Teriakan itu berasal dari seorang yang tentu saja dikenali mereka semua. Kebisingan tadi cukup menarik perhatian, terlebih lagi mereka yang memang sedari tadi mengawasi. Chiko, Bisma, Arka, dan beberapa teman-teman Chiko. Mereka semua datang ke kamar mandi wanita karena mendengar sesuatu yang mencurigakan, terlebih Chiko melihat gelagat aneh dari Bisma dan Arka. Dia hanya takut kalau keduanya mengerjai anak fakultasnya.
Tanpa permisi, Ersha pergi dari sana. Dia tak lupa mengajak kedua temannya untuk segera pergi, karena memang tempat mereka bukan di sana.
"Gila ya, mereka sampai ngelakuin hal kayak gitu. Bocah!" cibir Bisma.
"Lo gak apa-apa kan, Sha?"
Keduanya khawatir dengan keadaan Ersha yang basah kuyup dengan tidak wajar. Tentu saja, karena air yang disiram ke tubuh Ersha adalah air kotor. Itu membuat penampilan Ersha begitu mencolok saat ini.
Tak ada jawaban dari Ersha, dia hanya tengah mengatur emosinya agar tak meledak di hadapan mereka semua. "Kalian mau ikut?" tanya Ersha.
"Kalau lo nawarin, boleh, deh," jawab Bisma yang mendapat pukulan dari Arka.
"Dia mau ganti pakaian, ya kali mau ngikut."
"Ya, siapa tahu Ersha butuh penonton gitu," ujarnya yang kembali membuat Arka menggaruk keningnya.
Dia benar-benar malu memiliki teman seperti Bisma, yang tidak pernah bisa mengontrol mulutnya itu.
Ersha melirik Arka dan mendapati pemuda itu tersenyum kikuk. "Maaf, dia emang agak-agak," ucap Arka.
"Sha, masih ada kelas atau mau keluar?"
"Hari ini padat."
"Kenapa gak dibuat lancar aja, biasanya jago ngatur waktu. Gue juga aneh, lo itu salah satu mahasiswi pintar yang biasanya doyan di perpustakaan gitu. Ya, harusnya ya, ala-ala cewek kitu buku. Tapi ini kerjaannya malah kerja paruh waktu. Penjaga perpustakaan, pelayan kafe, kadang jadi kasir. Lo punya nyawa berapa, sih? Pikirin kesehatan, gue tahu lo butuh uang, tapi—" Pertanyaan panjang yang dibuat Bisma sama sekali tidak digubris Ersha.
"Mulut lo bisa diam gak sih, Bis. Berisik!" ujar Arka.
Andai Bisma tahu, dia sama sekali tidak bekerja karena uang. Ersha melakukan semua pekerjaan itu semata-mata untuk mengintai targetnya.
"Gak apa-apa, dia punya hak buat bicara."
Dengan tangan yang memegang pakaian ganti, Ersha menyenderkan tubuhnya di loker. Dia membuang napasnya, memasang wajah memelas.
"Gue bukan kalian, yang mau apa-apa bisa bilang sama bokap atau nyokap, dan semua itu langsung bisa didapatkan. Gue harus berjuang buat dapat apa yang gue mau, bahkan untuk makan pun, gue harus bekerja setiap hari. Ya, sebisanya gue harus mengatur waktu dengan baik. Kuliah, kerja, kerja, kerja, dan belajar. Sisanya buat istirahat, itu pun kalau ada," ucap Ersha.
"Pantesan badan lo kurus!" gumam Bisma.
"Gue masih bisa denger, Bisma Chandra." Bisma hanya melemparkan senyumannya sembari menggaruk.
Sekali lagi, tangan Arka yang gatal itu memukul kepala Bisma.
"Yuk, pergi!" ajaknya.
"Emang kita juga ada kelas?"
"Nongkrong di kafe depan sambil nunggu Ersha keluar. Gimana? Nanti malam kita hangout. Oke?"
Bisma mengangguk dan Arka merangkul tubuh sahabatnya itu. Bagaimanapun juga, Bisma adalah teman yang baik baginya.
"Ajak Ersha juga?"
"Boleh," jawab Arka.
"Ish, tapi lo yang bayar soalnya tahu sendiri segimana banyak, tuh anak makan. Ersha doyan makan, tapi badannya kecil terus, aneh gue."
"Karena dia banyak kerja." Arka hanya mencoba untuk menengahi.
Keduanya awalnya hanya mengganggu Ersha, tetapi lama kelamaan dia malah tertarik dengan kegigihan gadis itu dalam menjalani hidupnya. Arka menyukai Ersha, jauh dari dalam hatinya. Namun, karena dia berada di sisi gadis itu dengan status seorang teman, maka Arka tak ingin mengubahnya lagi. Takut, jika itu akan membuat keadaan menjadi berubah memburuk.
"Oke, gue yang bayarin. Kita main ke club?"
"Tapi ini hari Rabu, Ersha bukannya suka jadi pelayan di Danger, ya?" Arka teringat, kalau setiap hari Rabu Ersha memang selalu pergi ke klub private itu.
Arka pun memilih untuk mengajak Bisma nongkrong di tempat lain saja. Dia akan membawa temannya itu ke suatu tempat, yang mana akan sangat disukai para laki-laki singel seperti Bisma.
Kembali pada Ersha, gadis itu sudah berganti pakaian. Dia belum sempat mandi, karena memang beberapa menit lagi kelasnya akan dimulai. Apalagi hari ini ada kelas dari dosen yang terkenal kejam.
Langkahnya begitu cepat, Ersha bahkan berjalan sembari membenarkan posisi rambutnya. Ya, dia mengikat rambutnya sembarangan. Saat sedang terburu-buru itu, seseorang malah menarik ikat rambutnya, membuat rambutnya kembali terurai. Bahkan itu mampu membuat langkah Ersha terhenti.
Dia berbalik dan menemukan seseorang tengah tersenyum licik. Dia menggerakkan alisnya, membuat Ersha dibuat geram. Namun, tak ada waktu lagi baginya untuk meladeni Chiko. "Dasar pengganggu!"
Hanya itu kalimat yang keluar dari mulut mungil Ersha. Melihat wajah kesal Ersha, entah kenapa itu membuat Chiko gemas.
"Jangan bilang lo suka dia," ucap seseorang.
"Emangnya kenapa, dia oke, tuh."
"Dia bukan anak kedokteran atau hukum, jadi jangan berharap lebih buat dapat restu," cibir teman Chiko.
Benar.
Namun, entah kenapa Ersha menarik perhatian Chiko lebih dari mahasiswi lainnya.
"Kamu terlambat, Ersha Qiandra!"
"Maaf Pak, tadi ...."
Namun, dosen itu tak menerima alasan apa pun. Dia tak suka dengan mahasiswa yang terlambat. Untuk pertama kalinya Ersha mendapatkan kartu peringatan. Dia menatap kartu itu, mencoba menyesal, tetapi faktanya dia malah teringat dengan tindakan Chiko. Ya, karena laki-laki itu Ersha terlambat masuk kelas.
"Tunggu apalagi? Sana keluar!" usir dosen.
"Untuk kali ini aja Pak, saya mohon untuk—"
"Kamu sama seperti mereka, tidak istimewa. Jadi jangan harap ada pengecualian," ucap dosen.
"Baik. Terima kasih, Pak." Dosen kembali melanjutkan pelajaran, sementara Ersha pun keluar dari ruang kelasnya.
Dengan kesal Ersha memilih untuk ke kantin. Dia membuka laptopnya di sana. Seperti tengah membuat laporan, tetapi faktanya Ersha tengah meretas sistem keamanan cctv di kampus. Dia ingin melihat materi apa yang tengah disampaikan. Agar dia tak tertinggal pelajaran. Salah. Ersha tak perlu khawatir mengenai materi, dia bahkan sudah menguasai semua materi sebelum masuk kuliah.
Ersha saat ini tengah mengawasi seseorang yang tengah dicurigainya di kampus itu. Seseorang yang mungkin mata-mata dari musuhnya. "Sial," umpat Ersha.
Dia mulai kehilangan keahliannya dalam menganalisa. Entah. Akhir-akhir ini pikiran Ersha banyak terpecahkan. Mungkin karena dia kembali menghabisi nyawa seseorang.
"Nih!" Seseorang memberikan sebotol minuman pada Ersha.
Dia mendongak, melihat seseorang yang dikenalinya kembali ada di depannya. Bukan Chiko, kali ini seseorang yang membuat perasaan Ersha bergemuruh.
"Kenalin, saya Alvaro!"
"Saya dosen baru di sini. Kamu mahasiswi sini, kan? Fakultas mana?" tanyanya.
Ersha menatap pakaian Alvaro. Tak tampak seperti seorang dosen. Alvaro terkesan lebih santai dan fashionable untuk ukuran seorang dosen. Apalagi dengan wajah tampannya itu.
Tangan Alvaro yang terulur pun kembali dia tarik. Alvaro mengerti, mungkin Ersha memang sosok yang tidak suka terbuka dengan orang baru. "Oh, iya, di mana letak—"
"Maaf Pak, saya sibuk. Mungkin Anda bisa membuka sosial media dan mencari tahu mengenai struktur ruangan setiap fakultas di universitas ini."
"Kamu ...."
"Pak, saya sibuk. Anda mengerti, kan, apa arti dari kata sibuk?" tanya Ersha.
Alvaro pun menyerah, ternyata Ersha tak mudah untuk dia jebak. Gadis itu terlihat polos, tetapi ternyata begitu pintar.