Apa pula ini? Giavana merasa dirinya sedang dipaksa namun dengan cara sangat halus dan tersamar. Sang kakak sepertinya paham bagaimana membuat dia patuh. Hanya dengan kata-kata yang membuat dirinya trenyuh, pertahanan Giavana pun luruh.
Masih terngiang kalimat terakhir sebelum sang kakak benar-benar keluar dari kamarnya. "Kakak sudah lama tidak jalan-jalan denganmu. Apalagi berbelanja ala bestie. Kamu kan bestie Kakak."
Dalam waktu beberapa menit berikutnya, Giavana sudah menjejakkan kaki rampingnya di ruang tamu. Celana jins dan kaos oblong putih menjadi pilihan dia untuk menemani sang kakak jalan-jalan.
Kepala Giavana tertunduk sambil dia menggenggam erat tali tas cangklong kecil yang dia silangkan di pundaknya.
"Wah, akhirnya kamu muncul juga, Va." Magdalyn tersenyum senang melihat kemunculan sang adik setelah lama menunggu.
Giavana mengangkat pandangannya untuk menemukan wajah tersenyum kakaknya dan juga senyum samar dari Gyarendra. Ingin sekali dia tonjok wajah lelaki itu. Apa-apaan senyum seperti itu ke dirinya? Atau sebenarnya lelaki itu sedang menyeringai? Ahh, entah. Sepertinya sama saja di mata Giavana.
"Duh, kok pakai celana dan kaos begitu, sih Va?" protes Bu Jena ketika melihat penampilan bungsunya. Sungguh kontradiktif dengan kakaknya yang memakai rok panjang dan kaos yang dilapisi cardigan rajut cantik.
"Tak apa, Ma." Magdalyn menyelamatkan suasana dan meraih pergelangan tangan adiknya sambil berkata, "Yuk!"
"Pamit pergi dulu, Ma." Gyarendra dengan tingkah sopannya berpamitan ke Bu Jena.
"Iya, Vigo, tolong jaga dua permata Mama itu, yah!" Senyum Bu Jena mengembang sempurna, tidak bantat, sembari melangkah ke teras mengikuti ketiga orang di depannya.
Magdalyn memeluk lengan adiknya, terlihat manja dan menggemaskan. Orang akan mengira kalau dia adiknya Giavana, bukan sebaliknya. Apalagi tubuh Magdalyn lebih kecil dan ramping dibandingkan Giavana, orang benar-benar akan salah kira.
"Baik, Ma." Vigo mengangguk sopan sebelum dia menutup pintu gerbang dan membiarkan Bu Jena di teras memandangi mereka yang menjauh dari rumah.
.
.
Selama perjalanan, Giavana merasa tubuhnya menegang kaku. Dia memang duduk di belakang, namun dia dengan jelas menyadari bahwa lirikan mata Gyarendra terus saja mencuri pandang ke arah dia melalui spion dalam.
Andai boleh, Giavana ingin sekali menyiramkan air ke mata mantannya itu dan berteriak agar lelaki tersebut fokus saja ke depan, tak perlu terus curi-curi pandang begitu ke dia.
Lagipula … apa-apaan berkelakuan begitu di depan kakaknya?! Apakah Gyarendra tak khawatir jika tingkahnya diketahui Magdalyn? Gila sekali lelaki satu itu.
"Tsk!" Tak sadar, decakan keluar dari mulut Giavana sembari dia mengalihkan pandangan ke luar jendela. Lebih baik menyaksikan keruwetan jalanan yang sedikit macet daripada memergoki calon kakak iparnya terus melirik diam-diam ke arahnya.
"Kenapa, Va?" tanya Magdalyn yang mendengar decakan adiknya.
"Ohh, nggak kenapa-kenapa, Kak. Hanya heran saja." Giavana berusaha tenang ketika menjawab meski sebenarnya kaget juga kakaknya mendengar decakan lirih dia.
"Heran kenapa?" kejar Magdalyn.
"Heran karena ada saja orang yang terus melirik-lirik ke aku, Kak." Giavana terkadang memang gemar memberikan sindiran ketika dia tidak bisa mengatakan sesuatu dengan terang-terangan.
"Ehh? Ada yang melirik-lirik kamu?" Magdalyn lekas memutar tubuh ke arah belakang. "Mana, Va?"
"Itu tadi … orang di motor belakang sana." Giavana menunjuk dengan dagunya secara asal saja.
"Motor yang mana?" tanya Gyarendra ikut memutar tubuh ke jok belakang untuk melihat Giavana.
"Entah tadi yang mana, sepertinya sudah jauh tertinggal." Giavana mengedikkan bahu dengan cepat, menyatakan sikap acuh tak acuh dia.
Mata Gyarendra mencari-cari ke arah belakang mobilnya, mencari mana pengendara motor di antara sekumpulan banyak di belakang sana yang dikatakan sudah melirik-lirik ke calon adik iparnya, seolah dia tidak terima.
Memang dia tidak terima. Gyarendra tak rela kalau ada yang menatap nakal ke Giavana. Di dalam hatinya, dia masih merasa bahwa Giavana adalah miliknya.
Namun, Gyarendra dan Magdalyn lupa, bahwa mobil yang mereka tumpangi ini memiliki kaca gelap yang tak mudah dilihat dari luar. Maka, sebenarnya tak mungkin ada yang bisa melirik ke Giavana.
"Oi, sudah mulai jalan, tuh!" Giavana bersuara agar kedua orang yang tengah mencari-cari di antara kerumunan pengendara motor yang berjubel di belakang mereka segera berhenti mencari dan kembali memutar badan ke arah depan.
Mau tak mau, Gyarendra pun kembali fokus pada kemudinya dan melajukan mobil yang mulai bergerak ketika kemacetan sedikit terurai.
Kembali lagi, Giavana menikmati pemandangan macet di sebelahnya. Dia mengamati satu demi satu motor yang ada di dekat jendelanya. Itu lebih baik daripada memergoki tatapan Gyarendra. Motor-motor di sebelahnya jauh lebih memikat ketimbang si mantan.
Setelah setengah jam lebih, kemacetan benar-benar terurai dan mobil pun bisa melaju di kecepatan biasa.
"Untung saja tidak terlalu lama macetnya, yah!" Magdalyn menoleh ke lelaki di sampingnya.
"Iya." Gyarendra membalas tatapan calon istrinya. "Apa kamu kelelahan?" Tangan lelaki itu meraih leher Magdalyn untuk memeriksa suhu tubuh perempuan itu lalu tangan beralih ke pipinya untuk mengelus lembut di sana.
Magdalyn menggelengkan kepala disertai senyum bahagia. Sungguh beruntungnya dia mendapatkan jodoh lelaki sebaik Vigo, demikian yang dia serukan di hatinya. "Enggak lelah, kok! Apalagi sekarang sudah ada Vava yang akan banyak menemani aku."
Mendengar namanya disebut, Giavana menoleh ke depan. "Hm? Kenapa, Kak? Kakak merasa tak enak badan?" Dia belum tahu percakapan apa yang terjadi antara orang di kabin depan sana.
Namun, ketika Giavana melihat tangan Gyarendra masih ada di pipi kakaknya dan kemudian tangan itu mengusap rambut panjang Magdalyn, dia ingin sekali berteriak: jangan sentuh kakakku dengan tangan jahatmu!
Sementara itu, Gyarendra malah melirik ke Giavana dengan seringaian. Dia tahu bahwa Giavana pasti kesal melihat dia bertingkah mesra pada Magdalyn.
"Kakak baik-baik saja, kok! Kakak malah makin merasa sehat dan bersemangat setelah kamu pulang begini, Va." Magdalyn menjawab tanpa menoleh ke adiknya.
"Ohh …." Giavana hanya berikan jawaban itu karena tak menemukan kalimat tepat lainnya.
Tak lama kemudian, mobil sudah sampai di sebuah mall besar. Melihat itu, Giavana tak bisa meredam keheranannya dan bertanya, "Kak, kamu yakin ingin ke tempat seperti ini? Apa nanti tidak kelelahan?"
Giavana ingat bahwa kakaknya dulu akan menghindari tempat-tempat besar dan banyak orang seperti mall. Selain akan membuat jantungnya lelah, sang kakak juga tidak menyukai suasana ramai banyak orang.
"Nanti kakakmu akan pakai kursi roda yang disediakan di sana." Gyarendra menjawab mewakili Magdalyn.
Rupanya begitu.
"Aku sekarang tidak anti lagi dengan mall, Va." Magdalyn menimpali dengan wajah senyumnya ke sang adik. "Ini semua berkat Vigo. Berkat perjuangan dia, aku jadi mulai nyaman pergi ke mall dan tempat ramai lainnya." Ia melirik calon suami dengan tatapan mesra penuh sayang dan juga terima kasih.
"Jangan memujiku terlalu tinggi begitu, sayank." Gyarendra mengelus pipi Magdalyn usai mobil diparkir. "Aku hanya ingin kau menikmati hidup tanpa perlu merasa khawatir akan apapun."
Giavana ingin sekali muntah melihat tingkah sok baik Gyarendra. Jika ini adalah film, ingin sekali dia skip bagian semacam itu.