Ersha bergerak cepat, dia mengikuti Alvaro yang melangkah pergi. Ternyata dia belum memahami pemuda itu, terbukti dengan banyaknya hal yang tak dia ketahui mengenai sosok tersebut.
Tak ada Alvaro di sana, tetapi mobilnya masih terparkir dengan rapi di depan bangunan tua itu. Saat Ersha akan berbalik, dia menemukan Alvaro keluar dari lorong yang menuju ke arahnya. Tanpa ekspresi, pemuda itu melewatinya begitu saja. Tak ada senyuman atau ekspresi yang berarti, dia seperti orang yang berbeda.
Anak buah Alvaro juga melewatinya begitu saja. Membuat Ersha hanya mematung di tempat, tak mengerti dengan apa yang dilihatnya. Ersha mengamati sekitar dia tak melihat ada yang aneh atau ada orang yang tengah mengawasi mereka. Akan tetapi, entah kenapa Alvaro seperti sosok yang berbeda.
"Ersha!"
Ersha melirik sekitar, dia menemukan Bisma dan juga Arka menyusulnya. "Kebiasaan banget suka ngilang gitu aja. Mau ke mana, sih?"
"Gak ada, gue cuma cari ... cari toilet."
Bisma dan Arka saling melirik.
Toilet?
Tentu saja itu hanya sebuah alasan tak masuk akal. Ini bukan pertama kalinya Ersha datang ke sana, jadi tak mungkin dia tak tahu di mana letak kamar mandi, yang justru membawanya keluar gedung seperti ini.
"Maksudnya tadi gue mau ke toilet, cuma tadi gue mau telepon ibu panti ngabarin gue pulang malam. Tapi gak ada sinyal, jadi—"
"Udahlah Bis, lo pengen banget tahu soal Ersha. Yuk, masuk lagi!" ajak Arka sembari menepuk pundak kedua temannya itu.
Ersha setuju dia mengangguk dan meminta Bisma untuk tak membahas soal itu lagi. "Yuk, nanti pertandingannya keburu selesai!"
"Oke-oke. Lain kali gue gak bakalan bebasin lo, gue bakalan introgasi lo yang suka banget ngilang."
"Iya-iya," ucap Ersha sembari menarik lengan Bisma dan Arka.
Sementara di sisi lain, Alvaro baru saja sampai di tempat pertemuannya. Namun, sosok yang kini berdiri gagah dengan tatapan membunuh itu bukanlah Alvaro, melainkan Saga. Xander adalah orang yang tak pernah disukai Alvaro, yang mana dia selalu menindaknya. Dan itu membuat Saga bangun dari tidurnya.
Xavier datang sembari tersenyum. Dia membawa beberapa berkas dan juga beberapa koper besar. Xavier menyapa, "Hai, Al. Bagaimana kabar kamu?"
"Ah, apa kau sudah berhasil meringkus Queen? Jangan bilang kau sama seperti yang lain, mundur sebelum berperang," cibirnya.
Saga tak menjawab, dia hanya mengamati Xavier dan juga semua orang yang ada di sana. Semua adalah anak buah Xavier, anak buah Alvaro tak diizinkan untuk masuk ke sana.
"Kenapa kau menatapku seperti ingin membunuh?"
"Jika iya?" tanya Saga.
Sontak gelak tawa Xavier pun terdengar menggema. Satu kalimat yang menurutnya lantang dan berani. Namun, tawa Xavier justru membuat sosok Saga semakin merasa muak.
Permainan yang selalu membuat Saga ingin segera menghabisi Xavier. "Kamu sekarang sudah pandai memberontak, ya."
"Siapkan diri Anda, jika suatu saat saya menghabisi Anda dengan kejam."
"Kau berani, Al?"
"Kenapa tidak?" tanya balik Saga.
Tak banyak yang tahu jika kini Xavier tengah berhadapan dengan seorang monster, yang siap kapan saja menerkam mangsa di depannya. Saga hanya mencoba tenang, seperti apa yang sering Alvaro lakukan.
Jika sudah tak terkendali, maka dia siap menghabisi siapa saja yang menyakiti Alvaro.
"Cukup berani kamu. Ayo, tanda tangan!" perintahnya.
"Untuk apa?"
"Lakukan atau—"
"Atau apa?" Kalimat itu kembali terdengar menantang, membuat Xavier tersenyum kecut.
Xavier melangkah mendekat, dia merapihkan kemeja hitam yang dikenakan Alvaro. Dengan tatapan penuh penekanan, Xavier meminta Alvaro untuk menandatangani berkas yang dia berikan. Xavier memukul wajah Alvaro dengan berkas itu.
Kini amarah Saga sudah memuncak, dia tak lagi bisa membiarkan makhluk seperti Xavier lolos begitu saja. "Atau kau akan mati. Kau tidak lagi berguna Al, selain tanda tanganmu itu. Kau hanya putra Rumi, bukan pemimpin sesungguhnya."
"Memangnya seperti apa pemimpin sesungguhnya yang kau maksud, Tuan Xavier?"
"Tentunya tak pengecut seperti kau!" ucap Xavier dengan lantang.
Siapa sangka, Saga membuka koper yang tergeletak di atas meja. Dengan satu gerakan cepat, dia menodongkan senjata jenis GS itu tepat di kepala Xavier.
"Seperti ini?"
Xavier tersenyum kecut, dia yakin kalau Alvaro tak akan melakukan kesalahan bodoh seperti itu. Namun, sekali lagi kalau Xavier tak tahu jika yang ada di hadapannya saat ini bukanlah Alvaro, melainkan Saga.
Ckrek ....
Peluru diaktifkan, membuat Xavier membulatkan mata. Kali ini, dia baru merasakan ketakutan yang sebenarnya. "Kau tidak mungkin melakukan hal bodoh ini, kan?"
"Kenapa tidak?"
"Al, tenanglah! Kau tahu kalau saya—" Saga kembali menekan ujung senjata api itu ke kepala Xavier, memberi isyarat kalau dirinya tak main-main.
Xavier memohon, tetapi tentu saja Saga tak akan mendengarkan omong kosong itu.
"Aku bukan Alvaro, jadi aku bukanlah pengecut," bisik Saga sembari mendorong Xavier menuju dinding.
Kepala Xavier ada di antara ujung senjata api dan juga tembok. Di sana juga terlihat menegangkan dengan todongan senjata dari para anak buah Xavier. Mereka tentunya berusaha melindungi majikan mereka. Namun, siapa sangka kalau tatapan dari Saga membuat mereka semua tak berkutik.
"Tarik pelatuk kalian kalau berani dan itu akan saya lakukan juga," ucap Saga mengancam.
"Apa yang Anda inginkan?"
Saga hanya tersenyum, dia kemudian berbalik dengan sangat cepat dan meluncurkan peluru ke semua kaki anak buah Xavier. Dengan senyuman membunuh itu, membuatnya terlihat begitu menakutkan. "Siapa kamu?!"
"Alvaro Rumi Maldini. Itu kan, yang kau tahu?"
"GS ada di bawah kendaliku, jadi jangan coba-coba untuk melumpuhkannya menggunakan namaku. Itu hanya akan membawamu ke neraka!" tegasnya.
"Sejak kapan kau bersikap gegabah seperti ini, Al?"
"Sejak kau menyebut pemuda baik ini sebagai pengecut. Aku diam bukan berarti aku mati, aku hanya terlelap dalam diri seorang pemuda baik seperti Al. Diam, ikuti aturan mainku, dan jangan coba-coba untuk memberontak. Kau dan kalian semua hanya akan mati. Mengerti?!" teriak Saga.
Saga melepaskan Xavier, tetapi saat dia akan pergi, Saga kembali berbalik dengan gerakan yang sangat cepat dan spontan.
Suara tembakan pun kembali terdengar menggema. Ya, Saga menarik pelatuknya dan mengarahkan peluru beracun itu tepat mengenai telinga Xavier. "Sebagai hadiah pertemuan pertama kita," ucapnya.
"Aarrrggghh, dasar sialan!" teriak Xavier yang kini terjatuh dengan cairan merah keluar dari hidung dan telinganya.
Peluru itu benar-benar menembus telinga Xavier, membuat laki-laki paruh baya dengan tubuh kekar itu tergeletak tak berdaya.
Seperti tak terjadi apa-apa, Saga melangkah dengan gontai dan santai. Dia tersenyum begitu para anak buahnya menatap ke arahnya. "Kenapa? Jangan menatap atau bola mata kalian kujadikan umpan ikan," ujarnya yang sontak membuat semua anak buahnya menunduk.
"Tuan Saga memang monster," ucap salah satunya.
Mereka semua kembali bergegas dan saat di mobil, Saga yang kelelahan kembali terlelap. Mata itu terbuka, memperlihatkan iris mata cokelat yang sangat menawan.
"Tuan, apa Anda baik-baik saja?"
"Hm, apa pertarungannya sudah selesai?" tanya Alvaro.
Anak buahnya mengangguk, mengatakan kalau mereka sudah keluar dari gedung pertarungan beberapa menit yang lalu. "Bagaimana dengan Ersha?"
"Perempuan itu sepertinya masih di sana."
"Kau membiarkan aku meninggalkannya?" tanya Alvaro.
"Anda yang melakukannya, bukan kamu." Terlihat Alvaro frustasi, dia mengacak rambutnya, lantas menatap suasana di luar jendela mobilnya.