Belum juga usai rasa kaget luar biasa karena bertemu dengan mantan pacar yang amat sangat dia benci, Giavana masih harus menerima kejutan berikutnya yang kali ini diberikan oleh ibunya sendiri.
"Nah, Vava kan baru lulus kuliah, bisa tidak kalau dia dimasukkan ke kantor Nak Vigo?"
Mata Giavana seketika mendelik ke ibunya. Bagaimana bisa ibunya setega itu malah menyodorkan dirinya ke si mantan. Yah, tapi setelah dipikir-pikir, dia tidak bisa menyalahkan sang ibu karena ibunya tak tahu menahu mengenai kisah masa lalu kelam dia dengan Ren alias Vigo.
"Sepertinya itu saran yang bagus," ucap Gyarendra sembari memberikan seulas senyum manis kepada ketiga wanita di sana.
Bu Jena dan Magdalyn mungkin tersenyum cerah menyambut persetujuan dari Gyarendra, namun tidak sama sekali dari Giavana. Wajahnya memucat secara perlahan membayangkan dirinya harus berada satu gedung dan mungkin satu kantor dengan orang yang sudah lama dia tepis jauh-jauh.
"Nak Vigo ini begitu baik sekali, Ibu sangat tak enak hati sudah merepotkan Nak Vigo." Bu Jena terus saja memuji Gyarendra atas kesediaannya menerima putri bungsu Beliau bekerja di perusahaan Gyarendra . "Padahal Vava ini masih fresh graduate, belum punya pengalaman kerja."
"Ahh, Ibu, jangan terlalu memikirkan hal semacam itu. Saya tidak perduli apakah fresh graduate atau bukan, yang penting mau dan memiliki niat untuk bekerja dengan baik serta rajin, bersama-sama membangun perusahaan untuk keuntungan bersama." Alangkah pandainya mulut gula-gula Gyarendra menimpali Bu Jena sehingga membuat wanita paruh baya itu makin terpukau dan Magdalyn makin tersipu bangga akan tunangannya.
"Ei! Aku ini kan belum mengiyakan!" Tak tahan, Giavana menghentikan omong kosong di depannya. Orang-orang pun mendadak melongo heran ke dirinya.
"Vava sayank, kamu itu butuh kerja, dear." Bu Jena mencoba menyadarkan anaknya. Beliau mengira sikap keras kepala si bungsu hanyalah dikarenakan idealisme Giavana semata yang tidak ingin bergantung pada bantuan siapapun untuk masa depannya.
Padahal lebih dalam dari itu!
"Ma, aku bisa cari kerja sendiri, tolong jangan—"
"Menurut Kakak sih tidak ada salahnya kamu mencoba bekerja di tempat Vigo." Magdalyn justru mendukung keinginan ibunya tanpa benar-benar sadar ada apa antara sang adik dengan tunangannya dulu.
"Benar." Gyarendra ikut bicara. "Kau bisa mencoba dulu, tidak masalah jika nantinya kau tidak betah, kau bisa keluar."
Wajah Giavana menjadi suram dan pias. Dia terus saja dihantam dilema. Bercerita yang sebenarnya atau tidak? Kalau bercerita, akan ada kemungkinan jantung kakaknya anfal dan itu bisa gawat, belum lagi sang ibu yang akan sangat kecewa. Tapi kalau tidak cerita, dia malah harus terus menerima tindakan mereka yang memaksa begitu padanya.
Sementara itu, mata Giavana tak sengaja menangkap sekilas senyum seringai dari mulut Gyarendra. Sialan! Apakah pria itu sangat menikmati aku dipojokkan begini gara-gara dia? Demikian umpat dia di benaknya.
Ketika Bu Jena hendak melanjutkan bujukannya ke si bungsu, Giavana lekas saja meraih ponsel di saku roknya dan bergegas menyingkir dengan alasan menerima telepon. Padahal ponselnya sama sekali tak mengeluarkan bunyi ataupun getaran.
"Halo? Oh ya? Ohh, baiklah, aku akan ke sana, oke! Sip! Tunggu, yah!" Giavana sengaja berbicara agak lantang meski menjauh dari mereka hanya supaya agar orang-orang itu mendengar dia menerima panggilan, padahal tidak.
Namun, akal bulus Giavana tidak berhenti di sana saja, sembari dia berpura-pura menerima telepon, sebenarnya jemari dia juga menekan salah satu fast dial di list ponsel dia yang dia yakini itu merupakan nomor temannya.
Benar saja, sesuai dengan perhitungan Giavana, tak berapa lama dia menyelesaikan adegan bercakap-cakap dan hendak memasukkan ponsel kembali ke dalam saku, ponselnya benar-benar bergetar.
"Ups! Sebentar, Ma, Kak!" Kali ini Giavana benar-benar mendapatkan panggilan. "Ya, halo? Ohh iya, aku sebentar lagi ke sana, kok! Oke! Tunggu, yah!" Lalu dia menyudahi telepon secara sepihak.
Sementara itu, di seberang sana, ada penelepon yang mengerutkan kening dengan heran. "Ini bocah lagi kesambet apa, sih? Kenapa nelepon lalu begitu ditelepon balik malah bicara tak jelas begitu?" Nada, salah satu teman yang dihubungi secara acak oleh Giavana tadi tak habis pikir dengan tingkah Giavana.
"Ma, aku harus ke tempat Nada, yah!" Tidak memperdulikan tatapan keheranan dari tiga orang di ruangan itu, Giavana bergegas berpamitan pada ibunya.
"Loh? Mau ke Nada? Untuk urusan apa, Va?" Bu Jena sampai heran.
"Ada yang Nada ingin bicarakan denganku. Penting, katanya!" Giavana bahkan tidak berganti pakaian yang lebih kasual dan bergegas menuju keluar rumah.
"Biar aku antar, yah!" Gyarendra menawarkan diri.
"Jangan! Kau sudah ditunggu-tunggu kakakku, tak perlu mengurusku." Giavana cepat menjawab Gyarendra. "Kak, have fun!" Ia mengerling jenaka ke kakaknya yang masih bingung.
"Loh! Vava! Vava!" teriak Bu Jena yang mengejar anaknya yang berlari keluar tak bisa dihentikan lagi.
"Coba kamu susul, Go. Aku khawatir malam-malam begini dia kok malah pergi begitu saja. Mau pakai apa dia ke tempat Nada?" Magdalyn tak bisa egois dan meminta tunangannya menyusul sang adik tersayang.
"Oke." Sudah pasti Gyarendra mengangguk. Dia pun bergegas keluar dan masuk ke mobilnya dan melajukannya menjauh dari rumah Bu Jena. Namun, sepanjang jalan mobil itu melaju pelan, tidak juga ada sosok Giavana terlihat di sisi jalanan kompleks.
Hal ini tentu saja membuat Gyarendra sangat bingung. Alangkah cepat sekali lari Giavana menuju gerbang kompleks yang masih jauh di sana! Apakah Giavana sebenarnya manusia super? Tidak mungkin, ya kan? Manusia super hanya ada di cerita fiksi fantasi saja, tentunya!
Terheran-heran karena tidak menemukan Giavana di sepanjang jalan ke arah gerbang utama kompleks, tangan Gyarendra meraih ponsel di saku celana dan menghubungi Magdalyn. "Sayank, kok aku tidak menemukan adikmu, yah?"
"Ohh, maaf Vig, baru saja dia menelepon katanya dia sudah bertemu taksi begitu keluar gang." Terdengar suara lembut Magdalyn menjawab keheranan dari Gyarendra.
"O-Ohh, baiklah. Aku kembali ke sana, yah!" Tak ada pilihan selain berbalik kembali ke rumah Bu Jena. Bagaimana pun, acara belum tuntas.
Saat mobil Gyarendra putar balik dan menderu meninggalkan jalanan sepi itu, tak berapa lama, muncullah sosok ramping dari balik kerimbunan tanaman penghias jalanan yang menjulang. Bajunya putih, namun tentu saja bukan si hantu tersohor itu.
"Fyuuhh!" Itu adalah Giavana yang baru saja bersembunyi. Padahal, kalau tidak karena terpaksa menghindari Gyarendra, dia mana sudi bersembunyi di area sepi di sana.
Namun, tak apa! Sesuatu hal memang terkadang butuh pengorbanan.
Kemudian, setelah yakin mobil Gyarendra tak terlihat lagi, Giavana lekas keluarkan ponsel dan menghubungi Nada. "Nad, malam ini aku bisa menginap di tempatmu?"
Di seberang sana, Nada menjawab telepon Giavana, "Duh, maaf yah Va, sepertinya untuk malam ini tak bisa. Soalnya … Widad sedang menginap di sini."
Muncul raut kecewa di wajah Giavana. Tapi, mau dikata apalagi? Tak mungkin dia meminta Nada mengusir pacarnya dari kontrakan hanya demi dia. "O-Ohh, oke." Ia pun sudahi panggilan itu.
Saat Giavana sedang bingung, mendadak dia mendapatkan panggilan. Mata Giavana terbelalak melihat nama di layar.