"Wah, seriusan sekarang lo spill kosan? Gue kira pertemanan kita bakalan terus kayak gini," ujar Arka.
"Kalau udah tau kosan Ersha, Bang Bisma boleh dong main?" tanyanya sembari menggerakkan alis.
Sontak Arka tersenyum kikuk sembari memukul kepala Bisma. Mereka memang terpesona pada sosok Ersha, tetapi perempuan itu sangat benci pada orang yang selalu memujanya, dan menginginkannya. Jadi apa yang dilontarkan Bisma, tentu saja akan berdampak besar. Bagaimana jika tiba-tiba Ersha menjauhi mereka?
"Jangan dengerin dia, tadi dia abis ditolak sama Meysha jadinya gitu," ujar Arka.
"Meysha?"
Arka dan Bisma mengangguk. Bisma bercerita, kalau dirinya kembali ditolak oleh mahasiswi dengan alasan yang sama. "Maaf, kamu kurang ganteng. Astaga, apa dia gak punya mata, ya. Gue ganteng gini loh, ganteng banget ini. Masa dibilang kurang ganteng, kurangnya di mana coba," protesnya sembari menggerutu.
Arka hanya memijat kepalanya, bagaimana bisa dia berteman dengan Bisma, sosok yang begitu percaya diri. "Kurangnya di mana. Ayo, jawab?"
"Gue gak mau lo sakit hati, Bis."
"Bis-bis, Bisma. Nama gue Bisma Artawijaya!" tegasnya.
"Iya, gue gak bisa komentar karena apa yang mereka bilang itu beneran," celetuk Arka.
"Arka?!" teriaknya.
Di sana Ersha hanya bisa tersenyum hambar. Dia benar-benar merasa terpenjara saat berteman dengan dua makhluk aneh itu. Yang satu over percaya diri karena ketampanannya dan yang satunya si pemuda yang selalu gagal dalam percintaan, tetapi masih penuh kepercayaan diri.
"Nih, kalau lo ngerasa ganteng, cewek itu bakalan teriak pas lo kasih senyuman. Liatin gue!" ucap Arka.
Pemuda jurusan teknik komputer itu bangun dari duduknya. Dia merapihkan pakaiannya, lantas menyapa seseorang yang berjalan ke arah sana.
"Hai!"
Seketika senyuman gadis itu semakin membuat Arka percaya diri. Dia menggerakkan alisnya yang membuat si gadis semakin salah tingkah dibuatnya. Memang tak ada teriakan histeris seperti apa yang Arka katakan, tetapi tanggapan itu cukup membuktikan kalau sosok Arka memang terkenal di kampus.
"Alah, itu kebetulan aja."
"Kebetulan gimana? Mereka itu meyakini kalau gue emang tampan. Cewek mana coba yang gak mau gue sapa," ujarnya penuh percaya diri.
Ersha bangkit, dia membersihkan rumput-rumput yang menempel di celana jeans-nya. "Kecuali si jagoan kita ini," tambah Arka begitu Ersha berdiri di depannya sembari melipat tangan di dada.
"Tapi Er, lo normal, kan?"
"Maksudnya?"
"Lo masih suka cowok, kan?" tanya Bisma.
Seketika Arka kembali menggetok kepala Bisma. Mulut temannya itu memang tak bisa dikendalikan. Arka tersenyum penuh arti, dia tahu kalau Ersha marah, maka itu akan lebih sulit dikendalikan lagi.
Arka menyikut Bisma, memintanya untuk membuang mulut sialannya itu. "Tuh, kan, pergi. Lo, sih!"
"Gue apa? Gue cuma tanya, emang salah?"
"Otak lo ketinggalan di toilet kayaknya, Bis. Tau ah, pusing gue." Arka memilih pergi, mengejar Ersha yang sudah lebih dulu menghindari mereka.
Melihat keduanya pergi, Bisma hanya mengangkat kedua pundaknya saja. Namun, saat dia menyadari keduanya benar-benar pergi, maka dia pun ikut bangkit dan mengejar Ersha dan Arka.
"Bis! Bisma!"
"Ah, iya?"
Seseorang memberikan setangkai mawar putih pada Bisma, membuat pemuda itu mengangkat alisnya. Dia berpikir kalau pemuda di hadapannya itu menyukainya. "Sorry, walaupun sampai detik ini gue masih jomblo. Tapi gue masih normal, gue masih suka cewek," ucapnya.
Pemuda itu menarik bunga mawar itu kembali, dia mengulangi adegannya itu sembari berkata, "Bisma, nama lo beneran Bisma, kan?" tanyanya.
Bisma mengangguk.
"Oke, gue titip ini buat Ersha."
"Ersha? Lo suka sama Ersha?" tuduhnya.
"Pokoknya titip aja, ribet banget, sih." Pemuda itu langsung memberikan mawar itu pada Bisma dan bergegas pergi begitu saja.
Bahkan sebelum Bisma tahu dari siapa bunga itu dan tentunya kenapa Ersha? Padahal sudah jelas-jelas kalau temannya itu tak menyukai laki-laki. Benar, kan?
"Bodoh, lihat saja pasti nanti bunganya ditolak atau enggak ... tempat sampah tempat peristirahatannya," ujar Bisma sembari berjalan dengan satu tangkai mawar putih di tangannya.
Ersha baru saja masuk ke kelasnya, hari ini dia ada kelas tambahan. Jadinya dia tak ikut Arka ke lapangan basket. Biasanya mereka akan menonton basket dan itu akan menjadi aksi paling ditunggu para kaum Adam. Siapa yang tak ingin pertandingannya ditonton seorang Ersha, mantan pemimpin pemandu sorak, atlet basket, dan juga seorang atlet bela diri.
"Mau presensi doang, kan, Sha?"
"Masuk," jawab Ersha singkat.
Ersha duduk di bangku paling belakang, dia menutup telinganya dengan earphone, dan bersikap acuh pada sekitarnya. Dia memang begitu, selalu tak peduli pada apa yang terjadi di dekatnya. Sekalipun itu Arka dan Bisma. Walaupun terkadang, Ersha bersikap peduli karena Janson selalu memintanya menjadi manusia yang lebih manusiawi.
"Tuan Delon yang mengisi, beliau meminta salah satu mahasiswi untuk datang ke ruangannya!"
Tak ada yang berani mengangkat tangan, karena sosok tersebut merupakan seorang dosen yang sangat ditakuti di para kalangan mahasiswa dan mahasiswi. Terlebih mahasiswi, karena memang Delon merupakan dosen yang terlampau genit.
Namun, siapa sangka Ersha adalah satu-satunya mahasiswi yang selalu mengangkat tangannya. Dia akan datang dengan sukarela ke ruangan Delon. Itu selalu membuat teman-temannya berasumsi yang tidak baik. Toh, Ersha jarang sekali masuk kelas Pak Delon, tetapi nilainya tak pernah kurang dari B+.
Ersha mengetuk pintu ruangan Pak Delon dan dia disambut dengan senyuman. Adegan itu sudah dibayangkan para mahasiswa dan mahasiswi yang kini masih bertahan di ruang kelas. "Kalian yakin mereka gak ngelakuin apa-apa?"
"Iya, tuh, pasti habis ini Pak Delon masuk ke kelas tapi Ersha gak ada."
"Kok, bisa dia bolos terus pas materi Pak Delon terus nilainya juga bagus terus. Gak adil rasanya sama kita yang tiap saat masuk," cibir yang lainnya.
Sekitar 15 menit, Pak Delon benar-benar masuk ke kelas dan tanpa Ersha bersamanya. Padahal sudah jelas kalau perempuan itu pergi ke ruangan Pak Delon.
Desas-desus dan hujatan pun membanjiri nama Ersha. Akan tetapi, tentu saja mereka tak akan berani mengatakan semua itu di depan Ersha secara langsung.
"Saya di ruangan Delon. Kenapa?"
[ .... ]
"Oke." Ersha bangkit dari sofa, dia membenahi pakaiannya lantas keluar dari ruangan itu.
Kaki jenjang yang terbalut celana jeans itu menaiki anak tangga. Melangkah ke lantai demi lantai. Seperti biasa, jika bosan dia akan pergi ke atap gedung kampus. Untuk bunuh diri? Tentu saja tidak, dia hanya ingin mengamati orang-orang yang ramai di bawah sana.
Seseorang memberikan teropong pada Ersha, membuatnya menerima benda itu, dan menggunakannya. "Apa yang terjadi?"
"Apa dia mengetahui rencana kita?"
"Saya rasa tidak dan tidak akan pernah. Tapi, kenapa dia terus mengejar Anda itu yang tidak saya ketahui," ucap Janson.
Janson, si pemuda tampan dengan bulu-bulu yang memenuhi sekitaran wajahnya. Dia benar-benar tampak seperti laki-laki yang seksi.
"Selidiki, jangan sampai dia mencium rencana kita."
"Jika dia jatuh cinta?" tanya Janson.
"Dengan saya?" Anggukan Janson membuat Ersha tertawa terkekeh.
"Dia tak akan melakukan hal bodoh itu. Jatuh cinta dalam divisi kami adalah kebodohan, dan orang seperti Alvaro tak akan melakukannya. Dia sangat taat pada aturan bisnis ini. Jatuh cinta atau mencintai seseorang hanya akan menjerumuskan orang itu pada kematian," jelas Ersha.
Janson pun mengangguk dan dia mengerti dengan aturan tersebut. Namun, tak menuntut kemungkinan bukan? Terlebih lagi, sangat jarang ada perempuan seperti Ersha. Janson tak bisa berbohong, jika sosok Ersha memang memiliki daya pikat yang sangat kuat. Dia pastinya mudah disukai oleh kalangan seperti Alvaro. "Tapi, kalau hal itu benar adanya?" tanya Janson.
"Sebelum itu terjadi, dia akan mati lebih dulu."