Giavana sedang menikmati acara jogging dia di GOR dekat kompleks perumahannya ketika tiba-tiba saja dia mendapatkan sergapan tak terduga dari Ren yang muncul secara mengejutkan di sampingnya ketika dia sedang berlari di putaran keenam.
Gyarendra memaksa memeluk Giavana, meski gadis itu terus menolak dan meronta, Sayang sekali saat itu keadaan di belakang gedung GOR sedang sepi tak ada pelari lain yang lewat. Apakah Ren sudah mengkalkulasi situasi ini?
Giavana terus saja berontak hingga Gyarendra gemas campur kesal dan memaksa hendak mencium gadis itu.
Bukk!
Sekejap saja, tendangan kaki Giavana sudah berlabuh di area perut bawah Gyarendra sehingga lelaki itu merintih dan tubuhnya melengkung bagaikan udang ketika memegangi selangkangannya.
Giavana puas ternyata tendangan darinya cukup akurat di area yang dia inginkan. Tak ingin melepaskan kesempatan, dia segera berlari meninggalkan Gyarendra.
Lelaki itu melihat Giavana pergi, dia menguatkan diri untuk mengejar Giavana.
Sayang sekali, mendadak dari arah tikungan, muncul rombongan orang-orang berjumlah cukup banyak, menjadikan Gyarendra kesusahan bila ingin memerangkap Giavana lagi.
Bagi Giavana, rombongan orang-orang tadi sungguh merupakan penyelamat baginya. Ia berlari sekencang yang dia mampu untuk memperpanjang jarak dia dan Gyarendra.
Setelah merasa Gyarendra tak lagi terlihat di belakangnya, Giavana bergegas pergi ke parkiran dan mengambil sepedanya. Lebih baik dia lekas keluar dari GOR ini dan pulang! Di situ sudah tidak aman setelah kemunculan Gyarendra.
Giavana mengayuh sepeda secara gila-gilaan hingga nyaris terserempet motor beberapa kali karena paniknya. Untung saja dia cantik sehingga hanya mendapatkan decak kesal para lelaki pengendara motor tadi.
Sesampainya di rumah, dia buru-buru melemparkan sepeda ke teras depan dan masuk rumah lalu mengunci diri di kamar, meringkuk cemas di sudut kasur.
Bu Jena sempat melihat putrinya masuk kamar secara terburu-buru dan mengejar. Namun, ternyata kamar si bungsu sudah terkunci. "Va? Vava? Hei, Vava? Kamu kenapa, sayank? Va?"
Tak ada jawaban.
"Ada apa, Ma?" tanya Magdalyn yang baru saja selesai mandi dan keluar kamar.
"Adikmu ini, loh! Tadi dia jogging di GOR dan ini kok tiba-tiba pulang langsung masuk kamar, dikunci pula! Kenapa yah dia? Jangan-jangan ... ada yang berbuat jahat padanya!" Bu Jena jadi panik ketika dia memiliki asumsi di kepalanya.
"Hah? Masa sih, Ma?" Magdalyn ikut cemas.
"Iya! Tadi pakaian adikmu itu terlalu pendek. Apalagi dia itu cantik, mulus, pasti banyak yang kepingin macem-macem padanya. Duh, padahal Mama sudah suruh dia ganti baju, tapi dianya malah keras kepala!" Bu Jena menjelaskan situasi sebelumnya.
Mendengar itu, Magdalyn makin cemas. Dia menggedor keras-keras pintu kamar adiknya sembari memanggil terus nama sang adik. Dia dan Bu Jena seketika merasa sangat khawatir. Jika benar Giavana mendapatkan perlakuan tak pantas di luar, apa yang harus mereka perbuat?
Ketika gedoran pintu sudah bertubi-tubi, barulah terdengar bunyi kunci diputar dan kenop pintu juga bergerak. Kemudian muncullah wajah Giavana dari balik pintu. "Kalian ada apa, sih? Heboh sekali dari tadi. Aku sedang di kamar mandi." Ia menggerak-gerakkan handuk di kepala yang basah."
"Dik, kamu nggak apa-apa?" Pancaran raut cemas ada di wajah Magdalyn.
"Vava, kamu kenapa, Nak? Kamu ada yang luka? Ada yang jahat ke kamu?" berondong Bu Jena, tak kalah cemasnya dari si sulung.
Namun, reaksi wajah Giavana malah melongo dan bingung. "Kalian ini ... ngomong apa, sih? Memangnya aku kenapa?"
"Vava, kamu baik-baik saja?" Dua tangan Bu Jena memegangi lengan si bungsu sambil matanya memindai Giavana dari atas hingga bawah.
"Aku ya begini ini, Ma, baik-baik saja." Jawaban Giavana terdengar natural selayaknya orang yang kebingungan karena tak tahu kenapa dirinya dicemaskan.
"Lalu, kenapa kamu buru-buru masuk kamar dan menguncinya, Vava?" Bu Jena sudah ingin menangis saja. Jika terjadi sesuatu yang buruk terhadap anaknya ini, dia pasti tak akan bisa tahan. Dunia Beliau bisa runtuh!
"Ohh, itu ... he he ... umm ... anu ... tadi aku cepirit, Ma." Giavana beralasan. Ia terkekeh sambil menggaruk rambut setengah basahnya.
"Cepirit?" tanya Bu Jena dan Magdalyn serempak tanpa dikomando.
Kepala Giavana mengangguk sambil dia mengulum senyumnya. Kemudian dia melanjutkan bicara, "Iya, tadi waktu di tengah-tengah acara jogging nih, aku malah tiba-tiba mulas, tapi aku pikir hanya mulas biasa. Ehh, ternyata makin menjadi, dan malah jadi cepirit ketika aku naik sepeda untuk pulang buru-buru. Makanya aku langsung masuk kamar dan bersih-bersih tuntas. Maaf, yah bikin kalian cemas, he he ...." Tak lupa cengiran juga diberikan sebagai penguat alasan.
Bu Jena dan Magdalyn termangu di tempat mereka berdiri usai mendengar cerita penjelasan dari Giavana. Penjelasan macam apa itu? Tapi ... masuk akal juga! Yang namanya insiden macam cepirit memang tak bisa diprediksi dan tak bisa terlalu lama di tahan.
"Ohh, ternyata karena cepirit, Ma." Magdalyn akhirnya terlihat lega. "Bontot malu-maluin ihh, cepirit di celana. Orang di dekatmu tadi tutup hidung segala, nggak Va?" godanya pada sang adik.
"Ha ha ha ... aku malu lah tanya ke mereka. Yah, palingan mereka cuma natap curiga ke aku, sih, mwaha ha ha!" pungkas Giavana diiringi tawa lepas kebiasaan dia.
"Tsk! Bocah ini! Mama sampai hampir pingsan gara-gara kamu!" Bu Jena menepuk kesal lengan putrinya.
"Auwhh! Ihh, Mama malah KDRT ke aku, nih Kak!" Giavana melirik Magdalyn. Tapi mereka tahu, dia hanya bercanda saja.
Setelah semua penjelasan itu, Giavana kembali masuk ke kamarnya dengan alasan hendak mengeringkan rambut.
Di kamar, Giavana mendesah lega. Untung saja tadi dia langsung bergerak cepat untuk membuat skenario cepirit, bahkan masih sempat membasahi kepalanya dengan air ala kadar di kamar mandi, tak lupa berganti pakaian pula untuk mendukung alasannya.
Dia belum sanggup memberitahu keluarganya mengenai ulah Gyarendra, terlebih ulah brengsek lelaki itu pagi ini ke dirinya. Bagaimana mungkin dia mampu menceritakan ke mereka apa yang telah dilakukan calon menantu idaman kepada dirinya? Bisa-bisa tak hanya kakaknya yang anfal tapi ibunya juga bisa terkena serangan jantung pula.
Oleh karena itu, Giavana masih terus bergulat dengan pikirannya. Ia masih saja mempertimbangkan perasaan dan juga kesehatan kakak tercinta dan ibunya yang sudah mengidolakan Gyarendra bagaikan dewa tanpa cela.
Suatu hari nanti, jika dia sudah menemukan waktu yang tepat, dia pasti akan mengungkapkan semuanya. Ya, semuanya.
Tapi ... akankah hari itu datang?
Pada malam harinya, bagaikan sebuah rutinitas yang ada di rumah ini beberapa bulan belakangan, Gyarendra datang untuk menjenguk Magdalyn. Hanya, kali ini dia agak dini tiba di rumah Bu Jena. Ketika bertemu Magdalyn, dia bertanya, "Mana adikmu? Apa dia pergi lagi?"
"Ohh, dia ada di kamar sejak siang. Kenapa, Vig?" Magdalyn menjawab dengan mata berbinar. Gyarendra selalu membuatnya kagum dan terpesona. Tampan, sopan, berpendidikan baik, memiliki attittude yang bagus pula, dan penyayang.
"Ohh, aku ingin mengajak kalian semua makan malam di luar. Apa kalian sudah makan?"