Giavana dengan entengnya masuk ke dalam apartemen Nada sambil berseru santai memanggil pacar Nada. Meski sebenarnya si pacar bernama Widad, tapi dia dengan seenaknya mengganti menjadi Boim.
"Astaga, Gia, mau sampai kapan kamu manggil aku kayak gitu, sih? Kita kan udah enggak bocah SMA lagi, please!" Widad alias Boim keluar dari kamar dengan celana boxer selutut dan kaos pas badan, memperlihatkan lekuk otot-otot maskulinnya lebih jelas.
"Dih! Mentang-mentang udah kagak di kontrakan lagi, trus nama jadi berubah lebih bagus, begitu? No, no, no … Boim tetap Boim!" Giavana segera hempaskan pantatnya ke sofa ruang tengah tanpa ragu-ragu.
"Biasakan aja ama kelakuan si kucrit satu ini, yah Wid!" Gauzan sudah menyusul masuk dan duduk di sebelah Giavana dan mengangkat satu kaki ke paha lain dengan gaya ala lelaki. Widad ikut duduk tak jauh dari keduanya di sofa tunggal.
"Iya, nih bocah! Seenaknya ganti-ganti nama orang." Nada duduk di sandaran tangan sofa yang diduduki Widad. Segera lengan Widad melingkar pada pinggang ramping Nada.
"Yee, nama dia kan Widad Bomantoro, benar kan? Maka nama Boim ada kaitannya, sudah pastilah!" Giavana bersikeras. "Lagipula, udah dari jaman SMA aku manggil dia Boim dan dia pasrah aja, tuh! Ya, kan Boim?"
"Kaitan apanya dari Bomantoro ama Boim, setan!" Nada membela pacarnya.
"Sudah, yank, sudah … biarkan saja." Widad menepuk-nepukkan tangannya ke pantat atas Nada. Terlihat karakter kalem Widad menguar dengan indahnya meski menghadapi Giavana yang sembrono.
"Ehh, apa kagak ada minuman atau cemilan, nih? Masa sih tamu nggak dijamu dengan layak? Gih! Keluarkan yang enak-enak, sini!" Giavana seenaknya saja berceloteh.
"Kita seperti kedatangan setan atau demit, iya nggak sih, yank?" tanya Nada ke Widad. Si pacar hanya terkekeh santai.
"Sama aja setan ama demit, Nad!" Gauzan menimpali.
Kemudian, Widad pun bangkit dari sofa. Ketika ditanya hendak ke mana oleh Nada, dia menjawab, "Mau bikin kopi sianida ama masak keong racun untuk tamu kita, hahaha! Udah, kamu di sini aja temani mereka dulu."
Sepeninggal Widad ke dapur, Giavana segera berkata, "Awet juga hubungan kalian sejak dari SMA, yah!"
"Woohh … siapa dulu, dong!" Nada terlihat bangga ketika menyahut.
"Halah! Padahal dulu juga putus nyambung terus, ampe kita bosan, yah Zan kalo dengar mewekannya Nada tiap putus ama Boim." Giavana menoleh ke samping, Gauzan mengangguk-angguk.
"Yo-i! Malah aku pernah sekali nantang kelahi Widad gara-gara Nada bilang Widad boncengin cewek lain, ternyata itu tantenya, anjiirr! Malu banget aku waktu itu! Sialan kau, Nad!" Gauzan teringat akan kisah masa dulu.
"Hahaha!" Nada tertawa lepas. "Yah, gimana enggak syok dan cemburu, tiba-tiba ada teman yang fotoin Widad lagi boncengin cewek dewasa, dandanannya wow pula! Siapa sih yang nggak panas terbakar kalo liat foto pacar macam itu?"
"Lain kali selidiki dulu lah kalo dengar gosip apapun itu, kampret!" Gauzan jadi sedikit kesal ketika mengenang masa lalu kala itu.
Melihat muka kesal Gauzan, Nada malah tertawa santai. "Haha, iya, iya, maaf! Sekarang udah enggak putus nyambung lagi, kok! Sekarang lancar jaya!"
"Gila juga kau, Nad, dari rumah kontrakan burik, sekarang ke apartemen lumayan mentereng begini. Dapat lotere, yah kau?" Giavana mengelilingkan pandangannya ke sekitar tanpa beranjak dari sofa.
"Yah ini gara-gara mamak sablengku itu!" rutuk Nada seenaknya.
"Heh! Durhaka sekali kau! Mamak sendiri dibilang sableng." Giavana menendang kaki Nada yang berada dekat dengannya.
Nada malah terkekeh dan berkata, "Gimana enggak sableng, sih … udah tua gitu, masih bisa gaet cowok untuk jadi suami baru."
"Wow! Jadi, mamamu udah nikah lagi sekarang? Dah ada lakik baru?" tanya Giavana dengan mata sedikit melebar karena kaget. Dia belum mendengar cerita bagian ini dari Nada.
"Haha! Iya, mamak udah nikah lagi setelah bolak-balik pacaran sejak menjanda. Dan suami barunya ini kebetulan pria gaek tajir, makanya sekarang aku bisa punya apartemen ini. Apalagi aku juga janji lanjutin kuliah, makanya dibeliin apartemen ini." Nada tidak menutup-nutupi ini di depan kedua sahabatnya.
"Duhai! Hanya untuk bikin kau lanjut kuliah, apartemen ampe jadi iming-imingnya! Ckckck …." Giavana tidak bisa tidak berdecak kagum atas keberuntungan sahabatnya.
"Memangnya bapak barumu kerjanya di mana, Nad? Kok bisa seroyal itu ama anak tirinya?" Kali ini Gauzan yang bertanya.
"Nah, benar tuh, Nad! Bapak kau ini kerjaannya apa sampai bisa melintir begitu tajirnya? Mau dong kalau aku ikut kerja ama Beliau! Mumpung masih fresh graduate, nih!" Giavana menyambar.
"Bokap? Dia juragan sapi ama kambing," jawab Nada. "Mau kerja ama dia? Gih, sana ke peternakan dia, kasi makan sapi ma kambingnya, sekalian buangin kotoran-kotoran mereka juga, dah!"
"Sialan!" Giavana mengutuk. "Ogah banget dah kalau harus sampai semenderita itu kerjanya." Dia bersungut-sungut dan ditimpali tawa puas Nada dan Gauzan.
"Ngobrol asik apa, nih? Ketawanya ampe kedengaran di dapur, loh!" Widad keluar membawa nampan berisi 4 mug cokelat hangat dan sepiring kecil roti tart yang telah dipotong-potong meski belum dibagi.
"Biasalah Gia. Dia pengen kerja di peternakannya bokap, ngasih makan ama bersihin kotoran sapi." Nada menyahut pacarnya.
"Ehh, enggak yah!" sangkal Giavana cepat.
Nada tertawa sambil membantu mengedarkan mug cokelat dan sekalian juga membagi-bagi piring kecil untuk wadah tart tadi. "Ini roti yang di kulkas, yank?"
"Iya, yang aku buat kemarin itu." Widad mengangguk.
"Ini buatan Widad?" Gauzan segera mengambil piring kecil berisi potongan roti cokelat dengan topping cokelat pula. Segera, dia masukkan potongan kecil roti ke mulutnya, tanpa memakai garpu meski sudah disediakan. Matanya melebar ketika berseru. "Hm! Enak! Ini beneran enak, Wid!"
"Dih! Dasar barbar!" ledek Giavana ke Gauzan dan dia mengambil potongan kecil roti bagiannya menggunakan garpu. "Yang elegan kayak tuan putri begini, dong!"
"Prett!" timpal Gauzan.
"Hm! Anjer, Boim! Kau pintar kali bikin roti!" Mata Giavana membelalak lebih lebar ketimbang Gauzan tadi sambil senyumnya merekah lebar.
"Muka kau, elegan!" sindir Gauzan sambil menoyor kening Giavana.
"Tsk! Apa sih, Zan! Sirik saja kau ini!" Giavana melirik judes ke Gauzan sebelum dia masukkan lagi potongan lainnya ke mulut dengan gerakan anggun. "Hm … ini beneran enak, kok! Weleh, Boim … kau ini sudah tampan, bodi atletis oke, tinggi tegap, ramah lingkungan, dan pinter masak, pula! Kayaknya kamu terlalu baik buat Nada, deh!"
"Ehh, setan! Muncung kau minta diuleg?" Nada berkacak pinggang sambil melotot.
"Hahaha! Ini kan fakta, Mpok Nada!" Giavana menutupi mulutnya yang masih mengunyah roti cokelat. "Boim, kamu nggak nyesel ama Nada? Dia ini udah cerewet, bawel, nggak bisa masak, nggak bisa nyuci, apalagi nyapu. Pfftt!"
"Mendadak aku menyesal deh biarin kamu masuk ke sini, Gi!" protes Nada dengan mata masih melotot gahar ke Giavana. Tapi Giavana tahu kalau sahabatnya hanya berlakon saja, tidak serius marah.
"Hahah! Eh, Boim, yang versi kayak kamu masih ada lainnya, gak?" tanya Giavana sembarangan, mengakibatkan Nada mencubit lengannya karena gemas.
"Ada." Widad tersenyum bijak.
"Mana? Kenalin ke aku, dong!" Mata Giavana segera berbinar senang. Daripada berkutat dengan mantan brengsek yang terus mengganggu, alangkah baiknya kalau dia punya pacar yang sehebat Widad, ya kan? Siapa tahu nanti akan membuat Gyarendra mundur.
"Kamu sudah kenal, kok!"
"Siapa, Im? Siapa?"
"Lha itu, orangnya ada di sebelah kamu, Gi."
Mata Giavana langsung secara otomatis menoleh ke Gauzan. "Hah?"