Chereads / I'm (NOT) Yours [Indonesia] / Chapter 14 - Dijemput Paksa

Chapter 14 - Dijemput Paksa

Giavana dan Gauzan sudah meluncur ke sebuah kafe rakyat (kafe yang harganya merakyat) langganan mereka bersantai dulunya.

"Udah lama nggak ke sini. Kangen!" Giavana lekas menarik kursi sebuah meja kosong di sudut begitu dia menemukan spot terbaik yang tidak berpenghuni.

"Cuma kangen ke kafenya, nih? Yang nganter ke sini juga dikangenin, kan?" Gauzan ikut menarik kursi untuknya sendiri.

"Hah? Enggak, lah!" jawab lugas Giavana seraya menarik kertas menu yang sudah tersedia di sana. Matanya langsung membaca kertas ukuran folio berlaminating.

Sementara, Gauzan menahan kesal. Tapi, kenapa dia harus kesal? Bukankah sudah biasa jika mulut Giavana itu tajam selebor ke dia? Tak mungkin dia kesal hanya karena tidak dirindukan gadis di depannya itu, kan?

Mengabaikan Gauzan yang bermuka masam, mata Giavana masih tertuju ke kertas menu sambil berujar, "Ada yang baru di sini, nggak ya? Ahh, ini sepertinya aku baru lihat!" Jarinya menunjuk beberapa menu di sana yang benar-benar tak ada dulu semasa dia sering ke kafe tersebut.

Pelayan kafe datang untuk mencatat pesanan kedua orang itu dan setelahnya pergi.

"Ini yang traktir kamu, kan Zan?" tanya Giavana diiringi senyum kecil.

"Iya, iya! Bawel!" Gauzan menjawab ketus.

Tapi bagi Giavana, jawaban semacam itu hal biasa dia dengar dari lelaki di hadapannya ini. Dia tertawa kecil, "Hi hi ... kali aja kamu kepingin aku traktir."

"Kan aku tau, kamu itu bocah pelit, makanya gak berharap ada keajaiban ditraktir ama kamu."

"Ya ampun, tuh lidah makin tua makin terasah aja yah, Zan! Ck ck ck ... Ya udah, aku yang traktir deh kali ini."

"Gak usah!"

"Gak apa, Zan! Sebagai perayaan aku pulang kampung."

"Udah gak-" Suara Gauzan terhenti karena pelayan kafe sudah datang membawa minuman untuk mereka.

Setelah minuman datang, tak sampai satu menit berjarak, keluarlah pelayan lain yang membawa makanan pesanan kedua orang itu.

Setelah semua makanan terhidang, Giavana dan Gauzan mulai mengambil sendok dan garpu, bersiap untuk bersantap.

Baru saja Giavana menyuapkan suapan pertama, terdengar pertanyaan dari Gauzan, "Gi, itu tadi calon kakak iparmu, kan? Kok kayak galak nian, yah? Dia kayak nggak suka aku, tatapannya membunuh!"

"Sshhh ... Zan, kalo makan dilarang sambil ngobrol." Giavana malas membahas Gyarendra, maka dari itu dia memberi kelitan demikian.

"Halah congor kau, Gi. Bukannya dulu kau biasanya gak cuma ngobrol tapi juga ngakak pula waktu makan di sini?"

"Itu kan dulu, Zan. Sekarang aku adalah manusia yang bertobat."

"Congormu, Gi."

"Ihh, Ojan kok kasar gitu, sih ngomongnya ke aku?"

"Jangan panggil Ojan, napa?"

"Ya makanya kamu juga jangan ngomong kasar ke aku, dong ...."

"Lah, biasanya juga bahasa kita ngobrol kan gitu. Kenapa kau sekarang sok-sokan tersinggung, sih? Udah lemah hayati?"

"Enggak begitu, Zan. Aku selama kuliah kan terbiasa mendengar kata-kata indah dan bersahaja."

"Halah, telor cicak sok iya banget sekarang!"

"Hi hi hi ... udah, udah, yuk kita habiskan makan dulu." Giavana makin beralasan setelah berhasil mengalihkan topik mengenai Gyarendra.

Hingga akhirnya makanan dan minuman pesanan keduanya ludes, Giavana malah mengangkat topik lainnya untuk diobrolkan. Apapun, yang penting bukan tentang Gyarendra.

Gauzan tidak menyadari itu dan terbawa obrolan yang disetir Giavana.

Hingga akhirnya Giavana mengajak pergi dari sana. Keduanya pun beranjak dari kursi dan menuju kasir untuk Gauzan membayar semuanya.

Selesai di kasir, keduanya berjalan ke arah motor Gauzan terparkir.

"Tukang parkirnya mana, sih?"

"Tenang aja, Zan, bentar lagi juga pasti nongol secara gaib kalo tau ada yang mo keluar. Biasanya gitu, kan?"

"He he ... iya juga, sih! Ya udah, ayok kita cabut aja. Kalo kang parkir gak butuh duit, ya udah." Gauzan mulai menaiki motornya diikuti Giavana di belakang dia.

Baru saja motor meluncur keluar dari area parkiran kafe, masih belum 1 meter jauhnya, mendadak saja motor Gauzan dihadang sebuah mobil yang berhenti di samping mereka.

Mata Giavana langsung memutar jengah ketika menyadari mobil siapa itu gerangan. Dia heran, kenapa lelaki itu bisa menemukan lokasi keberadaannya? Apakah ada alat radar ditempelkan di tubuhnya tanpa dia tahu? Atau lelaki itu membajak satelit untuk mengetahui ke mana saja dia pergi?

Gyarendra keluar dari mobil dan berjalan ke Gauzan dan Giavana yang masih tetap duduk di atas motor. "Va, ayo aku antar pulang."

"Nggak mau." Penolakan tegas keluar dari mulut Giavana disertai palingan pandangan ke arah lain, tak ingin menatap lelaki di sampingnya.

"Va, kamu harus pulang denganku. Jangan keras kepala." Gyarendra memaksa.

"Atas dasar apa kamu maksa gitu ke aku?" Terpaksa, Giavana menoleh disertai tatapan sengit ke Gyarendra.

"Mama yang minta aku untuk susul kamu dan bawa kamu pulang." Memakai ibunya Giavana sebagai senjata pemaksaan, Gyarendra berharap Giavana gentar dan patuh.

"Gak mau. Bilang ke mama kalo aku masih ingin pergi main ke tempat Nada!" ketus Giavana tak mau gentar, apalagi patuh.

Seenaknya saja lelaki itu hendak memaksa Giavana ikut pulang dengannya. Memangnya apa derajat lelaki itu hingga bisa memaksakan kehendaknya ke Giavana? Ohh, derajat calon ipar. Giavana hampir lupa. Dia malah terpikir mengenai Gyarendra sebagai mantan, bukan calon kakak ipar.

"Tak boleh main lagi, Va. Ini sudah malam, ayo aku antar pulang saja." Gyarendra masih bertahan dengan keinginannya. "Ini mama kamu sendiri yang ingin kamu pulang bersama aku, loh Va."

Sementara itu, Gauzan bingung, melongo di joknya, menyaksikan adegan bagaikan drama antara Giavana dan calon kakak iparnya.

Gauzan tak tahu harus berbuat apa dalam situasi aneh begini.

Situasi Gauzan benar-benar terjepit bagai pelanduk di tengah dua kingkong sedang berdebat. Dia tak mungkin bertindak keras ke Gyarendra karena itu calon kakak ipar Giavana. Andaikan Gyarendra bukan orang penting, dia tak ragu untuk melayangkan tinju sekalipun ke wajah lelaki pemaksa itu.

Karena melihat Gyarendra terus saja gigih memaksa Giavana pulang bersama mobilnya, dia pun angkat bicara, "Gia, mendingan kamu pulang dengan kakakmu ini, deh!" Ia rela mengalah dan menyuruh sahabatnya ikut calon iparnya.

Tapi Giavana justru melotot galak menatap Gauzan. "Jangan ikut-ikutan, deh Zan!"

Gauzan mengerut seketika, merasa tak enak hati karena sudah ikut campur permasalahan keluarga di depannya. Padahal maksud perkataan Giavana tidak demikian. Gadis itu hanya tak mau Gauzan ikut-ikutan memaksa dia pulang dengan Gyarendra.

"Iya, maaf, Gi. Aku-"

"Pokoknya aku pulang bareng kamu, Zan!" potong Giavana cepat tanpa membiarkan Gauzan menyelesaikan kalimatnya. "Kalo perginya bareng kamu, yah pulangnya juga harus ama kamu, Zan, paham?" Di akhir kata, Giavana melirik sengit ke Gyarendra.

"Va, jangan begitu. Ini permintaan mama kamu." Gyarendra masih saja menjadikan nama Bu Jena sebagai alasannya.

"Aku tanya kamu, emangnya apa perintah mama?" tantang Giavana.

"Yah, mama sih bilang supaya aku menjemput kamu pulang agar nggak kemalaman." Gyarendra agak ciut juga didesak Giavana. Sebenarnya, Bu Jena sama sekali tidak memberikan perintah apapun padanya, hanya berharap Giavana tidak terlalu malam perginya.

"Oke, berarti mama kepingin aku cepat pulang, ya kan?" Tatapan sengit Giavana masih jelas terarah ke Gyarendra.

"Ya." Gyarendra mengangguk.

"Fine! Sekarang juga aku pulang! Ayok, antar aku, Zan!" Giavana menepuk bahu sahabat lelakinya.

Mata Gyarendra melotot kaget.