Janson hanya bisa tertawa mendengarkan kalimat yang Ersha lontarkan. Gadis itu masih sama, dia masih seperti monster yang ditemukannya dulu.
"Janson!" panggil Ersha.
"Iya, Queen?"
"Apa yang sedang kamu lakukan?"
"Hanya mengawasi seseorang," jawabnya.
Queen mendekati Janson, dia menatapnya seolah meminta kejelasan dari kalimatnya itu. Seperti mengerti dengan maksudnya, Janson pun mengeluarkan selembar amplop. Ersha membuka benda itu dan menemukan sebuah foto beserta identitasnya. "Kenapa dia?"
"Seorang gadis berusia 15 tahun memohon jasa kita. Dia akan membayar berapa pun agar kita menghabisi orang itu," cerita Janson.
Queen tampaknya tertarik dengan cerita Janson. Dia menatap seorang pemuda dari foto itu. Janson pun kembali bercerita, "Dia sering diilecehkan oleh pemuda itu. Sampai suatu hari, saat dia akan kembali dilecehkan, kedua orangtuanya datang. Saat akan menyelamatkannya, kedua orang tua gadis itu malah dibunuh oleh si pelaku."
Mendengar semua itu, seketika ingatan Ersha kembali pada Elysia. Jemarinya mengepal kuat, jantungnya mulai berdetak tak karuan. Ersha benar-benar terjebak pada ingatan masa lalunya itu.
"Polisi?"
"Dia anak dari perwira tinggi. Jadi, kasus ini ditutup dengan alasan tak ada bukti kuat," jelas Janson.
"Anak itu bisa jadi bukti kuat!" tegas Ersha.
Janson mengangguk. Harusnya memang demikian, tetapi apa yang terjadi di negara ini memang sedikit berbeda. Hukum yang hanya tajam ke bawah benar adanya.
"Aku ingin berolahraga."
"Queen, sudah lama Anda tak melakukannya. Jadi, saran saya lakukan hal lain saja. Biarkan ini menjadi bagian saya karena—"
"Kapan kau akan melakukannya?"
Janson terdiam, dia bodoh karena mengatakan semuanya. Jika menyangkut cerita seperti ini, maka Queen akan bangkit, dan dia sendiri yang akan melakukan pekerjaannya itu.
"Malam ini."
"Oke," jawab Queen.
Akan tetapi, Janson kembali membantah. Dia tak ingin kalau Ersha kembali mengotori tangannya itu untuk pekerjaan semacam ini. Sayangnya kalimat apa pun yang menghalangi niatan Ersha hanya akan menjadi sebuah sampah. Ersha tak akan peduli dengan larangan apa pun.
Sebenarnya memang sudah lama Ersha tak lagi menjadi pembunuh. Entah dibayar atau memang dia menyukai hal itu. Ersha benar-benar fokus pada kedatangan Alvaro dan mengumpulkan niat untuk menghancurkan mafia itu.
"Queen, apa Anda benar-benar akan melakukannya?"
"Kapan aku bercanda?" tanya balik Ersha sembari pergi.
Langkah gadis itu terhenti, membuat Janson menahan napasnya sejenak. "Kirimkan detail alamat dan kegiatannya. Beri aku waktu 5 menit untuk menghukumnya," ucap Ersha tanpa berbalik.
"Baik, Queen."
Janson tak bisa berkutik, dia memang sudah lebih dulu terjun ke dunia jasa pembunuhan ini. Namun, dia tahu siapa dan bagaimana sosok Queen. Wanita yang dijuluki sebagai iblis itu memang tak pernah bisa untuk dikendalikan. Dia tak akan mampu mendengarkan siapa pun.
Ersha dengan terburu-buru turun dari atap gedung kampus. Dia tak mempedulikan sekitar, seketika ekspresi wajahnya tak bersahabat sama sekali. Bahkan dia mengabaikan Bisma yang meneriaki namanya.
Bisma berniat untuk memberikan mawar putih yang tadi dia dapatkan. Namun, Ersha malah pergi begitu saja, mengabaikannya. "Kenapa lo?"
"Ini, mau kasih bunga sama Ersha. Tapi dia malah pergi, mau ke mana dia, ya. Kayaknya buru-buru banget," ucap Bisma sembari menatap Ersha.
"Sini, biar gue yang kasih!"
"Eh, mana bisa kayak gitu. Gimana kalau kita kasih barengan aja," ucap Bisma lagi sembari merebut mawar dari tangan Arka.
Bisma dan Arka malah berebut mawar, membuat keduanya terlihat aneh di mata para mahasiswi di sana. Namun, tetap saja pesona seorang Arka membuat para kaum hawa di sana menatapnya dengan kekaguman.
Visual seorang Arka memang tak diragukan lagi, dia memiliki kesempurnaan dalam penampilan dan juga wajahnya. Jadi tingkah seaneh apa pun akan terlihat mempesona jika itu adalah Arka.
Sembari bergulat, bisa-bisanya Arka melemparkan kedipan dan juga kecupan jauh. Membuat teriakan para gadis-gadis semakin histeria dibuatnya. "Pilih Ka, tinggal pilih aja. Urusan Ersha biar gue!"
"Mana ada, semua remahan itu akan kalah dengan satu Ersha aja. Gak usah so kecakapan, Ersha punya gue."
"Kita sahabatan!"
"Gak mau ah, gue mau Ersha gak mau sahabatan," ucap Arka.
"Serah lo Arka Wiguna, gue mau ngejar Ersha!" teriak Bisma dengan gaya seakan tengah ditahan Arka, padahal tak ada yang menahannya sama sekali.
Arka melipat tangannya di dada, menandakan kalau dia tak menyentuh Bisma sama sekali. Bisma yang masih merengek, tiba-tiba bungkam. Dia tersenyum malu sembari menggaruk kepalanya yang tak gatal.
Ersha tidak kembali ke kosannya atau datang ke apartemen Janson, di mana dia biasa merancang rencananya. Ersha hanya pergi ke toko buku, di mana dia akan menenangkan pikirannya sejenak. Bermodal ojek online, Ersha pun sampai ke tempat tujuannya.
Saat dia masuk ke tempat itu dan tanpa sengaja dia bertemu dengan seseorang yang cukup dikenalinya. Ersha hanya tersenyum. "Mau pinjam buku apa, Nona?"
"Tak ada, aku hanya ingin membaca saja."
"Oh, silakan!" ucapnya sembari melemparkan senyuman.
"Manis," timpal Ersha sembari berlalu.
Tentu saja kalimat pujian itu membuat si penjaga perpustakaan tersenyum. Jarang-jarang ada gadis cantik yang mau memujinya seperti itu.
Ersha duduk tak jauh dari tempat si penjaga perpustakaan itu berada. Dia mengambil satu buku secara acak, tanpa peduli buku apa yang diambilnya itu. Di sana, dia mengamati si penjaga perpustakaan dengan sangat intens. Hanya beberapa menit mengawasi, Ersha menjadi tahu banyak sosok seperti apa pemuda tersebut. Tiba-tiba Ersha mengangkat tangannya, membuat si pemuda segera menghampirinya. Kebetulan, keadaan di sana tak begitu ramai.
"Kenapa, ada yang bisa saya bantu?"
"Aku gak bawa kartu pinjaman perpustakaan di sini. Apa boleh aku membawa satu buku untuk pulang?" tanya Ersha.
Dengan senyuman khasnya, si pemuda mengiyakan. Namun, beberapa saat kemudian dia menarik tangan Ersha. "Ini alamat rumah saya, kamu bisa mengembalikannya ke sini saja. Takut jika saat kamu mengembalikan buku, bukan saya yang berjaga di sini."
"Ah, kebetulan sekali. Terima kasih," ucap Ersha.
"Sama-sama, Manis," ucap si pemuda seperti mengulangi kalimat Ersha tadi.
Seperti dugaannya, Ersha memang pandai membaca karakter seseorang. Dia tersenyum kecut, merasa kalau mangsanya sudah mulai masuk jebakannya itu.
"Aku pinjam ya, nanti aku kembalikan."
"Silakan, semoga bisa secepatnya!" serunya.
Ersha berjalan keluar perpustakaan sembari membaca alamat rumah yang diberikan pemuda itu. Seperti dugaan kalian, sosok itu adalah target Ersha. Tanpa disengaja mereka bertemu dan secara kebetulan Ersha bisa dengan mudah menjeratnya dalam jebakan. "Dasar bodoh," cibir Ersha.
Langkah Ersha gontai, dia tak lagi memikirkan bagaimana caranya untuk menghancurkan si pemudanya. Ersha hanya merasa miris dengan kehidupan dan juga hukum di negara ini. Apa yang terjadi padanya dan pada Elysia, ternyata terjadi juga pada orang lain.
"Hei, itu Ersha!"
"Mana?"
"Ersha!" panggil seseorang dari dalam mobil.
Ersha berbalik dan menemukan Bisma tengah meneriakinya. Ersha seketika menghentikan langkahnya, dia teringat dengan dunianya yang lain.
"Eh, kalian mau ke mana?"
"Ke kosan lo," seru Bisma.
Bisma turun dari mobil Arka dan menghampiri Ersha. Pemuda itu memberikan setangkai mawar putih pada gadis di depannya. "Lo nembak gue?"
"Duh, kalau semudah itu udah gue lakuin, Sha. Bukanlah, ini dari orang. Katanya dari masa depan lo, aneh ya, padahal masa depan lo itu gue," ungkapnya sembari menyodorkan benda indah berwarna putih itu.
Ersha hanya berdecak kesal dan dia menerimanya. Tentu saja Ersha tahu kalau itu dari Alvaro. Sementara itu, Arka meminta mereka untuk segera masuk ke mobil. "Ayo, cepat!"
"Yuk!"
"Ke mana?"
"Kita anterin pulang. Lo pasti lagi banyak pikiran ya, makanya pulang duluan gitu?"
Ersha tak menjawab, dia tak mungkin bercerita mengenai apa yang tengah membebani pikirannya itu. "Gak ada, gue cuma gak enak badan."
"Mau beli obat?"
"Atau ke dokter?"
Ersha menggeleng, dia hanya duduk di kursi belakang sembari membuang napasnya dengan kasar.