Tubuh mungil dengan lekukan indah itu dibalut dress putih selutut. Sederhana, tak terlalu terbuka, hanya bagian belakangnya saja yang sengaja memamerkan punggung mulusnya dengan bebas. Kaki indah itu berjalan dengan lindungan high heels merah, menambah kesan seksi pada si pemiliknya.
Tubuh itu berhenti di depan sebuah apartemen di kawasan pinggiran kota. Suasana di sana cukup sepi, padahal ini masih jam 8 malam. Entah. Para muda-mudi memang lebih suka menikmati malam di tengah ibu kota, dengan hingar-bingar kemewahannya.
Tangan kecil itu membawa satu buket bunga mawar putih dan juga satu paper bag berisikan sebuah buku. Dia berniat untuk mengembalikan benda yang sempat dipinjamnya beberapa hari lalu. Senyuman manis itu terlukis indah saat pintu yang diketuknya terbuka dengan lebar. Sambutan hangat dari si pemilik rumah pun membuatnya merasa senang. "Hai, malam!" saosnya.
"Malam, kok gak bilang mau ke sini?"
"Gak apa-apa, cuma mau nganterin buku aja yang waktu itu. Makasih ya, Kak," ucapnya sembari menyodorkan paper bag pada sosok di depannya.
Laki-laki itu masih memaku, dia menatap keindahan yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya. Bagaimana bisa ada seorang gadis cantik datang ke tempatnya. Itu seperti sebuah ikan yang masuk ke kandang kucing.
Siap untuk dilahap habis?
"Mampie dulu, yuk!" tawarnya.
Si gadis tampak ragu, dia hanya diam sembari mengamati sekitar. "Aku tinggal sendiri, gak ada siapa-siapa," ucapnya seakan menjawab pertanyaan.
"Tapi aku ada urusan lain Kak, mungkin lain kali aja mampirnya," tolak si gadis.
Namun, siapa sangka laki-laki itu terus memaksa, meminta Ersha untuk tetap masuk ke dalam apartemennya. Tentu saja itu semua sudah Ersha rencanakan dengan baik. Dia sengaja menolak agar dia membuat alibi, kalau dirinya adalah gadis baik-baik.
"Hanya untuk minum aja ya, Kak."
"Iya, yuk masuk!" ajaknya lagi.
Ersha melangkah masuk, dia menghirup udara di dalam apartemen yang akan menjadi saksi sebuah kejadian mengasyikkan. Satu kejadian alang, yang sudah sangat lama tidak dia lakukan. Bahkan mungkin, ini akan menjadi berita menghebohkan setelah bertahun-tahun media tak lagi menayangkannya.
Laki-laki itu melihat langkah Ersha, mengamati bagaimana lekuk tubuh itu berlenggak-lenggok di depannya. Bayangannya dia akan bisa menyetubuhi gadis cantik itu.
"Aku ambilkan minum dulu, ya!"
Ersha mengangguk dengan manisnya. Sementara laki-laki itu melangkah sembari tersenyum penuh arti. Dia merasa menang saat ini, ya karena berhasil menjebak korbannya.
Rasanya tak perlu bersusah payah membuat rencana. Korban kali ini datang secara sukarela untuk dia nikmati. Segelas air putih pun datang, tentunya tanpa ada racun atau obat apa pun itu. Tampaknya dia memiliki rencana yang lebih baik dibandingkan membuat Ersha tak sadarkan diri.
Ersha yang menatap minuman itu, dia menduga-duga apa rencana yang dibuat laki-laki tersebut. Takut? Tentu saja tidak, Ersha sudah lebih siap dari pikiran siapa pun.
"Kak, aku pulang, ya!"
"Jangan dulu, mendingan kita makan malam atau—"
"Kak, nanti Mama cariin aku. Jadi aku harus cepat pulang, lagian ini udah malam banget," ucap Ersha.
Namun, siapa sangka kali ini si laki-laki menampakkan wujudnya yang sebenarnya. Dia menatap tajam, setajam mungkin, dengan senyuman mengerikan.
"Kak, kamu mau apa?" tanya Ersha dengan nada ketakutan.
Dalam hati, dia justru tertawa melihat sikap laki-laki bodoh di depannya itu.
"Hanya ingin mencium aroma tubuhmu saja," ucapnya sembari mengendus tubuh Ersha.
Bau mawar putih itu membuatnya seperti terhipnotis. Terlena dengan pemandangan di depannya. Tangannya memegang erat kedua lengan Ersha, dia terus mengendus seakan menemukan sesuatu yang sangat berharga. Ersha tak takut sama sekali, dia hanya merasa jijik dengan cara laki-laki itu.
"Bodoh," umpatnya dalam hati.
"Kakak mau?" tawar Ersha yang tentu saja dengan cepat mendapatkan anggukan dari si laki-laki brengsek tersebut.
Ersha bangkit, dia mendekat dan berbisik mesra di telinganya. "Boleh kalau aku yang memulai?"
"Ka-kamu mau?"
Ersha mengangguk.
"Ternyata kamu gadis murahan," cibirnya.
"Aku belum pernah melakukannya, tapi kalau Kakak mau aku bisa," ucapnya.
Senyuman penuh gairah itu membuat Ersha ingin meludah. Namun, dia terus mengumpulkan rasa jijiknya itu di dalam hati. Dia akan menuangkan semuanya nanti. Di detik yang tepat.
"Anak baik," ucapnya sembari menyentuh puncak kepala Ersha.
Ersha tersenyum, dia bangkit dari duduknya dan melihat-lihat ruangan itu dengan tingkahnya yang seksi. Tepatnya Ersha sengaja memancing gairah semakin tinggi di sana. Membuat ruangan benar-benar terasa pengap dan panas.
Ersha berjalan mendekat, dia tiba-tiba menutup mata laki-laki itu dengan sesuatu. "Bolehkan kalau begini?"
"Tentu saja, Cantik!" ucapnya dengan antusias.
Siapa sangka saat Ersha mulai menelusuri tubuh itu, inci demi inci, membuat ketegangan itu semakin menjadi saat Ersha justru malah mengikat tangan si laki-laki itu.
"Heh, kenapa diikat?" tanyanya.
"Diamlah, permainan baru akan dimulai."
Dia tak tahu, jika nyawanya akan berakhir saat itu. Dipikirannya hanya kenikmatan semu, yang bahkan lewat mimpi saja tak akan pernah terjadi.
Sesuatu menyentuh wajahnya, membuat bulu kuduk berdiri. Entah benda apa, tetapi terasa begitu tajam, bergerak dari wajah menuju leher.
Dengan perlahan benda itu bergerak, membuat gerakan lembut. Namun, saat laki-laki itu menepis pikiran buruknya, Ersha malah mempertajam pikiran itu dengan tindakannya. Teriakan pun keluar dari mulut itu, membuat Ersha tersenyum puas. "Apa yang kamu lakukan?!" teriaknya.
"Hanya bermain saja," ucap Ersha.
Dengan susah payah laki-laki itu mencoba lepas. Namun, ikatan di tangannya sangat kuat. Bahkan untuk bangkit pun tak mampu. Tubuh Ersha memang menindihnya di sana. Seakan tak mengizinkannya untuk lepas.
"Lepaskan! Siapa kamu?!"
"Queen," bisik Ersha dengan suara lembutnya.
"Apa mau kamu?"
"Hanya bermain saja, apa kau tak mendengarnya? Hanya bermain dengan orang yang gemar bermain," tegasnya sembari menusukkan sesuatu ke tubuh laki-laki itu, yang membuatnya kembali berteriak kesakitan.
Cairan merah keluar dari lubang yang tadi Ersha tusuk dengan ujung tangkai mawar. Dia tak membawa senjata tajam. Hanya berbekal belasan tangkai mawar putih.
Soalnya cairan berbau anyir itu mengotori dress putihnya. Namun, tak apa, Ersha tetap suka mendengar rintihan sakit itu. Apalagi saat dia berhasil menghunuskan tangkai mawar di leher si laki-laki.
Cairan itu seperti sebuah tinta yang kini membuat lukisan di pakaian Ersha. Dia tak peduli dengan itu, yang dia pedulikan hanya rintihan dan ungkapan maaf yang sedari tadi tak henti keluar dari laki-laki tersebut. "Maafkan aku, maafkan aku. Tolong lepaskan!"
"To-tolong ...."
"Kau punya salah apa memangnya?" tanya Ersha dengan santai.
Ersha membuka celana laki-laki itu, dia menatap sesuatu yang tampaknya begitu menarik perhatiannya.
Suara laki-laki tersebut sudah mulai melemah, dia meronta saat Ersha menyentuh miliknya dengan lembut. Tentu karena dia tahu, apa yang akan dilakukannya mungkin akan mengakhiri hidupnya saat itu juga. "To-tolong, jangan lakukan itu!" pintanya memohon.
"Apa saat dia memohon kamu berhenti?"
"Apa saat dia merintih, kamu peduli?" tanya Ersha lagi.
Saat Ersha akan memulai aksinya, dia melihat kalau ini pastinya tak akan menyenangkan jika tak ada penonton. Ersha pun melepaskan penutup mata itu, membiarkan si laki-laki merekam adegan yang akan dia lakukan.
Di saat itu, dia sempat meronta, mencoba untuk melepaskan diri. Namun, beberapa tusukan di tubuhnya membuatnya tak mampu untuk berbuat lebih. Faktanya dia terlalu lemah untuk memberontak, apalagi terbebas.
"Diamlah, ini tak akan lama," ucap Ersha.
"Aaaarrrrrgggggghhhhhh ...." Teriakan itu benar-benar bagaikan melodi terbaik yang pernah Ersha dengar.
Perempuan itu menikmati setiap erangan yang keluar dari mulut itu dengan menutup mata. Ersha sangat suka mendengar kesakitan dari orang-orang gila seperti itu. "Teriak lagi," ucap Ersha.
Tangan Ersha memasukan tangkai mawar itu ke lubang kencing si laki-laki.
"Jangan kamu pikir wanita itu lemah. Mereka hanya tak berani, bukan berarti tak mampu!" tegas Ersha sebelum laki-laki itu menarik napas terakhirnya.