah terkalahkan di dalam ring. "Apa semua sudah cukup?"
Queen tak menjawab, dia hanya mengangguk, lantas pergi dari sana. Dia pergi ke tempat yang sudah disiapkan, yang mana Queen akan lenyap dan Ersha akan tercipta.
Pakaian serba hitam itu, kini dia ganti dengan pakaian yang terlihat lebih feminim. Lekuk tubuh yang sengaja diperlihatkan itu akan membuat siapa saja menganggap dirinya sebagai seorang bidadari. Ersha memang definisi dari perempuan cantik yang sebenarnya.
"Anda yakin ingin berpenampilan seperti itu?"
Crop top bra berwarna hitam, denim jeans pendek, dan juga blazer lengan panjang. Rambut hitam itu dia urai, di bagian kanannya anak rambut itu dia selipkan di belakang telinga. Tampaknya penampilan itu tak begitu cocok digunakan untuk melihat pertandingan. Namun, jika yang mengenakannya adalah Ersha, maka semua terlihat cocok dan cantik saja.
"Tuan, Ersha berjalan menuju ke sini!" seru anak buah Alvaro.
Alvaro melirik ke belakang, terlihat Ersha berjalan menuju satu kursi kosong di bagian depan. Sepertinya kursi itu memang biasa diduduki Ersha.
"Hei Sa, tumben telat?"
"Abis jaga toko dulu," jawab Ersha sembari melemparkan senyuman manisnya.
Namun, tetap saja siapa saja yang melihat itu akan merasakan hawa dingin dari si cantik Ersha. Perempuan itu sedikit berbeda, dia sangat pandai mengubah ekspresi wajahnya. Dalam hitungan detik, wajah ramahnya bisa menjadi ekspresi paling menakutkan, atau sebaliknya. "Kapan mau coba sama dia?"
"Gue belum liat cara mainnya."
"Alah, lo pasti bisa. Semua musuh, selagi sama-sama makan nasi, bukannya bisa lo abisi?" goda teman Ersha yang lainnya.
Seketika kalimat itu menjadi sebuah lelucon. Ya, mereka semua tahu bagaimana kemampuan Ersha dalam bela diri. Walau terkadang, Ersha selalu merendah akan kemampuannya itu.
Yang dia tahu, hanya bekerja paruh waktu untuk mencukupi kehidupannya. Semua orang tahu mengenai itu. "Jadi, besok bisa?"
"Besok jadi kurir makanan."
"Sha, kalau libur kerja paruh waktu sehari aja gak bakalan bikin lo mati, kok."
"Kata siapa? Faktanya emang gitu," ujar Ersha yang membuat kedua temannya merangkulnya.
Tepatnya, keduanya adalah dua orang laki-laki seumuran dengan Ersha. Mereka adalah Arka dan Bisma, keduanya satu fakultas yang sama dengan Ersha. Mereka berdua juga orang-orang yang dekat dengan Ersha, tetapi tak pernah tahu kalau sahabat mereka itu seorang mafia kejam.
"Alah, hidup lo besok gue yang tanggung."
Ersha tetap menggeleng, dia hanya diam sembari mengamati pertandingan di depannya. Kedua temannya itu hanya merangkul, sesekali juga ketiganya tertawa melihat adegan yang mereka lihat.
Semua aksi itu, direkam jelas oleh mata Alvaro. Dia mulai tertarik dengan sosok Ersha, yang menurutnya sangat berbeda dengan semua perempuan yang pernah dia temui. "Menarik," gumamnya.
Reaksi itu tentu saja sudah Ersha perhitungkan. Dia sangat pandai membaca dan juga memperkirakan ekspresi dan reaksi orang di sekitarnya. Terlebih lagi, ini adalah targetnya yang sudah masuk dalam perangkap dan umpannya. Ersha hanya bisa tersenyum, dia senang dengan reaksi yang diberikan Alvaro.
Sangat terlihat jelas, walau sekilas terlihat Alvaro tak bereaksi berlebih. Dia masih memasang wajah santai, tetapi dengan jelas Ersha bisa membaca kalau ketertarikan itu memang ada.
"Dia mulai terjebak dalam perangkap," lirih Ersha sembari tersenyum penuh arti.
"Tuan, Tuan Xander ingin menemui Anda malam ini." Kalimat itu sontak menarik perhatian Alvaro.
Alvaro meliriknya, dia menatap kosong ke arah anak buahnya itu. Dan seketika raut wajahnya berubah. Entah kenapa dan entah apa yang membuatnya kini berubah, iris mata Alvaro pun berubah biru.
Sosok Xander merupakan salah satu orang yang berhasil menghidupkan Saga dalam diri Alvaro. Dia salah seorang yang memang berperan dalam hancurnya mental seorang Rumi. "Dia ingin mati?" tanyanya dengan dingin.
"Tuan—"
Sontak Saga berdiri, dia meninggalkan acara yang masih belum usai itu. Apa yang terjadi dengan cepat diterima Ersha, dia sontak melirik ke belakang dan menemukan Saga yang sudah beranjak dari tempatnya.
"Apa umpannya kurang bagus?"
"Kita lagi nonton adu jotos Ersha, bukan lagi mancing," cibir Bisma tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Ke mana perginya dia?" tanya Ersha pada dirinya sendiri, saat dia mendapati Alvaro yang tampak pergi dengan tergesa-gesa. Bahkan seolah dia bukanlah Alvaro, dia terlihat lebih dingin dari apa yang biasanya terekam oleh mata Ersha.