Magdalyn mendatangi adiknya yang sedang mencuci dalaman di halaman samping dan berkata, "Vigo datang untuk bertemu kamu, Va. Dia ingin mengatakan sesuatu. Sana, temui dia." Tak lupa senyum lembutnya akan menyertai ketika berbicara.
Sudah pasti Giavana enggan. Matanya berputar jengah sebagai respon awal. Lalu dia berkata, "Malas, ahh Kak! Suruh saja dia bicara melalui Kak Lyn. Aku sedang tanggung mencuci, nih Kak!" Kemudian dia kembali menjejalkan headset-nya kembali ke telinga, tanda dia sudah tidak ingin diganggu. Magdalyn paham dengan kebiasaan adiknya yang ini.
Karena itu, Magdalyn tidak bisa berbuat apa-apa selain kembali ke depan untuk menemui tunangannya. Sedikit banyak dia memahami bahwa adiknya masih marah mengenai hal semalam. Yah, itu wajar karena Gyarendra pun agak keterlaluan.
Melihat sulungnya lewat usai dari arah halaman samping, Bu Jena pun berjalan ke tempat bungsunya mencuci. "Va, kenapa enggak menemui calon kakak iparmu?"
Karena ibunya berdiri di depannya langsung, mau tak mau Giavana melepas lagi headset dari telinganya dan menatap ibunya. "Ma, memangnya apa pentingnya sih dia datang menemui aku?"
"Loh, Va … dia itu menyempatkan waktu sibuk dia untuk menemui kamu, untuk minta maaf soal yang semalam itu. Kenapa kamu tidak—"
"Ma, apa setiap keinginan dia harus dituruti, sih? Kenapa dia seperti penguasa diktaktor? Kalian juga … selalu aja memaksa aku untuk menuruti ini dan itu yang berkaitan dengan dia."
Bu Jena terdiam, tak bisa memberikan tanggapan apapun. Kalimat blak-blakan dari putri bungsunya menohok di hati Beliau. Meski begitu, Beliau masih berusaha agar Giavana bisa melunak. "Bukan memaksa kamu, sih Va, tapi sebagai keluarga … yah, calon keluarga, deh … kan alangkah baiknya kalau memiliki hubungan yang baik, yang harmonis dan tidak perlu ada keributan."
"Malas ah, Ma, kalau dengan orang seperti itu. Nggak ada jaminan dia bisa jadi anggota keluarga yang baik." Tangan Giavana sembari mengucek celana dalam mungil warna merah marun.
Namun, sepertinya Bu Jena belum sepenuhnya menyerah. Dia masih berharap bisa melunakkan hati keras anak bungsunya."Jangan suka berburuk sangka begitu, Va. Tidak baik."
"Ini tidak berburuk sangka, kok! Sudah terbukti dengan jelas di depan mata! Dia—" Giavana segera menghentikan ucapannya. Astaga, hampir saja dia memburaikan aib Gyarendra di masa lalu hanya karena dia sedang kesal saat ini dan terpicu.
Astaga, kalau sampai tadi dia tidak lekas berhenti bicara, akan seheboh apa ibunya. Mungkin pingsan di tempat. Itu akan merepotkan dia, Giavana membatin. Tubuh ibunya agak berisi, makanya akan sangat merepotkan Giavana jika dia harus membopong sang ibu ke kamar kalau pingsan.
Sayangnya, Bu Jena terlanjur mendengar itu dan mengejar untuk meminta kelanjutan ucapan putrinya, "Dia kenapa, Va? Vigo terbukti apa?"
Bola mata Giavana bergerak gelisah dan dia tundukkan kepala untuk menghindari tatapan ibunya.
"Va, Vigo kenapa memangnya? Apanya yang sudah jelas?" Bu Jena masih terus mengejar karena ini menyangkut calon menantu kebanggaan Beliau.
Giavana harus lekas mencari kelitan yang jitu. Dia memutar otak secepatnya dan mengangkat kepala untuk mempertemukan pandangannya dengan sang ibu dan berkata, "Ohh … ehh … itu, loh Ma … semalam kan dia sudah sangat jelas terlihat kalau dia orang yang arogan dan sok kuasa. Itu yang mau aku bilang tadi, Ma."
Yah, sepertinya itu terdengar sebagai kalimat yang tepat untuk diberikan ke ibunya. Giavana lega bisa cepat menemukannya.
Usai mendengar penjelasan putri bungsunya, Bu Jena segera menyahut, "Ihh, jangan karena kekeliruan tak disengaja malah membuat kamu menyimpulkan secara keseluruhan, Va. Itu tetap saja namanya kamu berburuk sangka, sayank. Tak baik, ahh!"
Susah! Benar-benar susah membuka pintu kesadaran ibunya. Giavana berpikir demikian. Rasanya tidak akan mempan kalimat buruk apapun mengenai Gyarendra jika disampaikan di depan ibunya. Bu Jena sudah terlalu terpukau dengan segala fatamorgana yang dibawa Gyarendra sehingga pesona dan karisma lelaki itu sudah terlalu mengakar di hati Beliau.
Tapi, apakah Giavana hendak mencoba dengan menceritakan mengenai kebusukan Gyarendra selama menjadi pacar dirinya dulu? Apakah ibunya masih akan bebal dan tidak melunturkan imej lelaki itu di hati Beliau? Tidak, tidak, Giavana tak mau bereksperimen mengenai hak tersebut.
Yang akan runtuh dan hancur jika dia menceritakan mengenai kebusukan Gyarendra tak hanya ibunya, tapi juga kakaknya, itu sudah pasti. Dia sudah kehilangan ayahnya dan itu sangat memukul dirinya waktu itu. Kini, dia tak ingin kehilangan orang-orang tersayang lagi.
Mengerti bahwa putri bungsunya masih belum pulih dari rasa marah akan kejadian di restoran seafood semalam, Bu Jena pun memilih untuk menepi dulu sampai Giavana bisa lebih tenang untuk dibujuk.
Semua orang di rumah itu sudah paham akan watak keras kepala Giavana, terlebih jika sedang marah, akan susah dibujuk dan butuh beberapa waktu sebelum nantinya Giavana akan reda sendiri.
Berdasarkan akan kebiasaan itu, makanya Bu Jena pun pergi meninggalkan sang putri di halaman samping meneruskan mencuci dalaman. Lebih baik Beliau menemui Gyarendra di depan sana.
Saat Bu Jena sudah tiba di ruang tamu, ternyata Gyarendra memang masih berada di sana bersama Magdalyn. "Nak Vigo, Mama minta maaf yah kalau Vava agak susah dibujuk. Dia itu keras kepala."
Gyarendra melihat calon mertuanya dan hanya tersenyum simpatik dan kemudian bicara, "Ahh, tidak mengapa, Ma. Ini juga salah aku yang terlalu ingin melindungi Vava. Yah, bagaimana pun, dia akan menjadi adikku, makanya aku tidak ingin dia berhubungan dengan lelaki sembarangan."
Mata Bu Jena menunjukkan haru dan pemujaannya ketika dia mendengar kalimat Gyrendra. Lelaki ini sungguh sangat baik dan pantas dimuliakan. "Nak Vigo ini sangat perhatian ke keluarga ini. Mama seperti mendapat durian runtuh, jenis montong pula!"
Gyarendra tertawa kecil sedangkan Magdalyn tersenyum lembut.
"Sudah menjadi kewajiban aku untuk melindungi kalian, karena nantinya aku akan menjadi anak lelaki di sini yang paling tua, maka aku harus bisa bersikap yang patut untuk semua orang di sini." Mulut gula-gula Gyarendra menyihir Bu Jena dan Magdalyn.
"Ya ampun! Mama sampai mau nangis dengarnya." Bu Jena mengusap bawah matanya seakan sudah benar-benar menitikkan air mata. "Kamu benar-benar menantu terbaik yang dikirimkan langit untuk kami. Di saat papanya anak-anak sudah tidak ada, akhirnya ada kamu yang bisa mengambil posisi Beliau sebagai pemimpin di sini."
"Aku hanya melakukan apa yang aku rasa itu sesuai dengan hati aku, Ma," imbuh Gyarendra, langsung menyerang ke hati Bu Jena dan juga Magdalyn.
Sementara itu, di tempat tak jauh dari balik dindin ruang tamu, mulut Giavana mencibir berbagai pose ketika dia mendengar ucapan Gyarendra. "Dasar demit! Iblis! Iblis!" rutuknya sambil mulai meninggalkan tempatnya untuk menjemur dalaman yang sudah selesai dicuci sebelum dia muntah gara-gara ucapan lelaki itu.