Alvaro merasakan kepalanya yang sakit, dia menatap cermin di depannya. Sepertinya dia tahu apa yang membuatnya kelelahan seperti ini. "Apa yang sudah kamu lakukan, Saga."
Alvaro mengusap wajahnya, dia meregangkan tubuhnya karena merasa sekujur tubuhnya remuk. Seperti dia telah melakukan lomba lari maraton, atau bahkan berperang di perang dunia dua. Entahlah.
Baru saja Alvaro akan menutup matanya, seketika dia teringat tentang Xavier. Semalam, anak buahnya membahas soal laki-laki tua itu dan dia langsung tak mengingat apa pun.
"Juan!" teriak Alvaro.
Juan yang berada di depan kamar Alvaro pun bergegas masuk. Dia langsung menarik sebelah alisnya, bertanya tentang apa yang diinginkan majikannya itu. "Kenapa? Mau makan?"
"Saya bisa makan sendiri."
"Lantas?"
"Apa kita sudah bertemu dengan Tuan Xavier?" tanyanya.
Juan terdiam sejenak, bukan hanya bertemu, tetapi Alvaro menyakiti semua orang yang berkaitan dengan Xavier. Dia benar-benar membuat masalah besar dengan menembak Xavier dan itu membuat Juan harus membuat strategi untuk mengatur semuanya.
Juan selalu jadi tong sampah atas kesalahan Saga, walaupun sebenarnya itu kembali ditumpahkan pada Alvaro sendiri. "Sudah Tuan," jawab Juan.
"Kita membahas?"
"Kerjasama dengan GS. Kita menolaknya dan mengklaim kalau produk kita lebih baik dari Tuan Gerlad," ceritanya.
Gerlad Semesta?
Produk senjata api yang sudah diakui para mafia besar di luar negeri. Namun, kenapa Alvaro menolaknya? Dia mengernyitkan dahi, tampaknya Saga memang sengaja menolak ajakan Xavier melakukan kerjasama itu. Alvaro sendiri tak tahu alasannya apa.
Alvaro melirik Juan, pemuda itu mengangguk sembari memberikan foto-foto yang dia dapatkan soal semalam. "Ini semua ...."
"Iya, Tuan."
"Astaga, bagaimana kalau nanti Tuan Xavier membalas? Dia salah satu kolega kita yang cukup menguntungkan, walaupun dia sedikit licin," ujar Alvaro.
Juan hanya tersenyum saja, tak tahu harus menjawab apa. Juan memang salah satu orang yang tahu keadaan Alvaro dan memahami kehidupan gelap majikannya itu.
Tak pernah ada protes, Juan memaklumi semuanya karena memang Alvaro sendiri tak pernah mengetahui apa yang diperbuat Saga. Dia memang tak pernah diberikan kesadaran saat semua aksi menyeramkan Saga terjadi.
"Bagaimana saya harus mengurusnya?"
"Semua sudah saya atur, Tuan. Oh iya, kami sudah mendapatkan informasi mengenai Nona Ersha," ungkap Juan.
Ekspresi Alvaro seketika berubah, dia langsung meminta informasi tersebut pada Juan. Pemuda itu mengangguk, dia keluar dari kamar Alvaro untuk beberapa saat. "Saya akan kembali secepatnya."
"Jadi, kamu sudah memberikannya?"
Anggukan Janson membuat Ersha tersenyum penuh arti. Dia memang sengaja mempermudah Alvaro dalam mencari identitasnya. Ersha tahu kalau Janson pasti sudah membuatnya semua urusannya dengan mudah.
Janson tengah duduk di tempat tidur Ersha, dia sudah menganggap perempuan itu sebagai adiknya sendiri. Qiandra adalah orang yang sangat baik, dia menitipkan Ersha pada Janson saat Horison membuangnya dan tak menganggapnya ada.
Ersha memang malang, tetapi dia adalah perempuan yang hebat. Walaupun tak pernah dianggap sebagai seorang putri, Ersha tetap memiliki DNA Horison yang memang terkenal buas dalam dunia bisnis. Dia tetap mencintai ayahnya itu, walaupun sepanjang hidupnya dia tak mendapatkan kasih sayang Horison. Hanya Janson, laki-laki dewasa yang selalu melindunginya selama ini. "Ini kunci kosannya. Semua kebutuhan Anda sudah ada di sana. Ini juga jadwal yang harus dihapal karena ini juga keterangan yang saya berikan pada mereka mengenai kegiatan Anda."
"Terima kasih, Janson."
"Hm ... boleh minta satu hal lagi, Queen?"
"Panggil aku Ersha, Janson. Di sini tak ada siapa pun," ujarnya.
"Jangan terlalu bersikap berlebihan, bersikap senatural mungkin. Sekarang banyak orang yang mengawasi Anda dan itu akan berbahaya, jika mereka tahu siapa Anda." Ersha pun mengangguk mengerti, dia tiba-tiba memeluk Janson dari belakang yang membuat pemuda itu membeku di tempat.
"Makasih ya, selalu jadi orang pertama yang melindungiku."
Janson melepaskan tangan Ersha dari perutnya. Dia meminta Ersha untuk bersikap biasa saja. "Itu sudah kewajiban saya dan tolong bersikap sewajarnya. Saya seorang laki-laki," ungkapnya.
Ersha hanya tersenyum mendengar itu.
Ersha bangkit dan langsung pergi ke kamar mandi. Janson segera keluar dari kamar Ersha dan meminta pelayan untuk masuk. "Siapkan semuanya!"
Janson tak tinggal di apartemen itu, tetapi dia juga setiap saat akan ada di sisi Ersha. Setiap kali perempuan itu membutuhkannya. Janson pergi dari sana untuk kembali melanjutkan kehidupannya yang lain.
"Bi, tolong bawakan handuk!"
"Nona, hari ini mau sarapan apa?"
Ersha menggeleng, dia akan sarapan di tempat kosannya berada untuk beradaptasi dengan sekitar. Dia akan menjadi sosok yang lebih memilukan dari sebelumnya. Seorang anak panti asuhan, yang kini berkuliah, dan tinggal di gang sempit.
Sangat sempurna. Penyamaran itu tak akan memberatkan, Ersha sudah terbiasa sejak kecil hidup di keadaan menyedihkan. Walaupun terkadang, Janson selalu menjadikannya sebagai gadis yang sangat dimanja.
"Baik, Nona."
Di sana pun tak ada yang tahu siapa itu Ersha, mereka hanya tahunya kalau Ersha adalah adik Janson, bukan Queen seperti identitasnya yang sebenarnya. Ersha masih berendam di bathtub, ini hari terakhir dia menikmati semua kemewahan ini. Besok dia akan menjadi orang lain lagi untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.
Kali ini apa yang diinginkan Ersha?
Tentu saja kehancuran seorang Alvaro Rumi.
***
Suasana di tempat baru memang selalu terasa asing. Akan tetapi, tempat yang kini ditempati Ersha tidaklah demikian. Di sana terdapat 30 pintu kosan. Ersha sendiri berada di lantai bagian atas. Hanya saja 15 kosan diisi oleh anak buah Ersha sendiri, yang tentunya mereka ikutan berperan sebagai orang asing. Tentu saja semua itu untuk keamanan pemimpin Black Bloody Rose sendiri.
Lainnya adalah orang-orang pekerja, yang sibuk dan jarang berada di kosan. Itu semua untuk menghindari pertanyaan dari pihak Alvaro, jika mereka ingin mencari tahu mengenai Ersha, maka mereka sudah lebih dulu dihadapi oleh anak buah Ersha sendiri.
"Ini kamar Nara. Dia berada tepat di samping Anda, Queen."
"Oke."
"Ini yang ditandai kamar-kamar anak buah Anda. Mereka tak akan menyapa dan tak akan berperan sebagai mana mestinya. Mereka hanya anak kos yang kebetulan mengenal dan Anda kenali," ucap salah satunya yang kini menjelaskan denah kosan yang akan Ersha tempati.
Ersha sangat pintar, sekali melihat saja dia sudah menghapal letak kosan dan juga orang-orang yang ada dipihaknya. "Ada lagi?"
"Penjual bubur namanya Pak Mardi. Penjual ketoprak dan lontong sayur namanya Bu Lilis. Terus juga warung di depan itu milik Ibu Kos."
Ersha keluar dari mobil, dia akan berjalan kaki menuju kosan. Sementara yang lain memang sudah ada di sana sejak kemarin sore. Janson memang sudah menyiapkannya. Bahkan kosan tersebut sudah diisi dengan nama Ersha sejak Janson mendapatkan informasi mengenai Alvaro. Semuanya memang sudah masuk dalam skenario buatan.
Jadi tak akan ada yang curiga, toh nama Ersha sudah ada di sana sejak beberapa waktu lalu. Namun, beberapa orang suruhannya masuk satu per satu. Terlebih itu memang kosan yang dihuni secara umum, laki-laki dan perempuan bisa tinggal di sana.
"Pagi Bu, boleh saya pesan lontong sayurnya 1 sambalnya pisah."
"Baik, Neng ...."
"Ersha, Bu."
"Baik, Neng Ersha. Anak kos baru, ya?" Ersha menggeleng, dia menjelaskan sudah beberapa hari tinggal di sana. "Di kamar nomor berapa, Neng?"
"Lantai 2 nomor 27."
"Baik, nanti saya antar." Ersha pun hanya melemparkan senyumannya.
Ersha masuk ke lingkungan kosan dan menghirup udara di sana. Dengan cepat, dia menemukan beberapa anak buahnya yang tengah sibuk sebagainya anak kosan pada umunya. Ersha tak menyapa, dia bersikap cuek di sana, tetapi tetap melemparkan senyuman pada mereka yang menyapa dan bersikap ramah padanya.
"Ersha, ya?"
Ersha berbalik dan menemukan seorang ibu-ibu yang berjalan menuju ke arahnya. "Saya ibu kos di sini. Nama saya Galih."
"Ah, iya Bu Galih saya Ersha."
"Setiap hari selalu datang buat ketemu Neng Ersha, akhirnya hari ini ketemu juga," ucapnya.
Ersha hanya menanggapi dengan senyuman saja